Postcrossing: Turn Your Mailbox Into A Box of Surprises!

Pernah ngerasa sensasi muncul lampu di atas kepala dan langsung pengen ngomong “Eureka!” ala Archimedes? Minggu lalu saya baru aja mengalaminya. Yah, sebetulnya sih ide yang muncul di kepala saya bukan sesuatu yang amazing atau bakal membawa kemaslahatan bagi masyarakat dunia. Saya cuma terpikir, kayaknya seru kalau saya bisa kirim-kiriman kartu pos sama orang asing dari negara lain. Pertanyaan saya cuma satu: mau kirim ke siapa? Hehe…

Hal pertama yang saya lakukan adalah googling ‘komunitas kartu pos’, karena saya yakin meski jaman udah serba digital, pasti ada sekelompok orang yang masih mengapresiasi value benda fisik. Saya pun terdampar di situs Postcrossing yang ternyata udah eksis sejak tahun 2005. Wow, kemana aja saya selama ini? Hahaha… Proyek yang digagas oleh Paulo Magalhães ini memiliki slogan "send a postcard and receive a postcard back from a random person somewhere in the world!". Hmm, pas banget memang ini yang saya cari.

Proses untuk bergabung dengan komunitas ini relatif gampang kok, nggak ada bedanya kayak kalau kita mau sign up di Facebook, Twitter, Instagram, maupun platform social media lainnya. Kita juga diharuskan memasukkan alamat pengiriman kartu pos. Nah, setelah akun kita berhasil dibuat, kita bisa masuk ke halaman dashboard yang tampilannya kurang lebih seperti ini. Karena saya baru banget join di Postcrossing, belum ada kartu pos yang saya kirim maupun saya terima. Hehehe...

Di bagian profil kita juga bisa memilih apakah kita bersedia melakukan direct swap atau nggak, saya pilih bersedia. Jadi direct swap ini memungkinkan kita berkirim kartu pos langsung dengan member lain tanpa melalui Postcrossing. Mungkin yang bisa kayak gini kalau sebelumnya kita udah pernah berkirim kartu pos dengan orang itu kali ya? Asyik dong kalau bisa punya sahabat pena dari luar negeri. ;)


Nah, ketika kartu pos kamu sampai di tempat tujuan (kira-kira butuh waktu sekitar 2 mingguan lah), si penerima kartu pos akan memasukkan Postcard ID yang tercantum di kartu pos kamu ke dalam akun Postcrossing-nya. Proses inilah yang akan memungkinkan kamu mendapat kartu pos dari member lain yang juga dipilih secara acak dari seluruh dunia. Seru banget kan? :D

Biasanya di profil member Postcrossing mereka suka mencantumkan pesan singkat atau informasi lain tentang diri mereka. Misalnya dari mana mereka berasal, apa pekerjaan mereka, apa hobi mereka, siapa penulis/penyanyi/bintang film favorit mereka, pokoknya apapun deh. Kadang-kadang juga mereka mencantumkan special request kartu pos seperti apa yang mereka suka, atau pesan apa yang mereka inginkan ada di dalam kartu pos itu. Ya nggak ada salahnya sih kita ngikutin permintaan mereka kalau memang nggak terlalu merepotkan. Hehe...



So, saya udah mengantongi 5 alamat yang akan saya kirimi kartu pos. Semuanya perempuan dan berasal dari negara yang berbeda: Austria, Taiwan, Jerman, Rusia, dan Amerika Serikat. Sebagai delegasi Indonesia (ciye gitu), saya nggak mau dong kalau ngirim kartu pos ke mereka dengan desain yang ala kadarnya banget? Cuma sayangnya saya cari kartu pos ke kantor pos di kota Bogor, ternyata harus ambil nomor antrian segala. Aduh, kok nggak asik banget sih? Macam kita mau setor tunai di bank aja. Asli deh, PT Pos Indonesia ini butuh banget refreshment dalam pelayanannya di banyak aspek. Kenapa nggak bikin pojok minimarket khusus yang menjual kartu pos, perangko, dan souvenir lainnya? Kayak gitu kan lebih asik ya ketimbang harus ngantri panjaaang cuma buat beli kartu pos, yang mana desainnya pun saya nggak yakin bagus apa enggak.

Untungnya, salah satu member Postcrossing Indonesia ada yang membaca peluang ini dan dia pun menjual kartu pos dengan desain yang super lucu. Katalog kartu posnya bisa dilihat di akun Instagram @haloposnesia. Mereka bikin desain dengan berbagai tema dan ada juga edisi khusus yang dibuat bertepatan dengan event tertentu. Misalnya ada tema makanan tradisional, jajanan pasar, baju adat, peta Indonesia, bahkan ada edisi hantu Indonesia dalam rangka Halloween. Haha... Ilustrasinya baguuuus banget, pokoknya dijamin nggak bakal malu-maluin buat dikirim ke negara lain deh.
Sebagian kartu pos yang dijual oleh @haloposnesia.

Oh iya, pas saya ke kantor pos dan menanyakan tentang kartu pos ini, beberapa kali saya malah ditanya, "Buat anak SD ya?" Eeeerr, no? Mungkin sekarang satu-satunya alasan orang mau beli kartu pos ya cuma buat memenuhi tugas sekolah aja. Duh sedih amat sih... :( Semoga member Postcrossing terus bertambah ya, dan komunitas kartu pos di Indonesia juga jalan terus, sebagai pemula di bidang kartu pos ini, saya ngarep banget proyek ini bisa berlangsung seterusnya.[]
Share:

Selamat Datang di Team Mata Empat!

Setelah 26 tahun hidup dan membangga-banggakan penglihatan saya yang sehat & tajam, akhirnya tiba juga saya nggak bisa lihat tulisan di papan tulis pas lagi meeting, padahal jaraknya cuma 4 meter ke depan. Di situ saya frustasi banget dan jadi nggak konsen sepanjang meeting. Sebetulnya gejala ini udah lumayan lama saya rasain, tapi saya mikir mungkin mata saya cuma lelah. Hari-hari biasa kalau lagi di jalan, saya masih bisa lihat tulisan jarak jauh asal ukurannya besar. Tapi efeknya kepala saya gampang pusing, mata saya kayak dipaksa bekerja lebih keras.


Oke, cukup ngalor-ngidulnya. Sebelum beli kacamata, jelas saya harus cek dulu dong ke dokter mata. Di sini saya galau, harus cek di mana? Di klinik, puskesmas, rumah sakit, atau langsung datang ke optik? Mending pakai biaya sendiri atau ngandelin BPJS? Setelah diskusi sana sini, saya akhirnya putuskan buat periksa lewat jalur non-BPJS aja, karena terus terang saya nggak ada waktu buat urus tetek bengek surat rujukan, legalisir, dan urusan ina-inu lainnya.

Dari sekian banyak opsi rumah sakit yang ada di Bogor, saya putuskan untuk menjajal poli mata di Kimia Farma Juanda. Nggak ada alasan khusus sih, simply karena temen saya ngajak meriksa bareng di situ, dan kayaknya harganya lumayan reasonable. Sebelum saya memutuskan ke sana, sebetulnya saya udah googling siapa tau ada opsi lain, tapi yaampun nyari data valid dan terkini tentang fasilitas kesehatan di Bogor tuh susahnya setengah mati. Yakali saya harus samperin satu-satu semua rumah sakit atau klinik yang punya poli mata. Ain't nobody got time for that.

Nah, supaya teman-teman nggak mengalami kesulitan yang sama dengan saya, berikut ini saya lampirkan jadwal praktik dokter di Kimia Farma Juanda, Bogor. Surprisingly, ternyata daftar dokter spesialis mereka lumayan banyak dan lengkap ya.

Spesialisasi
Nama Dokter
Jadwal Praktik
Spesialis Penyakit THT
dr. Andi Rizal Jenie
Senin – Sabtu pukul 18.00 – 21.00
(Pengambilan nomor langsung di poli)
Spesialis Penyakit Dalam
dr. Djabir Abudan
Senin, Rabu, & Sabtu pukul 15.00 – 17.30
Spesialis Bedah
dr. Agil Salim
Senin – Jumat pukul 19.00 – 21.00
Sabtu pukul 08.00 – 09.30
Spesialis Mata
dr. Indira
Senin – Kamis pukul 16.30 – 19.00
dr. Elisa
dr. Michel
dr. Ujang Yamin
Sabtu pukul 09.00 – 11.00
Spesialis Kulit & Kelamin
dr. Euis Nana Resna, SpKK
Selasa & Kamis pukul 19.00 – 21.00
dr. R.K.T.Ko.MD DV
Senin, Rabu, & Jumat pukul 16.00 – 20.00
(Daftar langsung di poli dengan asistennya)
Khusus Facial hari Kamis pukul 16.00 – 20.00
Spesialis Kandungan
dr. Farhan Djuned
Senin, Rabu, & Jumat pukul 19.00 – selesai
Spesialis Saraf
dr. Willy Wijaya, SpS
Selasa, Rabu, & Kamis pukul 17.00 – 19.00
Spesialis Anak
dr. Herman, SpA
Senin – Jumat pukul 18.30 – 20.30
Dokter Umum
dr. Renung Kastopo
Senin – Jumat
Pagi (09.30 – 12.00) & Sore (17.00 – 21.00)
dr. Wendri
Senin – Jumat pukul 13.00 – 16.00
Sabtu pukul 09.00 – 12.00
dr. Lugina Jatianita
Senin – Jumat pukul 15.30 – 18.00
dr. Handoko
Senin – Sabtu pukul 18.00 – 21.00
Klinik Gigi
drg. Andi Rahmatiah
Senin, Rabu, Jumat, Sabtu pukul 10.00 – 13.00
Senin – Jumat pukul 18.00 – 20.30
Spesialis Kedokteran Jiwa
dr. H. Amienuddin Saad
Senin – Kamis pukul 14.30 – 16.00
Jumat & Sabtu (dengan perjanjian)
Fisioterapi

Senin – Jumat pukul 10.00 – 20.00
Sabtu pukul 10.00 – 18.00
Optik

Senin – Sabtu pukul 08.00 – 21.00
Minggu pukul 09.00 – 14.00
Laboratorium

Senin – Sabtu pukul 08.00 – 21.00

Sebetulnya kalau datang langsung, di bagian depan Kimia Farma ada plang besar yang berisi jadwal praktik dokter, tapi ternyata datanya kurang update. Saya datangi loket pendaftarannya dan petugas di sana cukup kooperatif menjelaskan tentang jadwal baru ini. Oh iya kalau teman-teman mau bikin janji atau sekedar nanya-nanya lewat telepon, bisa hubungi nomor 0251-8363473 atau lewat Whatsapp di nomor 085774116313.

UPDATE:
Hari Sabtu, 4 November 2017 saya kembali lagi ke Kimia Farma Juanda. Walaupun di jadwal tertulis dr. Ujang Yamin baru mulai praktik jam 09.00, saya sudah datang sejak pukul 07.30 pagi atas saran petugas. Berhubung dr. Ujang sedang sakit, beliau membatasi hanya akan mengambil sekitar 5 pasien saja per hari jadi siapa cepat dia dapat. Saya pikir saya akan jadi pasien pertama yang daftar, ternyataaaa, saya nyaris nggak kebagian slot lantaran pasien yang daftar udah 6 orang, melebihi kapasitas. Aduh… :(

Beruntung petugas pendaftaran masih mengijinkan saya untuk daftar. Jadi, ternyata dr. Ujang Yamin ini udah lumayan sepuh. Semula beliau nggak ada jadwal praktik hari Sabtu itu, tapi mendadak beliau mengabari asistennya bahwa ia ingin praktik, sekalian melatih kakinya. Beliau baru datang sekitar pukul 10.00 dan para pasien pun mulai dipanggil ke dalam ruang pemeriksaan. Saya baru dipanggil sekitar pukul 10.50, lumayan cepat juga ya. Tadinya saya pesimis pemeriksaan ini bakal sia-sia, gimana kalau ternyata saya cuma lebay aja? Gimana kalau ternyata mata saya cuma lelah aja makanya pandangan suka agak kabur? Tapi daripada penasaran lebih baik cari tahu sendiri kan? Di dalam ruangan saya disuruh duduk dan penglihatan saya dites dengan alat khusus. Prosesnya sendiri cuma makan waktu sekitar 5 menit aja, dan ternyataaaaaa vonisnya adalah…. mata saya minus 1,25 kanan dan kiri. Ya Tuhan… :(

Sejujurnya saya agak syok sih karena nggak membayangkan minus di mata saya bakal nembus angka 1. Tadinya saya pikir paling top minus 0,5 laah, karena di luar ruangan mata saya masih cukup bisa diandalkan untuk membaca tulisan-tulisan yang jaraknya lumayan jauh. Yah, mau gimana lagi? Seenggaknya mata saya nggak silinder sama sekali. Pantesan aja kepala saya sering pusing, mungkin itu cara tubuh saya berkomunikasi bahwa ada sesuatu yang nggak beres dan harus ditangani segera. Kalau udah kayak begini sih, saya nggak bisa mengelak lagi, mau nggak mau saya harus pakai kacamata. Kecuali mau bertahan terus-terusan meeting dalam keadaan nggak tau materi apa yang lagi ditampilkan di layar monitor.

Oh iya, untuk pemeriksaan mata di Kimia Farma, saya dikenakan biaya Rp 150.000,- yang dibayarkan langsung ke asisten dr. Ujang. Tadinya saya pikir saya bakal dikenakan biaya pendaftaran juga karena itu kali pertama saya ke sana, tapi ternyata nggak ada biaya apapun lagi. Lumayan terjangkau sih, semula saya pikir biaya pemeriksaan mata ini bakal berkisar Rp 200.000,- hehehe…

Di Kimia Farma Juanda juga ada optiknya, tapi saya nggak mau nebus kacamata di sana karena harganya mahal. Memang sih ada harga ada kualitas. Sekitar tahun 2010 teman saya beli kacamata di optik Kimia Farma dikenakan biaya sekitar Rp 500.000,- tapi kacamatanya masih awet banget sampai sekarang padahal teman saya joroknya minta ampun. Kalau 7 tahun lalu aja harga kacamatanya udah segitu, bayangin aja sekarang  berapa harganya? Untuk sementara, kayaknya saya cari optik yang harga kacamatanya lebih bersahabat aja deh. Hehehe…

Well, semoga tulisan ini cukup membantu ya buat yang lagi nyari dokter spesialis mata ataupun dokter spesialis lainnya di kota Bogor. Semoga sehat selalu![]
Share:

Vespa Super Tanpa Nama

Kalau bicara tentang Vespa, saya selalu punya tempat tersendiri di hati untuk kendaraan antik dari Italia ini. Iya, itu kendaraan bermotor pertama yang dibeli ayah saya puluhan tahun lalu. Sekitar tahun 2000an, ayah saya baru pulang malam hari sambil membawa Vespa berwarna abu-abu kebiruan. Vespa Super keluaran tahun 1973 dengan mesin 2 tak, serta lampu depan yang berbentuk bulat. Sejak malam itu, hari-hari keluarga kami dipenuhi oleh bokong besar abu-abu dari Vespa yang tak sempat kami beri nama. Waktu saya masih SD, Vespa itu berjasa mengantar kami sekeluarga dari rumah ke sekolah dengan formasi saya di depan, ayah saya yang mengendarai, lalu adik saya di tengah, dan paling belakang ibu saya. Kami bukan keluarga dengan postur tubuh kecil, apalagi kalau kalian lihat ibu saya. Sampai sekarang saya nggak habis pikir, kok Vespa itu tahan ya kami dzolimi selama bertahun-tahun?


Sepanjang perjalanannya, Vespa itu sudah melewati banyak transformasi. Mulai dari stang motor yang diganti dari lampu depan bentuk bulat ke bentuk kotak, sampai penambahan ‘kumis’ di penutup ban depan yang semakin menambah ketampanannya. Dulu, saya sering kesal kalau si Vespa memutuskan untuk mogok di jam berangkat atau pulang sekolah. Saya sampai khatam step-by-step yang harus dilakukan kalau si Vespa tiba-tiba mogok. Buka kap mesin samping, lalu keluarkan businya, karena itu biasanya sumber masalah utama. Kalau businya kebanjiran, lap dengan kain lembut, lalu coba pasang lagi. Kalau belum bisa juga, keluarkan lagi, lalu gosok dengan amplas bagian ujung businya. Begitulah kira-kira yang biasa dilakukan ayah saya kalau Vespa kesayangannya mogok.

Kadang masalah mogok itu bisa selesai dalam hitungan menit, kadang bisa sampai berjam-jam. Saya biasanya cuma duduk di pinggir jalan sambil memperhatikan ayah saya bekerja. Nggak sekali dua kali ada pengendara Vespa lain yang menepi dan membantu ayah saya, padahal mereka juga nggak kenal siapa kami. Tapi memang begitulah yang saya saksikan, solidaritas pengendara Vespa itu nyata adanya, bukan bualan semata. Nggak tau tapi ya kalau pengendara Vespa matic keluaran terbaru, ehe... :p

Ayah saya & vespa kebanggaannya.

Singkat kata, semakin membesarnya keluarga kami, si Vespa ini semakin ngga mungkin buat ditumpangi berempat sekaligus. Badan saya semakin tinggi, adik saya juga udah nggak mungkin lagi digencet di tengah-tengah. Akhirnya ayah saya beli motor Honda Astrea Prima yang sayapnya warna putih. Saya nggak tau tahun berapa persisnya motor itu keluar, mungkin sekitar tahun 1990an. Beban si Vespa mulai berkurang sedikit karena biasanya ayah saya pakai motor bergantian, kadang Vespa kadang Honda. Selang beberapa tahun kemudian ayah saya beli satu motor lagi, Honda Astrea Star, masih tetap motor second, tapi tahun produksinya kalau nggak salah sih lebih baru dari Astrea Prima. Motor itu yang dipakai oleh ibu saya untuk transportasi pulang pergi dari rumah ke sekolah.

Pasca kehadiran dua motor Honda Astrea itu, si Vespa semakin jarang diajak jalan. Sehari-hari ia jadi satpam di teras rumah kami. Sesekali ayah saya masih suka mengajaknya jalan-jalan sore sambil memanaskan mesinnya. Kadang beliau jalan sendiri, kadang saya merengek ikut diajak juga. Kadang-kadang kalau lagi kumat isengnya saya duduk di boncengan tapi sambil menghadap belakang. Nggak tau maksudnya apa, mungkin cuma mau cari perhatian tetangga. Hahaha...

Ayah saya duduk di atas Honda Astrea Prima, si Vespa di belakang.

Waktu itu saya sempat membatin, saya mau belajar naik Vespa ah, soalnya jarang ada perempuan yang bisa mengendarai Vespa. Tapi nggak mungkin juga saya minta diajari oleh ayah saya. Beliau pasti mikir, gimana mau bawa Vespa, diajari bawa motor Honda yang gampang aja saya nabrak pohon mangga. Ckckck...

Sayangnya, keinginan saya itu nggak kesampaian. Dengan berat hati, pada tahun 2008 kami harus melepas si Vespa untuk menambah biaya pendaftaran kuliah saya di IPB. Saya nggak tahu ayah saya menjual si Vespa ke mana, tapi mesin tua itu cuma dihargai sekitar satu juta rupiah saja. Ah, sungguh harga yang terlalu murah untuk ditukar dengan kesetian besi tua serta kenangan bertahun-tahun. Ayah saya bukan tipe orang yang suka mengumbar perasaannya, tapi saya tau, melepas si Vespa adalah salah satu keputusan terberat yang pernah ia ambil.[]
Share:

Apa yang Harus Dipertimbangkan sebelum Membeli Kamera Pertama Kali?

Disclaimer: Saya BUKAN fotografer apalagi pakar kamera. Saya cuma photography enthusiast yang pengen sharing pengalaman membeli kamera pertamanya, jadi harap maklum kalau pembahasannya sangat dangkal.

Membeli kamera pertama selalu membawa dilema tersendiri. Bagi sebagian orang, menggelontorkan budget sekian juta untuk benda kecil ini mungkin bukan masalah. Tapi bagi sebagian yang lain pertanyaannya mungkin, ambeh naon (re: buat apa)? Kan handphone sekarang juga kameranya udah canggih-canggih nggak kalah kayak kamera DSLR. Bener juga sih... Tapi jangan lupakan bahwa setiap benda atau komoditi selalu punya nilai objektif dan nilai subjektif. Nilai objektif itu jelas, kualitas yang dilihat dari kondisi benda yang sebenarnya. Meanwhile nilai subjektif berkaitan erat dengan subjek yang menilai benda tersebut. Bagi saya, dan rekan-rekan sesama photography enthusiast, sebuah kamera nggak bisa diukur dengan label mahal dan murah aja. Sebelum menilai kamera itu mahal atau murah dan menentukan kamera apa yang cocok dengan kita, ada banyak check list yang harus dijawab. Misalnya, beli kamera tujuannya untuk apa, budget-nya berapa, objek apa yang akan sering difoto, seberapa sering frekuensi pemakaiannya, fitur apa yang kalian utamakan wajib ada di dalam sebuah kamera, dan masih banyak lagi. Pertanyaan itu pula yang saya ajukan kepada diri saya sendiri sebelum memutuskan untuk meminang si Limpy (panggilan kesayangan saya buat si Olympus, heheu ~ ).


Olympus Pen E-PL7 (Source: Instagram @olympus_pengeneration)

Well, ini jawaban saya dari daftar pertanyaan di atas ditambah pertanyaan lain yang mungkin relevan buat teman-teman. :)

1. Beli kamera tujuannya untuk apa? Kebetulan setelah sekian lama saya mulai seneng motret lagi, jadi pengen punya kamera buat belajar motret yang agak serius.
2. Objek apa yang akan sering difoto? So far, saya paling suka motret bunga, binatang, action figure, dan objek-objek random yang saya temukan. To be honest, I'm not really into portrait or street photography (ini dulu sih, sekarang udah mulai suka kok :p).
3. Seberapa sering frekuensi pemakaian kameranya? Karena cuma untuk menyalurkan hobi, mungkin 1-2 minggu sekali kalau lagi ada waktu senggang untuk motret.
4. Fitur apa yang kamu utamakan wajib ada di dalam sebuah kamera? Karena saya pengen kamera yang ringan dan ringkas, dari awal saya udah tau bakal pilih kamera mirrorless alih-alih DSLR. Saya mau kamera yang udah mendukung koneksi nirkabel supaya mempermudah transfer hasil foto. Pengennya sih yang udah support Optical Image Stabilization (OIS) karena saya belum mampu beli tripod. Terus kalau bisa yang daya tahan baterainya lumayan lama supaya nggak cepet lowbat. Saya juga mau yang review hasil videonya menurut pakar kamera udah cukup bagus. Oh saya juga mau yang layar LCD-nya bisa diputar dan touchscreen supaya lebih mudah menentukan titik fokus. Dipikir-pikir saya banyak maunya ya? Hahaha....
5. Apakah hasil fotonya akan dicetak atau hanya dipajang di galeri digital pribadi? Cuma buat dipajang di galeri pribadi, paling banter buat portofolio online. Soalnya enam bulan lalu saya nggak terpikir sama sekali akan ketemu klien yang mau pakai jasa saya. Hehehe...
6. Apakah ada keinginan untuk upgrade gear di kemudian hari atau cukup sampai sekedar punya? Ya jelas ada banget laah! Setelah mencicipi kamera sendiri untuk motret berbagai situasi, saya jadi gatel pengen nambah koleksi lensa fix. 
7. Apakah kamu tipe soliter atau punya circle yang juga suka fotografi? Kalau kamu tipe komunal, kamera apa yang paling banyak dipakai sama teman-teman kamu? Nah untuk pertanyaan pertama, saya tipe soliter; saya selalu jalan sendiri dan nggak berafiliasi dengan komunitas mana pun, jadi nggak ada istilahnya saya bisa pinjam-pinjaman gear kamera. Tapi, kalau kamu punya teman-teman komunitas sesama photography enthusiast, akan lebih bijaksana kalau kamu pertimbangkan untuk beli kamera yang satu merk dengan mereka. Hal ini akan mempermudah kamu untuk eksplor semua fitur dan fungsi kamera bersama mereka yang udah lebih berpengalaman. Selain itu juga kamu bisa saling pinjam gear dengan teman-teman yang koleksinya lebih lengkap. Mau nyoba lensa wide, macro, atau tele tapi belum ada budget buat beli sendiri? Pinjam aja dulu sama teman. Hehehe....
8. Berapa budget yang kamu punya? Saya tarik garis batas di angka 9 juta, segini aja udah bikin dompet meringis. Hiks... T^T

Sejujurnya, beberapa jawaban di atas udah ada yang mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Enam bulan berlalu, saya mulai kenal karakter kamera saya dan juga mulai memahami gaya saya sendiri. Sebelumnya saya nyaris clueless, dan itu cuma bisa dicari tahu dengan berani terjun, berani mencoba. So, dari awal saya udah tau kalau saya mau motret agak serius saya mesti punya lensa tambahan selain lensa kit. Jadi saya cari kamera yang dalam satu paket dapet 2 lensa supaya harganya lebih murah daripada beli lensa terpisah. Kandidat calon kamera pertama saya waktu itu: #1 Sony Alpha 5100 atau Sony Alpha 6000, tapi sayangnya kamera ini dua-duanya nggak ada yang dual lensa kit, jadi saya coret. Lalu kandidat kedua Fujifilm X-A3, harga masuk budget, ada versi dual lensa kit, tapi sayang menurut banyak review yang saya baca, fitur video di kamera entry level-nya Fuji itu nggak banget. Walaupun dari hasil foto, tone warna Fuji nggak perlu diragukan lagi lah, tapi saya tetap butuh kamera dengan fitur video yang reliable. #3 Panasonic Lumix GF9, sebetulnya kamera ini hampir menjawab semua keinginan saya, kecuali satu hal, daya tahan baterainya kurang lama. #4 Kandidat terakhir sekaligus yang akhirnya saya pinang: Olympus Pen E-PL7.

Waktu itu pertimbangan saya adalah review-nya Koh Alex (@aMrazing), karena dia pernah pakai Fujifilm juga Sony, tapi pada akhirnya dia berlabuh di Olympus OM-D E-M5 Mark II. Kalau dibanding sama Olympus Pen E-PL7 punya saya, kameranya Koh Alex itu flagship-nya Olympus sih, jauh banget memang kelasnya. Sebelum membeli Olympus, saya juga udah tau kekurangannya dia dari hasil research di berbagai komunitas fotografi. Di antaranya adalah Olympus itu begitu masuk Indonesia, entah kenapa harganya jadi lebih mahal ketimbang harga asli setelah dikonversi dari dolar. Udah gitu, kalau di tengah jalan mengalami kerusakan dan harus direparasi, spare part-nya Olympus agak susah didapat jadi harus nunggu agak lama bisa lebih dari sebulan. Oh ya, Olympus juga sensornya kecil, lebih kecil dari Fujifilm, Sony, Canon, atau Nikon yang kebanyakan menggunakan sensor APS-C. Hal ini penting untuk diketahui karena ukuran sensor akan berpengaruh terhadap hasil gambar, serta jenis lensa yang digunakan. Olympus dan Panasonic sama-sama menggunakan sensor Micro Four Thirds. Penjelasan soal sensor ini kayaknya lebih enak kalau teman-teman baca langsung dari website Infofotografi, soalnya di situlah saya belajar tentang dasar-dasar ilmu fotografi dari suhunya langsung. Hehehe....

Pada akhirnya, kalau budget kalian terbatas kayak saya, memang nggak ada kamera yang sempurna dan memenuhi semua keinginan kita sih. Mau nggak mau memang ada beberapa keinginan yang harus dikompromikan. Cuma kita sendiri yang tau, poin mana yang nggak terlalu penting dan bisa diabaikan, serta poin mana yang wajib banget ada bener-bener nggak bisa diganggu gugat lagi. Semua pasti butuh proses, nggak usah ngotot langsung beli kamera dengan fitur tercanggih apalagi kalau harganya di luar kemampuan kita. :)

Jadi, balik lagi ke pertanyaan sejuta umat: kamera yang bagus apa ya? Saya yakin deh, kalian mau tanya sama pakar kamera manapun, kemungkinan besar kalian malah akan ditanya balik. Hehehe... Yang perlu kita tanamkan dalam kepala, mau sebagus apapun kamera, yang menentukan kualitas foto tetap orang yang berada di balik lensa. Salam jepret! :)



PS: Kalau ada yang mau nambahin tips memilih kamera pertama, boleh banget lho share di kolom komentar. Sharing is caring![]
Share:

Berangkat dari Singapura, Pulang Lewat Malaysia? Bisa! (Part II)

Marina Bay Skyline

Yak, sesuai janji saya di postingan sebelumnya, saya mau melanjutkan cerita trip Singapura-Malaysia bagian kedua. Salah satu keputusan yang nggak saya sesali saat trip ke Singapura kemarin adalah memilih Meadows Hostel sebagai tempat berlabuh. Hehehe... Kebetulan Nuni yang bertugas pesan hotel, kalau nggak salah dia pesan lewat Hotels.com dengan harga 95 ringgit (sekitar 150 ribu) untuk 2 orang. Sebenarnya saya anaknya nggak neko-neko dalam memilih penginapan. Apalagi waktu saya traveling sendirian di Surabaya, meskipun waktu itu difasilitasi oleh kantor, ketimbang tidur di hotel yang agak bagus saya lebih memilih tidur di hostel dorm karena saya anaknya penakut kalau harus tidur sendirian. Hahaha...

So far, udah dua kali saya menginap di hostel dorm tapi selalu yang model kapsul (bukan tempat tidur tingkat biasa, melainkan ada sekat dan tertutup tirai), alhamdulillah saya nggak pernah mengalami hal yang nggak enak. Yang penting tetap waspada terhadap barang bawaan dan manfaatkan fasilitas loker untuk menyimpan barang berharga. Meadows Hostel yang kami tempati sebenernya agak anomali, karena lingkungan sekitarnya bukan tempat lazim bagi backpacker. Kami cukup beruntung bisa dapat hostel bagus, bersih, dekat stasiun MRT, sudah termasuk sarapan pula dengan harga di bawah 15 SGD.

Bagian dalam Meadows Hostel (Source: Booking.com)

Anyway, di hari kedua ini jadwal kami agak sempit, karena jam 14.30 kami harus naik bus yang akan mengantar kami dari Singapura ke Kuala Lumpur. Niat awal, kami mau ke Merlion Park sambil mengitari Marina Bay, makan es krim di Orchard Road, lalu ke Mustofa untuk belanja oleh-oleh, baru kembali ke hostel untuk mengambil ransel dan menuju ke pool bus di Golden Mile Complex. Kenyataannya? Marina Bay ternyata terlalu luas untuk dilewati dengan berjalan kaki dan terlalu banyak spot foto cantik untuk diabaikan begitu aja. Prediksi awal paling lama cuma 1,5 jam aja kami mengitari kawasan itu termasuk foto-foto di Merlion Park, realitanya molor sampai hampir 3 jam! Hahaha...

Untuk menghemat waktu, akhirnya kami batal ke Mustofa. Dari Merlion Park kami naik MRT ke Orchard Road untuk makan es krim (ini ngidamnya Nuni lho, bukan saya, hehehe… :p), sedangkan untuk belanja oleh-oleh kami mampir ke Lucky Plaza yang masih terletak di kawasan Orchard Road. Lagi-lagi, karena keasyikan belanja akibatnya kami harus berkejaran dengan waktu saat kembali ke hostel. Sambil bawa kantong belanjaan, kami setengah berlari menyusuri jalanan. Saya yang biasanya butuh waktu lama buat mikir harus naik MRT di jalur mana, belok ke mana, turun eskalator di mana; mendadak pintar multitasking dan bisa berpikir cepat. Memang ya, kita nggak pernah tau batas kemampuan kita kecuali saat di bawah tekanan. Hahaha…

Hijab street ala-ala di Orchard Road.
Sebenarnya, jarak antara Meadows Hostel dengan Golden Mile Complex nggak terlalu jauh, cuma sekitar 1,6 km. Untuk standar di Singapura, mestinya bisa dicapai dalam waktu 20 menit berjalan kaki. Tapi karena waktunya benar-benar mepet dan ransel kami lumayan berat, terpaksa kami sewa Uber. Agak nyesek sih, jarak cuma 1,6 km harus merogoh kocek 6,5 SGD (sekitar 65 ribu rupiah). Kalau di Jakarta, dengan uang segitu mungkin kita bisa naik Uber dari Jakarta Selatan sampai ke Jakarta Pusat. T^T

Sebelumnya saya udah pernah ke Kuala Lumpur, tapi menyebrang dari Singapura ke Kuala Lumpur dengan naik bus, well itu pengalaman baru buat saya. FYI, Nuni udah pesen duluan tiketnya lewat website, saya lupa apa nama website-nya. Sama halnya seperti di Indonesia, perjalanan Singapura – Kuala Lumpur dengan bus dilayani oleh beberapa perusahaan. Kita bisa memesan lewat website, mau naik bus dari perusahaan apa, jam berapa, dan durasi perjalanannya berapa lama. Di sini agak sedikit tricky, meski sama-sama jurusan Singapura – Kuala Lumpur, kayaknya tempat pemberhentian serta rute yang mereka lewati beda-beda, karena waktu tempuh setiap bus juga berbeda. Waktu tempuh tercepat sekitar 4 jam, namun ada juga yang keterangannya 5 jam, 6 jam, 8 jam, bahkan lebih dari itu. Dengan harga 18 SGD (sekitar 180 ribu rupiah), harga segitu termasuk yang termurah di antara harga bus lain. Kami agak takjub saat melihat bus yang akan kami tumpangi, karena ternyata busnya tingkat dua dengan formasi tempat duduk 2 – 1. Tempat duduknya pun dilengkapi sandaran kaki yang bisa dinaik-turunkan, dan ada mode kursi pijat walaupun pas dicoba cuma geter-geter aja. Hahaha… Sumpah saya norak banget karena ekspektasi saya paling cuma dapat bus antar kota-antar provinsi kayak di Indonesia yang duduknya sempit-sempitan formasi 3 – 2. Nggak taunya, dapat bus yang mevvah banget, alhamdulillah… :’)

Bagian dalam bus Transtar tingkat 2.
Tadinya juga saya pikir jembatan lintas laut yang menghubungkan Singapura dengan Malaysia itu kurang lebih sama seperti jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya dengan Madura. Ternyata jembatan yang dikenal sebagai Tuas Second Link ini panjangnya nggak sampai 2 km, sedangkan Suramadu panjangnya lebih dari 5 km. Tips aja sih, ada baiknya kita nggak tidur dulu sebelum sampai di daratan Malaysia, soalnya kita masih harus melewati proses imigrasi di perbatasan dan mau nggak mau harus turun dari bus. Nggak mau kan lagi enak-enak tidur, diteriakin sama kondektur gara-gara kita baru bangun dan geraknya serba lelet? Kalau udah lewat dari perbatasan sih, mau tidur sambil nyeker juga terserah.

Perjalanan lintas negara yang kami lewati makan waktu hampir 7 jam padahal seharusnya hanya sekitar 5 jam. Agak di luar dugaan sih karena ternyata di tol ada kecelakaan, akibatnya terjadi kemacetan panjang sampai berkilo-kilo meter. Kami sampai di Kuala Lumpur sekitar pukul 21.30 waktu setempat dan langsung meluncur ke KL Sentral dalam keadaan lapar. Iya, saya dan Nuni yang doyan makan, selama di Singapura justru malah kuat nggak makan seharian, paling cuma diganjal roti dan air putih. Makanya begitu sampai di KL Sentral yang pertama kami lakukan adalah makan besar. Lupakan sejenak deh aturan nggak boleh makan besar di atas jam malam, karena saya tau beberapa jam berikutnya akses terhadap makanan pasti susah.

Kami sampai di apartemen Nuni yang terletak di Petaling Jaya tepat jam 12 malam. Rasanya badan campur aduk; capek, ngantuk, pegal, lengket, panas, dsb. Belum lagi harus packing ulang barang-barang bawaan supaya masuk semua di ransel saya yang cuma 30 liter. Usai mandi dan packing, saya sempatkan tidur sebentar walau cuma 1 jam, karena jam 3 pagi saya harus mengejar bus pertama menuju KLIA. Meski saya udah bangun tepat waktu, pesan GrabCar di jam segitu ternyata bukan perkara gampang. Hampir 20 menit saya nunggu di lobi apartemen dan nggak ada satu pun GrabCar yang nyantol. Saya udah ketar ketir karena busnya jalan tepat jam 03.30 pagi. Kalau saya melewatkan bus yang itu, jadwal bus berikutnya baru ada jam 05.00, gimana caranya saya bisa ngejar pesawat jam 07.40?

Begitu dapat GrabCar yang mau pick-up, kami langsung minta driver-nya buat ngebut biar gimana caranya bisa sampai di Paragon Mall dalam waktu kurang dari 10 menit. Biasanya saya paling gampang panik kalau berhubungan sama ketepatan waktu, tapi entah kenapa waktu itu saya cuma bisa pasrah dan ketawa-ketawa aja, mungkin efek kurang tidur makanya pikiran agak gesrek. Hahaha…

Perjalanan menuju bandara dini hari itu relatif lancar, jadi bus yang saya naiki pertama-tama berhenti dulu di KLIA2, baru setelah itu menuju perhentian terakhir di KLIA dengan biaya 12 ringgit (sekitar 36 ribu rupiah). Saya sampai di KLIA sekitar jam 04.30, tadinya saya pikir saya bakal kecepetan dan punya sisa waktu banyak untuk leyeh-leyeh di ruang tunggu. Ternyata… antrian check in di konter singa terbang aja makan waktu 2,5 jam! Dari jam 5 saya baru bisa melewati konter imigrasi sekitar jam 7. Yang saya nggak habis pikir, kenapa sih mereka nggak memberlakukan web check in untuk meminimalisir antrian kayak gini? Dari awal saya beli tiket saya langsung ancer-ancer untuk web check in. Menurut keterangan di website resminya, check in baru bisa dilakukan 24 jam sebelum keberangkatan. Oke, saya tunggu. Tapi begitu tiba waktunya, keterangan yang saya baca ternyata penerbangan ini cuma bisa check in langsung di bandara. Astaga, kesalnya bukan main.

Antrian mengular di konter check in.
Selama mengantri berjam-jam saya udah ngobrol sama entah berapa penumpang saking bosannya. Belum lagi kelakuan khas orang Indonesia yang suka potong antrean seenaknya. Tapi kondisi antrean pun udah terlalu ruwet untuk diperbaiki tanpa bantuan petugas. Di sana saya ketemu sama pasangan suami istri TKI yang mau pulang ke Indonesia tapi beda arah. Sang suami langsung terbang ke Surabaya, sedangkan istrinya transit di Jakarta lalu terbang ke Lampung karena harus mengurus sesuatu. Mereka berbaik hati memperbolehkan saya numpang nyimpen ransel di troli mereka. Mungkin mereka kasian liat cewek sendirian bawa ransel kayak tempurung kura-kura, sedangkan antrean geraknya cuma selangkah-selangkah.

Lewat dari konter imigrasi, kami jalan bertiga sampai akhirnya berpisah karena sang suami menuju Gate C 31, sedangkan kami harus ke Gate C 13. Saya bukan tipe orang yang suka ikut campur urusan lain apalagi kepo sebenernya, jadi saya agak awkward setelah pisah dari suaminya, si istri jalan tapi nggak berhenti nangis. Sedangkan waktu juga udah kelewat mepet untuk ngajak dia duduk dan menenangkan diri karena gate udah hampir ditutup. Yang ada saya malah jadi pengen ikutan nangis juga padahal saya nggak tau duduk perkaranya. :’D

Walaupun perjalanan pulang itu agak drama, alhamdulillah saya mendarat dengan selamat di Bandara Soetta sekitar jam 9.40 WIB. Dua puluh menit saya menunggu, bus Damri tujuan Lebak Bulus akhirnya datang juga dan–tanpa dikasih kendor–saya langsung meluncur ke kantor dalam keadaan masih bawa ransel isi baju kotor. Teman-teman kantor saya sampai geleng-geleng kepala, takjub sama energi saya yang pamit Jumat sore, Senin pagi udah duduk lagi di kantor siap lanjut kerja. Ya mau gimana lagi? Namanya juga darah muda yang masih berapi-api, saya kerja juga supaya bisa beli tiket liburan lagi toh? Hehehe…

Your 20's are your selfish years. Old enough to make the right decisions and young enough to make the wrong ones. Be selfish with your time; travel, explore, learn something new, fall in and out of love, be ridiculous and silly, stupid and wild. Be 20-something!
Share:

Berangkat dari Singapura, Pulang Lewat Malaysia? Bisa! (Part I)

Sebenernya saya maju mundur mau sharing tulisan tentang trip ini. Karena, aduh please deh Singapura sama Malaysia itu so so mainstream, orang-orang udah biasa aja ke sana, apalagi yang mau ditulis? Tapi sejujurnya, sebelum saya pergi ke sana pun saya masih blog-walking dan baca-baca pengalaman blogger lain. Dari setiap blog yang saya baca, selalu ada hal baru yang saya pelajari, jadi ya kenapa saya nggak nulis pengalaman saya sendiri? Siapa tau juga ada hal lain yang bermanfaat buat teman-teman yang baru pertama kali menginjakkan kaki ke sana. So here we go!

Pemandangan dari Marina Bay Sands, Singapore

Perjalanan saya ke Singapura digagas sama Nuni, travel buddy saya yang menetap di Kuala Lumpur. Tadinya kami sempat mau berkunjung ke Bali, tapi karena satu dan lain hal kami putuskan ke Singapura aja. Seperti trip saya yang sebelumnya, saya selalu mengambil penerbangan malam di hari Jumat, jadi saya bisa tetap masuk kantor seperti biasa. Untuk liburan kali ini, saya pakai maskapai singa terbang (sebuah kesalahan besar sebetulnya, jangan dicontoh ya). Lazimnya, saya ambil tiket pulang Minggu sore atau malam. Tapi saya cari-cari harga tiketnya mahal banget, nggak ada yang di bawah 900 ribu. Saya coba cari penerbangan Senin pagi, masih tetap mahal. Hiks... Akhirnya saya putar otak, gimana kalau saya pulang lewat Kuala Lumpur? Saya cari-cari ternyata tiket yang murah dari Kuala Lumpur itu ada di Senin pagi. Baiklah, namanya juga mengobati penasaran kan? Nggak promo pun nggak apa-apa. Jadilah saya beli tiket singa terbang pulang pergi dengan rute CGK-SIN dan KUL-CGK. Total biaya tiket sekitar Rp 1.035.000,- pulang pergi, saya pesan lewat Tiket.com.

Saya dan Nuni sepakat untuk menekan biaya perjalanan serendah mungkin, jadi opsi untuk hotel pun terbatas pada tipe dormitory. Nggak perlu saya kasih tau lah ya, Singapura itu negara yang mahal, banget, sumpah deh amit-amit mahalnya. Berhari-hari kami cari hostel dorm yang murah, lokasinya strategis, tapi rating-nya juga nggak rendah-rendah amat. Pilihan pun jatuh pada Meadows Hostel yang terletak di kawasan Lavender. Jaraknya pun nggak terlalu jauh dari Stasiun MRT Lavender, jalan kaki hanya sekitar 10 menit. Sebetulnya kami masih berusaha mencari hostel dorm yang female only, tapi harganya jauuuuh di atas hostel dorm campuran. Ya sudah lah, dua gadis berjilbab ini pun pasrah tidur sekamar rame-rame sama cowok dari berbagai negara. Hahaha....

Karena tujuan utama kami ke Singapura adalah untuk ke Universal Studios Singapore (USS), kami cari tiket murah lewat aplikasi Traveloka. Lumayan lho, kalau beli tiket on the spot harganya sekitar 750 ribu, tapi kami cuma bayar sekitar 540 ribu dengan memanfaatkan kode voucher. I love Traveloka! Selain untuk beli tiket USS, saya juga beli Singtel Hi!Tourist seharga 15SGD (sekitar 150 ribu rupiah) yang berisi paket data 4GB + 5GB khusus untuk social media + 500 menit panggilan lokal + 30 menit panggilan internasional. Well, fair enough... Kartu perdana ini aktif selama 5 hari, dan bisa diambil di beberapa lokasi pick up, salah satunya di Changi Airport. Kenapa saya nggak pakai paket internet dari provider Indonesia? Karena mahal dan nggak worth it. Kebetulan saya pakai Telkomsel pascabayar, jelas saya takut tagihan bakal membengkak kalau saya pakai international roaming. Paket roaming Telkomsel itu sekitar 125 ribu rupiah dan cuma dapat kuota 1GB saja. Hellooo, manalah cukup 1GB buat 3 hari? Apalagi saya internet freak. Jadi beli kartu Singtel adalah win win solution.

So, tiket pesawat udah, pesan hotel udah, tiket USS udah, kartu sim lokal juga udah. Tibalah saya di hari keberangkatan. Saya berangkat dari kantor yang terletak di kawasan Pondok Pinang, Jakarta Selatan, dan tiba di Bandara Soetta sekitar pukul 16.30 WIB. Pesawat saya dijadwalkan berangkat pukul 17.55 WIB. Tapi pasti udah ketebak dong: DELAY sejam setengah aja kok. Dari situ saya langsung hopeless sama perjalanan pulang nanti dan komat-kamit dalam hati nggak akan mau pake maskapai ini lagi.

Saya mendarat di Terminal 3 Changi Airport sekitar pukul 22.30 waktu setempat. Dari awal saya memang udah niat bakal tidur di bandara, demi menghemat budget. Sementara Nuni baru akan terbang dari Kuala Lumpur naik pesawat pertama keesokan harinya, jadi semalam suntuk saya berjuang melek sendirian. Sejujurnya, saya agak panik karena itu kali pertama saya ke Changi. Saya udah kelewat santai bakalan langsung dapet koneksi wifi bandara, sama halnya seperti di KLIA. Tapi ternyata, koneksi wifi di Changi ini agak ribet, harus masukin nomor kartu lama kita, sedangkan saya nggak mau nyalain Telkomsel sama sekali. Saya yang semula berniat nggak mau keluar dari imigrasi sampe pagi, terpaksa keluar imigrasi demi nyari booth Singtel untuk pick up kartu pesanan saya. Duh, selamat tinggal ruang tunggu yang nyaman. :(

McDonalds di Terminal 3 Changi Airport pukul 11 malam.

Keluar dari Terminal 3, saya langsung mendatangi McDonalds yang masih cukup ramai meski waktu menunjukkan hampir tengah malam. Saya pesan burger, kentang, serta minuman seharga 5 SGD dan langsung ambil posisi wuenak di pojokan. Berbeda dengan di KLIA2, di sini nggak ada yang ambil posisi wuenak tiduran. Beberapa orang ada yang tampak tidur, tapi posisi mereka masih lumayan proper, cuma nunduk di meja atau bersandar ke bangku. Kalau di KLIA2, waktu itu saya makan di Burger King, mereka bener-bener datang ke sana untuk numpang tidur. Jadi makanan dibiarin aja di meja, si empunya makanan selonjoran di sofa atau geletak di bawah pakai sleeping bag. Saya bersyukur ransel saya lumayan besar, tegak, dan empuk, jadi bisa saya jadikan sandaran hati untuk tidur. Memang nggak nyenyak sih, cuma tidur-tidur ayam, tapi lumayan lah.

Ransel Consina yang setia.
Yang saya kesal, begitu saya ketiduran agak pulas, sekitar jam 4 pagi saya kebangun dan mendapati makanan saya udah nggak ada di atas meja. Padahal kentang dan minumannya masih lumayan banyak. Astaga, kenapa mas-mas pelayan ini gesit banget sih bersihin mejanya? Padahal saya ada di meja itu, walaupun tidur posisi saya masih duduk kok. Huhuuu... Karena kesal, dan nggak enak juga masa di meja udah nggak ada makanan tapi saya masih duduk di situ, saya pun pindah ke bangku tunggu biasa di luar McDonalds.

Sekitar pukul 08.00 pagi, saya ketemu Nuni yang baru mendarat dari Kuala Lumpur. Kami berdua sama-sama nggak tidur semalaman dan nggak mandi, tapi demi foto liburan yang ciamik, kami dress up semaksimal mungkin di toilet bandara. Ganti baju, cuci muka, sikat gigi, dandan, pakai parfum, pokoknya apapun yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesan nggak mandi dan nggak tidur. Hihihi... Dari Changi kami langsung ke Meadows Hostel yang terletak di kawasan Lavender dengan naik MRT. Karena Changi Airport dan Lavender berada dalam satu jalur yakni East West Line (jalur hijau), kami nggak perlu transit sama sekali, jarak sembilan stasiun ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit aja. Saya akui, peta MRT di Singapura ini jauh lebih mudah dibaca ketimbang peta LRT di Kuala Lumpur.

Singapore Tourist Pass
Oh iya, supaya lebih hemat, kami beli Singapore Tourist Pass yang bisa digunakan sepuasnya untuk naik MRT, LRT, dan bus. Ada 3 jenis kartu yang bisa dipilih: 1 hari seharga 10 SGD, 2 hari seharga 16 SGD, dan 3 hari seharga 20 SGD. Namun kita harus deposit uang 10 SGD sebagai jaminan yang bisa diambil saat mengembalikan kartu. Kalau nggak pakai Singapore Tourist Pass, kita harus mengeluarkan uang yang lumayan. Untuk sekali perjalanan ke beberapa stasiun aja harus bayar berapa dolar. Bayangin kalau kita muter-muter keluar masuk stasiun? Bisa abis di ongkos deh...

Di Meadows Hostel, kami cuma ngedrop ransel karena masih terlalu pagi untuk check in, syukurlah pihak hostel sangat kooperatif. Kami pun langsung meluncur ke Sentosa Island sekitar jam 9 pagi. Saya mau jujur, di perjalanan menuju USS ini ada pengalaman yang kurang mengenakkan: SAYA KETIDURAN DI MRT! Dari Stasiun Lavender kami harus transit di Stasiun Outram Park, lalu melanjutkan perjalanan ke Stasiun Harbour Front. Dari situ kami bisa naik Sentosa Express yang menuju ke USS. Sebetulnya dari Lavender ke Outram Park jaraknya nggak jauh, hanya sekitar 5 stasiun. Bodohnya, begitu dapat duduk saya yang niatnya cuma memejamkan mata sebentar nggak taunya malah ketiduran beneran. Saya sempat terbangun beberapa kali, saya tanya Nuni kita sudah sampai mana. Tapi saat kami lihat layar penunjuk stasiun, kombinasi antara linglung, setengah sadar, kepala pusing karena belum tidur semalaman, bikin kami salah baca peta. Kami baru sadar setelah melewati Stasiun Jurong East, dan itu artinya kami kelewatan 9 stasiun! Rencana semula paling lambat jam 10.30 kami mendarat di USS ambyar sudah. Kami pun turun di Stasiun Chinese Garden dan naik MRT balik. Kali ini, kami nggak mau duduk sama sekali karena takut kesalahan yang sama kembali terulang.

Peta MRT & LRT di Singapore.

Saya dan Nuni nggak berhenti ketawa sepanjang perjalanan ke USS itu. Iya, kami menertawakan kebodohan yang rauwis-uwis. Setiap kali berurusan sama MRT atau LRT, nggak di Kuala Lumpur, nggak di Singapore ada-ada aja kejadian konyol gara-gara kecerobohan kami berdua. Kami baru sampai di USS sekitar jam 12 siang, yah bisa dibilang kami rugi dua jam padahal niatnya mau maksimalin betul-betul dari jam 10 sampai jam 8 malam karena udah bayar mahal. Tapi ya mau gimana lagi?

Pengakuan saya berikutnya: sesungguhnya Dunia Fantasi masih lebih seru daripada Universal Studios Singapore. Hehehe... Saya agak kecewa sih, soalnya temen saya bener-bener promosiin USS habis-habisan. Dia bilang USS jauuuuh lebih seru daripada Dufan. In fact, iya sih dalam beberapa hal USS lebih baik dari Dufan. Konsep wahananya, ketepatan perkiraan waktu tunggu, dan wahananya juga tampak lebih baru dan sangat terawat. Tapi kalau dari variasi permainan, menurut saya Dufan masih lebih variatif. Wahana yang diperuntukkan bagi adrenaline junkie di Dufan ada Kicir-Kicir, Halilintar, Tornado, Histeria, dan Kora-kora. Kelima wahana legendaris itu rasanya udah cukup buat bikin orang mendadak ingat Tuhan. Sedangkan di USS, menurut saya wahana yang bener-bener memacu adrenalin cuma Battlestar Galactica. Ada dua jenis wahana di arena ini yang serupa tapi tak sama, yakni Human dan Cylon. Konsep dasarnya mirip seperti wahana Halilintar di Dufan, tapi memang lebih panjang track-nya dan lebih lama durasinya. Yang membedakan, wahana Human ini track-nya ada di bawah kaki kita, sedangkan wahana Cylon track-nya ada di atas kepala kita. Which means, selama naik wahana Cylon kaki kita menggantung dan bisa langsung ngeliat ke bawah. Saya yang penakut cuma berani merem sepanjang naik wahana ini sambil komat-kamit manggil Ibu. Hahaha... Itu aja sih yang paling berkesan selama di USS.

FYI, untuk menaiki wahana Battlestar Galactica ini, pengunjung nggak diperbolehkan sama sekali untuk bawa barang. Entah itu tas, dompet, kamera, handphone, barang sekecil apapun yang beresiko lepas dari badan kita, semuanya wajib dititipkan di loker. Jangan coba-coba menyelundupkan barang bawaan ya, soalnya untuk bisa masuk antrian ada petugas yang memeriksa kita dengan alat detektor logam. Tapi tenang aja, disediakan penitipan barang gratis di dekat kedua wahana itu kok. Penyewaan gratisnya hanya sekitar 100 menit pertama, selanjutnya kita harus bayar. Memang agak bete sih, soalnya rata-rata waktu tunggu di wahana ini antara 60 sampai 90 menit, jarang banget waktu tunggunya di bawah 60 menit. Jadi bersiaplah untuk quality time atau ngobrol santai dengan sesama pengunjung karena kita nggak bisa main handphone sama sekali. Hahaha...

Well, untuk sekarang sampai di sini dulu kayaknya, saya akan melanjutkan cerita perjalanan pulang lewat Malaysia di postingan berikutnya. Thank you for stopping by!
Share: