Growing Up VS Growing Apart

Sometimes, growing up means growing apart...

Pernah dengar kalimat ini? Pasti pernah, entah seliweran di timeline Twitter, entah sepintas baca di caption foto Instagram yang postingannya selfie dari jarak terlalu dekat, atau nggak sengaja lihat di salah satu artikel bahasa Inggris. Belakangan, saya sedang banyak merenungkan soal hal ini. Benarkah demikian? Benarkah tumbuh dewasa sama artinya dengan tumbuh besar di jalan masing-masing? Nggak bisakah kita tumbuh dewasa tanpa hilang rasa kedekatan emosional?

I don't know, really.

Sebagian besar hidup saya dihabiskan dengan kehilangan teman satu per satu. Saya pun kurang yakin apakah mereka yang saya anggap teman juga menganggap saya sebagai temannya. Mungkin perasaan ini bertepuk sebelah tangan makanya hanya saya yang merasa kehilangan, sedangkan mereka baik-baik saja. Waktu kecil, saya punya beberapa teman sepermainan yang rumahnya nggak jauh dari rumah saya. Kami sering main masak-masakan, rumah-rumahan, main sepeda bareng, dan saat bulan puasa kami pun pergi tarawih bareng. Namun ketika menginjak usia remaja, kami mulai menjauh karena sudah punya teman masing-masing. Kami yang semula nyaris nggak terpisahkan, kini menjelma jadi dua orang dewasa yang hanya saling mengangguk dan tersenyum kala berpapasan di jalan.

Sejujurnya, saya juga bukan tipe orang yang supel. Kebanyakan orang menganggap saya judes dan galak bahkan sebelum saya sempat membuka mulut. Hal itu semakin mempersulit kans saya untuk memperluas jaringan pertemanan. Saya juga bukan tipe orang yang mudah berafiliasi dengan kelompok tertentu, saya lebih senang bebas, tidak terikat, bisa masuk ke semua lingkaran pertemanan meskipun hanya di lingkaran terluar. Itu sebabnya dari SMP, SMA, kuliah, hingga saya bekerja, saya hanya dekat dengan orang-orang tertentu sepanjang kami masih berada dalam ruang lingkup yang sama saja. Misalnya ketika kuliah, saya punya teman-teman sepertongkrongan di setiap semester yang bisa diajak makan siang bareng, nonton bareng, ke toko buku bareng, atau istirahat bareng di kostan salah satu teman. Namun ketika semester berakhir dan kami nggak sekelas lagi, kami pun jarang menghabiskan waktu bersama. Siklus itu terus berulang hingga kini saya bekerja kantoran.

Namun di antara itu semua, ada beberapa sosok istimewa yang datang, dan terus menetap hingga sekarang. Sahabat saya nggak banyak, hanya segelintir orang ini saja. Yang nggak peduli meskipun salah satu sempat merantau jauh ke Eropa, atau sempat kuliah jauh di luar kota, atau sempat nggak ketemu lama sampai berbulan-bulan; nggak peduli seberapa jauh jarak memisahkan, kedekatan emosional kami masih sangat erat. Setidaknya, itulah yang saya pikir, sampai salah satu dari kami menikah... 😊

Saya paham betul, pernikahan mengubah segalanya. Skala prioritas jelas berubah drastis, perempuan yang sudah menikah juga tidak bisa seenaknya pergi keluar rumah tanpa memberitahu suaminya terlebih dulu. Akhir pekan yang sebelumnya bisa dihabiskan sesuka hati dari pagi sampai malam, kini lebih banyak dialokasikan untuk keluarga. Saya paham betul, tapi ternyata setelah menjalaninya langsung, nggak semudah itu bagi saya beradaptasi. Eh tunggu dulu, kok saya ngomong seolah-olah kayak saya yang udah menikah? 😂 Mungkin, ini cuma manifestasi dari rasa kangen saya terhadap sahabat-sahabat saya yang udah lebih dulu menikah, jadi tolong tahan sedikit rasa muaknya ya. 😂

The perks (or maybe the loss?) of being an INFJ, saya seringkali mengkhawatirkan segala sesuatu yang bahkan belum terjadi. Saya pun nggak tau, di masa depan nanti ketika saya membentuk keluarga baru, akan jadi perempuan seperti apakah saya? Mungkin saya akan jadi ibu sekaligus wanita karier? Mungkin saya akan mencurahkan seluruh energi saya untuk jadi full time mommy? Mungkin juga saking sibuknya saya bahkan untuk membalas pesan Whatsapp dari sahabat-sahabat saya pun saya tak sempat? Semoga, ini cuma kekhawatiran saya saja. Semoga, kami bisa tumbuh dewasa tanpa harus tumbuh besar lalu berpisah jalan. 😊❤️
Share:

Our Very First Collaboration Project ❤


“Coy, mau job nggak?”

Salah seorang kawan lama saya semasa kuliah tiba-tiba menghubungi dengan kalimat pembuka seperti itu. Saya pun langsung berbinar dan menanyakan maksudnya. Ternyata, sahabatnya ada yang akan melangsungkan lamaran dan sedang mencari fotografer untuk mendokumentasikan jalannya acara tersebut. Sempat terbersit keraguan dalam diri saya, apakah saya mampu? Apalagi ini project komersil saya yang pertama. Sebelumnya saya memang pernah mendokumentasikan lamaran sahabat saya, demikian juga dengan pre wedding-nya, namun karena ia sahabat saya, tentu saja saya nggak mau dibayar sepeser pun. Anggap saja itu kado pernikahan dari saya. Nah, kalau klien yang benar-benar baru saya kenal, gimana nih?

Sambil komat-kamit meyakinkan diri, saya pun menerima tawaran pekerjaan tersebut. Masih ada waktu sekitar 3 bulan sampai acara berlangsung, jadi saya masih sempat mempersiapkan referensi foto dan gear tambahan yang mungkin dibutuhkan, dan pastinya latihan terus untuk upgrade skill dong. Dari awal saya udah tau harus bisa multitasking menggunakan 2 kamera sekaligus. Saya berencana meminjam kamera teman saya untuk mengerjakan project tersebut. Saya juga membeli satu lensa fix dengan panjang focal 20mm. Bukan pilihan yang bijak sebetulnya, tapi sudahlah. Hahaha… 😅

Singkat cerita, sekitar bulan November 2017 saya dekat dengan sesama photography enthusiast yang ternyata pada akhirnya jadi pasangan saya. Semula saya nggak cerita kalau saya punya project lamaran ini. Saya baru cerita setelah kami resmi pacaran (cieee) dan dia pun menawarkan diri untuk ikut membantu saya mengerjakan project ini. “Aku takut kamu baper nanti kalau datang ke acara lamaran orang sendirian.” Duileeeeh… Hahahaha… 😂

Pada hari H, kami datang dengan membawa semua perlengkapan yang kami punya; tripod, kamera mirrorless Sony A6000 + lensa 35mm (punya dia), kamera mirrorless Olympus Pen EPL7 + lensa 20mm & lensa zoom 40-150 mm (punya saya), kamera mirrorless Fujifilm X-A3 (punya teman kami). Bisa dibilang ala kadarnya banget sih memang kalau dibanding fotografer profesional. Kami juga cuma pakai flash bawaan, bukan flash external. Dengan segala keterbatasan alat, kami memulai hari itu dengan optimis.

Nyatanya?

Hahahaha….

Kami menutup hari dengan wajah sendu. Ternyata memotret acara lamaran banyak sekali tantangannya, sekalipun dikerjakan berdua. Acaranya digelar di sebuah kafe di Bogor. Tapi ternyata pencahayaan di ruang make up, di ruang prosesi lamaran, dan di ruang balkon untuk sesi foto beda bangeeeet…. Kami harus putar otak menyiasati kejomplangan cahaya di tiga tempat itu. Belum lagi keterbatasan ruang gerak yang bikin kami nggak leluasa berpindah tempat dengan gesit. Belum lagi tamu lain non fotografer yang seenak jidat berdiri di depan lensa kami karena ingin jadi yang terdepan merekam prosesi tukar cincin. Zzzzzzzz…. Intinya, pekerjaan hari itu jauh lebih menguras emosi ketimbang lelah secara fisik.

Usai acara inti, pekerjaan kami belum selesai. Saya masih harus menyortir hasil foto dan mencetaknya untuk disusun di dalam album. Rencana semula saya mau cetak biasa dengan ukuran yang bervariasi dari 2R, 3R, 4R, sampai 5R. Kami menyatukan hasil foto pilihan kami dan saya mencetaknya di studio foto langganan saya. Apakah semua berjalan lancar? Oh, tentu tidak. 😂

Begitu hasil cetaknya keluar, ternyata hasilnya jauh dari ekspektasi kami, well, ekspektasi pacar saya sih. Hehehe… Menurutnya hasil foto yang keluar terlalu tinggi saturasi dan kontrasnya, jadi kurang natural. Selain itu potongan per fotonya pun nggak rapi karena ada garis putih di salah satu tepiannya. Belum lagi ternyata album yang saya beli terlalu besar dan jumlah foto yang dicetak nggak mencukupi untuk memenuhi seluruh album. Dang! Saya langsung panik setengah mati. Kami menjanjikan hasilnya akan selesai dalam waktu 2 minggu yang jatuh pada tahun baru. Tapi melihat hasil yang keluar ternyata jauh dari ekspektasi, ini sih niscaya bakal molor.

Saya beruntung punya pasangan ekstra tenang, di saat saya lagi dilanda kepanikan, dia yang berusaha menenangkan saya dan tetap berkepala dingin. Intinya kami nggak mau mempertaruhkan reputasi, apalagi ini klien pertama kami. Walaupun kami harus sedikit merugi, kami pun memutuskan mencetak ulang foto-foto itu seluruhnya. Kami googling dan mencari banyak referensi studio cetak foto hingga menemukan situs Foto Butik; studio foto yang melayani cetak foto album eksklusif dengan packaging mewah. Foto Butik ternyata punya banyak cabang di beberapa kota, Bogor dan Jakarta termasuk di antaranya. Karena jam layanan Foto Butik hanya sampai jam 6 sore sedangkan saya kerja di Jakarta, saya nggak bisa datang ke cabang Bogor. Cabang Fatmawati pun jadi pilihan karena letaknya yang cukup dekat dengan kantor saya.

Saya pergi ke sana hari Rabu, 3 Januari 2018 pukul 5 sore. Di sana saya disodori price list cetak album eksklusif. Sebenarnya ada banyak pilihan ukuran dan variasi model, mulai dari yang box biasa, box kulit, sampai packaging koper isi satu album dan dua album. Karena budget kami super mepet, saya pun memilih ukuran yang paling kecil, 20 x 25 cm dengan packaging box biasa. Prosesnya memakan waktu sekitar 1 minggu untuk editing foto sekaligus cetak album. Sebelum dicetak, pihak Foto Butik akan mengirimkan proof design melalui email. Saya nggak banyak request soal desain karena saya cukup percaya dengan selera mereka. Saya cuma request nuansa desainnya dibuat kombinasi warna silver dan pink agar senada dengan baju sang calon pengantin wanita. Saya kembali mendatangi Foto Butik pada hari Rabu, 10 Januari 2018 sesuai janji untuk mengambil album yang sudah selesai. Over all, kami cukup puas dengan hasilnya. :)

Hari Sabtu, 13 Januari 2018, saya bertemu dengan klien untuk serah terima album foto beserta CD berisi soft copy foto acara. Sejujurnya saya merasa nggak enak banget banget karena pekerjaan saya molor dari waktu yang udah dijanjikan. Alhamdulillah-nya mereka ngerti, apalagi setelah saya ceritakan situasinya mengenai proses cetak foto yang diulang lagi dari awal. And surprisingly, they love it! Sungguh, nggak ada yang lebih mengharukan bagi pekerja seni kayak kami selain wajah klien yang puas dengan hasil pekerjaan kami. Sebagai tanda permohonan maaf juga, saya kasih bonus cetak foto + frame seukuran 8R sebanyak 2 buah. Hihihi….

Setelah semua rangkaian pekerjaan selesai, yang tersisa untuk kami tinggal evaluasi. Yang jelas, ada banyak hal yang masih harus kami perbaiki. Mulai dari pembagian kerja di lapangan supaya semua prosesi ter-cover, terus juga kesiapan kami dalam mengumpulkan referensi gaya supaya nggak buntu, serta kesiapan perlengkapan perang apa aja yang harus kami bawa sesuai dengan medannya. Dan masiiiih banyak lagi yang harus didiskusikan bersama. Yang jelas, kami nggak akan berhenti belajar dan meningkatkan skill serta kualitas gear (kalau ada rejeki 😅) dan semoga kami bisa jadi tim yang lebih solid lagi dari sekarang! ❤

Bonus:
Biasanya saya posting hasil foto di portofolio online, tapi untuk kali ini saya unggah di sini juga deh. Foto diambil menggunakan kamera Olympus Pen E-PL7 dan Sony Alpha 6000. Enjoy! ❤









Share:

Laki-laki Pengecualian

Somewhere only we know.

Sejujurnya, saya tipe perempuan yang gampang-gampang susah cari pasangan. Karena apa? Saya cenderung cepat ilfeel kalau menemukan sesuatu yang nggak sreg dalam diri seorang pria. Entah berapa nama yang saya coret dari daftar kandidat hanya karena alasan super konyol.

"Aduh, ibunya kayaknya galak deh, nggak mau ah..."
"Masa dia jalan sama cewek pake sepatu butut yang udah bolong sih?! Rapian dikit kek!"
"Padahal dia bawa motor, dia yang ngajakin jalan, tapi pulangnya nggak dianterin. HIH!"
"Masa dia kira 1 mil itu sama dengan 1000 kilometer?! Seriously?"
"Masa dia kira WTF itu kepanjangan dari whatever?! WTF, dude?!"

Dan masih banyak lagi alasan konyol yang bikin saya ilfeel dan mundur seribu langkah. Sahabat saya sampai khatam kalau saya tiba-tiba hilang minat pada seseorang hanya dalam hitungan hari. Saya bukan tipe perempuan yang mudah dekat dengan laki-laki. Pergi kencan dengan laki-laki yang belum jadi pacar pun bisa dihitung jari. Pengalaman pacaran saya pun nggak bisa dibilang banyak juga. Hehe...

Tapi ketika ada laki-laki yang bahkan di pertemuan pertama sempat-sempatnya memenuhi panggilan alam di stasiun dan membuat saya menunggu, anehnya, saya nggak ilfeel. Mungkin, karena permohonan maafnya yang jujur bikin saya nggak tega mau marah. Lagipula, kayak saya sendiri nggak pernah punya masalah sama pencernaan aja. Mungkin, karena hal pertama yang dia katakan setelah kami naik kereta adalah: "Kamu mau minum?" Meskipun tawarannya saya tolak secara halus karena masih canggung. Mungkin, karena dia nggak pernah kehabisan cerita lucu untuk bikin saya tertawa lepas. Mungkin, karena setiap kali dia khawatir saya tersinggung, dia langsung minta maaf saat itu juga dan memastikan saya nggak bete. Mungkin, karena di sepanjang perjalanan itu dia terus menerus mendahulukan kenyamanan saya ketimbang dirinya sendiri. Mungkin, karena setiap ada kesempatan, dia memotret saya diam-diam lalu tertawa geli melihat ekspresi saya yang aneh-aneh. Mungkin, karena segala hal yang berkaitan dengan aneh-anehnya saya, di mata dia justru kelihatan menarik. Mungkin, karena dia berhasil menularkan semangatnya kepada saya untuk terus belajar dan mencoba hal-hal baru. Mungkin, karena ketika saya dilanda kepanikan melihat kamera kesayangan saya mati, dia bisa tetap tenang memikirkan solusinya. Mungkin, karena ketika saya bilang saya sedang sedih dan ingin cerita, dia langsung mengosongkan agendanya malam itu juga untuk menghampiri saya tanpa diminta. Mungkin, karena ketika saya bilang mau pergi ke dokter sendirian, dia langsung ambil cuti dadakan untuk menemani saya ke dokter tanpa diminta. Mungkin, karena setelah saya beranikan diri untuk membuka satu per satu sudut tergelap dalam hidup saya, dia memutuskan tidak akan pergi. Mungkin, karena dengan segala keterbatasan saya, di matanya saya adalah perempuan kuat. Mungkin, karena dia menawarkan telinga untuk mendengarkan keluh kesah saya, dan pundak yang kokoh untuk sesekali bersandar ketika saya lelah. Dia tahu betul, menjadi anak pertama dalam keluarga itu bukan perkara mudah.

Baru saya sadari, ternyata ada begitu banyak alasan kenapa laki-laki ini bisa jadi pengecualian dari kebiasaan saya yang gampang ilfeel. :)
Share:

Sometimes, The Camera Girl Wants To Be Photographed Too

Sedari dulu, saya selalu jadi camera-girl. Saya selalu jadi orang yang bertanggung jawab membuat orang lain kelihatan bagus di dalam foto dalam segala suasana. Jangan kelihatan gendut, perutnya jangan kelihatan buncit, jangan membungkuk, jangan manyun, dll dsb. Tapi, ada nggak yang repot-repot memastikan saya juga punya potret diri yang bagus? Hehehe, ndak ada. :) Kebanyakan orang terlalu sibuk mengagumi potret diri masing-masing.

"Ih, gue lucu banget!"
"Yaampun di sini gue keliatan kurus nih."
"Waaah, lucu-lucu nih, sekali lagi dong!"

Daaaan, masih banyak lagi, ehehehe....

Seiring berjalannya waktu, saya hampir lupa rasanya punya potret diri sendiri yang bagus dan representatif. Seadanya sajalah, toh saya cuma tukang foto, yang penting acara ini  terdokumentasikan dengan baik dan semua orang happy punya foto yang hasilnya bagus. Saya pun mulai terbiasa mengalah saat harus foto grup dan saya jadi satu-satunya orang yang nggak ada di foto itu. Yes, I was invisible. I was there, but nobody cares.

Sampai suatu hari, saya ketemu seseorang yang nggak cuma senang hati memotret saya diam-diam, tapi juga berkata: "Kamu lucu lho kalau di foto." Respon saya waktu itu cuma: "Uh huh? Seriously?"

Dan kurang lebih beginilah ekspresi saya tiap kali lensa kamera dihadapkan ke wajah saya.

"Jangan foto candid mulu!"

Yes, I feel uncomfortable in front of the camera. Lebih baik saya yang pegang kamera dan saya pastikan kalian punya foto yang bagus, daripada saya yang harus berdiri di depan kamera & bergaya. I didn't feel good about myself. I didn't think I am good enough to be photographed. Saya nggak masalah kok kalau saya nggak muncul di sebagian besar foto. Saya merasa cukup puas bisa merekam jalannya acara dengan kamera di tangan saya.

Tapi lagi-lagi dia bilang, "As long as you're going with me, you'll always have your own personal photographer," *tersipu-sipu* "You're my partner, and at the same time, you're my model too. Get used to it."

"Liat sini doong..."

Saya yang tadinya nggak nyaman kalau lensa kamera diarahkan ke wajah saya, lambat laun melunak. Baiklah, sesungguhnya ini bukan hal yang mudah, but he made it easier for me. He always trying to made me laugh. And suddenly, I'm a smiley girl!

Beberapa minggu kemudian, udah bisa luwes senyumnya!

We keep this love in a photograph
We made these memories for ourselves
Where our eyes are never closing
Hearts are never broken
And time's forever frozen still
Share: