Vespa Super Tanpa Nama

Kalau bicara tentang Vespa, saya selalu punya tempat tersendiri di hati untuk kendaraan antik dari Italia ini. Iya, itu kendaraan bermotor pertama yang dibeli ayah saya puluhan tahun lalu. Sekitar tahun 2000an, ayah saya baru pulang malam hari sambil membawa Vespa berwarna abu-abu kebiruan. Vespa Super keluaran tahun 1973 dengan mesin 2 tak, serta lampu depan yang berbentuk bulat. Sejak malam itu, hari-hari keluarga kami dipenuhi oleh bokong besar abu-abu dari Vespa yang tak sempat kami beri nama. Waktu saya masih SD, Vespa itu berjasa mengantar kami sekeluarga dari rumah ke sekolah dengan formasi saya di depan, ayah saya yang mengendarai, lalu adik saya di tengah, dan paling belakang ibu saya. Kami bukan keluarga dengan postur tubuh kecil, apalagi kalau kalian lihat ibu saya. Sampai sekarang saya nggak habis pikir, kok Vespa itu tahan ya kami dzolimi selama bertahun-tahun?


Sepanjang perjalanannya, Vespa itu sudah melewati banyak transformasi. Mulai dari stang motor yang diganti dari lampu depan bentuk bulat ke bentuk kotak, sampai penambahan ‘kumis’ di penutup ban depan yang semakin menambah ketampanannya. Dulu, saya sering kesal kalau si Vespa memutuskan untuk mogok di jam berangkat atau pulang sekolah. Saya sampai khatam step-by-step yang harus dilakukan kalau si Vespa tiba-tiba mogok. Buka kap mesin samping, lalu keluarkan businya, karena itu biasanya sumber masalah utama. Kalau businya kebanjiran, lap dengan kain lembut, lalu coba pasang lagi. Kalau belum bisa juga, keluarkan lagi, lalu gosok dengan amplas bagian ujung businya. Begitulah kira-kira yang biasa dilakukan ayah saya kalau Vespa kesayangannya mogok.

Kadang masalah mogok itu bisa selesai dalam hitungan menit, kadang bisa sampai berjam-jam. Saya biasanya cuma duduk di pinggir jalan sambil memperhatikan ayah saya bekerja. Nggak sekali dua kali ada pengendara Vespa lain yang menepi dan membantu ayah saya, padahal mereka juga nggak kenal siapa kami. Tapi memang begitulah yang saya saksikan, solidaritas pengendara Vespa itu nyata adanya, bukan bualan semata. Nggak tau tapi ya kalau pengendara Vespa matic keluaran terbaru, ehe... :p

Ayah saya & vespa kebanggaannya.

Singkat kata, semakin membesarnya keluarga kami, si Vespa ini semakin ngga mungkin buat ditumpangi berempat sekaligus. Badan saya semakin tinggi, adik saya juga udah nggak mungkin lagi digencet di tengah-tengah. Akhirnya ayah saya beli motor Honda Astrea Prima yang sayapnya warna putih. Saya nggak tau tahun berapa persisnya motor itu keluar, mungkin sekitar tahun 1990an. Beban si Vespa mulai berkurang sedikit karena biasanya ayah saya pakai motor bergantian, kadang Vespa kadang Honda. Selang beberapa tahun kemudian ayah saya beli satu motor lagi, Honda Astrea Star, masih tetap motor second, tapi tahun produksinya kalau nggak salah sih lebih baru dari Astrea Prima. Motor itu yang dipakai oleh ibu saya untuk transportasi pulang pergi dari rumah ke sekolah.

Pasca kehadiran dua motor Honda Astrea itu, si Vespa semakin jarang diajak jalan. Sehari-hari ia jadi satpam di teras rumah kami. Sesekali ayah saya masih suka mengajaknya jalan-jalan sore sambil memanaskan mesinnya. Kadang beliau jalan sendiri, kadang saya merengek ikut diajak juga. Kadang-kadang kalau lagi kumat isengnya saya duduk di boncengan tapi sambil menghadap belakang. Nggak tau maksudnya apa, mungkin cuma mau cari perhatian tetangga. Hahaha...

Ayah saya duduk di atas Honda Astrea Prima, si Vespa di belakang.

Waktu itu saya sempat membatin, saya mau belajar naik Vespa ah, soalnya jarang ada perempuan yang bisa mengendarai Vespa. Tapi nggak mungkin juga saya minta diajari oleh ayah saya. Beliau pasti mikir, gimana mau bawa Vespa, diajari bawa motor Honda yang gampang aja saya nabrak pohon mangga. Ckckck...

Sayangnya, keinginan saya itu nggak kesampaian. Dengan berat hati, pada tahun 2008 kami harus melepas si Vespa untuk menambah biaya pendaftaran kuliah saya di IPB. Saya nggak tahu ayah saya menjual si Vespa ke mana, tapi mesin tua itu cuma dihargai sekitar satu juta rupiah saja. Ah, sungguh harga yang terlalu murah untuk ditukar dengan kesetian besi tua serta kenangan bertahun-tahun. Ayah saya bukan tipe orang yang suka mengumbar perasaannya, tapi saya tau, melepas si Vespa adalah salah satu keputusan terberat yang pernah ia ambil.[]
Share: