Ullen Sentalu: Pelita dalam Gulita

Akhir bulan Maret kemarin saya dan tiga orang teman lainnya berkesempatan dolan ke Yogyakarta selama tiga hari dua malam. Sebetulnya, ini kali kedua saya ke sana, tapi karena dulu saya berkunjung ke Jogja saat masih kecil dan nggak banyak kenangan yang saya ingat, rasanya seperti baru pertama kali. Saya nggak akan cerita keseluruhan perjalanan secara runut karena bisa makan waktu berhari-hari, hehehe, tapi ada satu bagian, porsi kecil dari perjalanan kami yang ingin saya bagi. Dari penginapan kami yang terletak di pusat kota Yogyakarta, kami sempatkan jauh-jauh ke Kaliurang untuk berkunjung ke museum yang diresmikan tahun 1997 ini.

Tanah lapang di depan pintu masuk museum.
Nama Ullen Sentalu merupakan singkatan dari bahasa Jawa: “ULating bLENcong SEjatiNe TAtaraning LUmaku” yang artinya adalah “Nyala lampu blencong merupakan petunjuk manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan”. Filsafah ini diambil dari sebuah lampu minyak yang dipergunakan dalam pertunjukkan wayang kulit (blencong) yang merupakan cahaya yang selalu bergerak untuk mengarahkan dan menerangi perjalanan hidup kita. Museum ini didirikan oleh salah seorang bangsawan Yogyakarta yang dikenal sangat dekat dengan keluarga keraton Surakarta dan Yogyakarta. (Wikipedia)

Museum Ullen Sentalu sejauh inimenurut sayaadalah salah satu museum dengan manajemen terbaik yang pernah saya datangi. Bisa jadi karena museum ini dikelola oleh pihak swasta yang mendapat dukungan penuh dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ya, menurut penuturan si pemandu, pemilik museum ini adalah seorang pengusaha batik yang cukup terkemuka. Karena dikelola oleh pihak swasta, biaya masuknya cukup mahal dibandingkan museum pada umumnya. Museum yang dikelola pemerintah biasanya hanya mematok tarif  masuk sekitar lima ribu sampai sepuluh ribu rupiah, bahkan bisa lebih murah dari itu. Untuk masuk Museum Ullen Sentalu wisatawan lokal dikenakan tarif Rp 30.000,00 sudah termasuk jasa pemandu, parkir gratis, dan minuman jamu di tengah-tengah tur museum. Sedangkan khusus untuk wisatawan mancanegara dikenakan tarif Rp 50.000,00. Kenapa mereka lebih mahal? Karena pemandunya khusus, penjelasannya pun dituturkan dalam bahasa Inggris, jadi mereka nggak disatukan dengan rombongan wisatawan lokal.

Setelah membeli tiket masuk, pengunjung diharuskan daftar ulang ke petugas pintu masuk dengan menyebutkan nama, asal daerah, dan berapa jumlah orang dalam rombongan. Hal ini berkaitan dengan jumlah pengunjung yang akan didampingi oleh seorang pemandu di setiap kloternya. Masing-masing kloter diberi jarak sekitar 5-10 menit, sehingga tidak terjadi bentrokan antar rombongan di dalam museum. Sebagai catatan, area museum ini cukup luas, jadi siapkan tenaga sebelum masuk ke sana karena tur museum makan waktu sekitar 60 menit. Lumayan bikin kaki gemeteran, apalagi saya dan teman-teman datang ke sana jam 12 siang dalam keadaan belum makan dari pagi. Hahaha. :D

Ada satu peraturan yang unik, selama berada di area museum pengunjung dilarang mengambil gambar ataupun merekam video. Jadi buat yang hobi selfie sana-sini, siap-siap aja gigit jari dan mau nggak mau jadi fokus menyimak penjelasan si pemandu. Tapi penjelasan si pemandunya seru kok, mereka interaktif dan komunikatif. Buat saya yang jarang terpapar logat Jawa, jadi agak geli gimana gitu denger si mbak pemandunya ngomong dengan logat Jawa kental. Hehehe.

Pardon our shameless selfie. 
Well, kalau dijabarkan semua isi penjelasan si pemandu, sekalian aja saya nulis buku (padahal sebenernya udah lupa :p) jadi saya cuma akan bahas sedikit (yang masih bisa saya ingat :D). Sebagian besar tur diisi dengan penjelasan mengenai sejarah panjang Kerajaan Mataram hingga akhirnya terpisah menjadi dua kesultanan di Solo dan Yogyakarta. Tak ketinggalan ditampilkan juga beberapa raja yang cukup ternama di antara raja-raja lainnya, seperti Sultan HB VII yang dikenal sebagai sultan terkaya, hingga Sultan HB IX yang dikenal paling banyak prestasinya di antara sultan lainnya.

Saya baru tau, ternyata nggak semua sultan memiliki permaisuri. Para raja terdahulu memang punya banyak istri, tapi beberapa di antaranya hanya memiliki jajaran selir. Para raja yang tidak memiliki permaisuri pada akhirnya mengangkat ibu kandung mereka untuk menjadi Ibu Suri. Syarat untuk diangkat menjadi permaisuri ternyata luar biasa berat. Tak hanya elok dan rupawan fisiknya, mereka juga harus cerdas karena permaisuri akan mendampingi raja ke mana pun ia pergi. Dan tak ketinggalan, bibit-bebet-bobotnya pun harus dari kalangan bangsawan. Hmmm.

Selain cerita para sultan dan pangeran, para tuan putri juga turut ditampilkan. Satu yang paling saya ingat (dan akan saya jadikan benchmark putri sejati :D) adalah Gusti Nurul, cucu dari Sultan HB VII. Beliau cantik, piawai menari, cerdas, jago berkuda, renang, dan tenis. Dan yang terpenting: nggak gampang termakan rayuan lelaki. Ihiiiy... Pada masanya, Gusti Nurul banyak melakukan hal yang saat itu masih dianggap tabu. Selain kegemarannya berkuda yang dianggap nyeleneh, Gusti Nurul juga hidup melajang sampai usia 30 tahun. Ckckck.

Bukan lantaran beliau nggak ada yang mau. Alpha Female seperti Gusti Nurul tentu saja menarik hati banyak lelaki, tapi dia punya prinsip: ndak mau dipoligami. Bung Karno, Sutan Sjahrir, dan Sultan HB IX adalah tiga kandidat terkuat yang berusaha meminang Gusti Nurul, tapi semuanya ia tolak secara halus. Pilihannya justru jatuh pada sepupunya sendiri, Soerjo Soejarso, seorang kolonel militer dan tidak begitu menonjol di TNI. Konon, alasan mengapa Sultan HB IX nggak mau mengangkat satu pun permaisuri karena ia patah hati ditolak Gusti Nurul. Hehehe.

Kolam teratai di area museum.
Selain silsilah keluarga kerajaan, museum ini juga memamerkan koleksi batik yang mereka miliki dari Solo dan Yogyakarta. Kedua motif itu disandingkan sehingga perbedaan di antara keduanya terlihat jelas. Batik Solo memiliki motif yang sangat halus dan mendetail dengan dominasi warna cokelat keemasan. Saking kecil-kecil dan rapat motifnya, batik Solo sepintas terkesan lebih feminin dan anggun, motif yang banyak disukai oleh kaum perempuan. Di lain sisi, batik Yogyakarta memiliki corak yang besar-besar dengan dominasi warna cokelat-putih. Karena motifnya yang tegas, batik Yogyakarta terkesan lebih gagah atau maskulin.

Sekarang batik sudah lebih membumi, bisa diaplikasikan di berbagai model baju dan suasana, nggak hanya identik dengan upacara adat atau pesta perkawinan. Bagus sih, batik jadi lebih dikenal luas. Tapi efek sampingnya, karena dianggap baju biasa, nggak banyak orang yang mau repot-repot cari tahu seluk-beluk batik beserta motifnya yang punya banyak makna, termasuk saya. Hehehe.

Batik Solo dan Yogyakarta sama-sama punya motif Parang, yang dulu hanya boleh digunakan oleh kaum bangsawan. Sekarang peraturan memakai batik relatif luwes, orang biasa pun boleh pakai motif Parang. Dari mana kita tahu batik Parang itu dari Solo atau Yogyakarta? Ternyata yang membedakan adalah cara memakainya. Kalau batik Parang Solo, laki-laki maupun perempuan arah pemakaiannya sama, yaitu dari kanan atas ke kiri bawah, sehingga kalau berdiri bersandingan tampak diagonal. Sementara batik Yogyakarta, yang perempuan arah pemakaiannya dari kiri atas ke kanan bawah; yang laki-laki dari kanan atas ke kiri bawah. Sehingga kalau berdiri bersisian tampak membentuk huruf V. Sumpah, ini juga saya baru tau. Hahaha. :D

Hanya saja, batik Parang sebaiknya tidak digunakan pada pesta perkawinan. Kenapa begitu? Soalnya parang ‘kan simbol senjata untuk perang, khawatirnya kalau digunakan untuk menikah, rumah tangganya nanti penuh huru-hara. Kalau untuk menikahmenurut si mbak pemandusebaiknya pakai motif Sidomukti saja.

Ada juga motif batik dari Yogyakarta yang bentuknya bulat-bulat seperti kolang-kaling. Awalnya saya mikir, kok rasanya saya sering lihat motif seperti ini tapi di mana ya? Dilalah, ternyata namanya motif Kawung, yang biasa digunakan untuk menutup jenazah. Filosofinya adalah melambangkan harapan agar manusia selalu ingat akan asal-usulnya. Jadi, buat teman-teman yang mau menikah dengan adat Jawa, dicek lagi yaa apa motif batik yang dipakai, jangan sampai salah pilih karena malas cari tahu. Hehehe. :D

Replika salah satu relief Candi Borobudur.
Berkunjung ke Ullen Sentalu mungkin nggak akan bikin orang awam seperti saya langsung jadi individu yang melek budaya. Tapi seenggaknya, saya jadi terpacu untuk lebih mengenal budaya yang mengisi separuh silsilah keluarga saya ini. Berasal dari keluarga campuran 75% Jawa 25% Sunda; tapi lahir dan besar di tanah Sunda, saya sering mengalami krisis identitas. Dibilang orang Sunda bukan, dibilang orang Jawa juga nggak tau apa-apa. Ibarat masak kue, saya ini bolu yang adonannya bantat.

Di penghujung tur museum, kami sampai di sebuah bukaan yang dihiasi replika sebuah relief, aslinya relief ini ada di Candi Borobudur. Di bagian ini (akhirnya!) kami diperbolehkan mengambil gambar. Yang unik, replika relief ini sengaja dibuat miring sebagai simbol keprihatinan pengelola Museum Ullen Sentalu melihat kondisi masyarakat Jawa. Orang-orang Jawa banyak yang mulai mengabaikan akar budayanya. Semakin jarang orang Jawa yang mau belajar menari atau pun membatik. Dan sedihnya banyak (yang ngaku) orang Jawa tapi nggak bisa bicara bahasa Jawa. Duuuuh…. :(

Lagi-lagi, saya harus menunjuk diri sendiri untuk fakta yang memalukan ini.

Akhir kata, kalau berkunjung ke Yogyakarta, sempatkanlah berkunjung ke museum ini. I gotta say: worth every penny and every second of it![]

Pardon our shameless selfie (2).



Share:

0 comments:

Post a Comment