Kuncinya Cuma Satu: Jangan Ngatur!

"Udah 2018, masih ada cowok yang komplain cewek nggak bisa masak?" 😒

Suatu hari linimasa Twitter saya dipenuhi oleh lempar-lemparan kata antara kubu yang kekeuh bahwa perempuan itu nggak harus bisa masak untuk jadi istri dengan kubu yang berpendapat bahwa perempuan nggak bisa masak itu harusnya nggak dipermasalahkan. Tunggu sebentar.... 💆

Sumber ilustrasi: Freepik

Dari dulu kalau ada keributan kayak gini, saya selalu jadi pihak yang cuma duduk manis ambil popcorn sambil menyimak. Entahlah, capek aja gitu rasanya ikut-ikutan teriak menyuarakan pendapat pribadi, belum tentu ada yang dengar juga. Kalau pun ada yang dengar, apa bakal meredakan keributan atau justru memperkeruh suasana?

Saya lahir di keluarga dengan Ibu seorang pekerja, tapi Ibu saya nggak pernah absen memasak untuk keluarga kami, meski itu artinya ia harus bangun sebelum Subuh dan udah sibuk di dapur dari pukul empat. Lalu saya ngapain? Masih tidur sampai jam setengah 6 pagi, baru terhuyung-huyung ke kamar mandi untuk sholat Subuh, sekitar jam 7 pagi udah berangkat dengan membawa bekal masakan Ibu untuk makan siang. 😌 Saya nggak tahu bagaimana Ibu saya bisa melakukan itu semua praktis setiap hari tanpa mengeluh, sampai saya yang ada di posisi beliau.

Sebelum menikah, saya dan suami sudah mendiskusikan pembagian tugas pekerjaan rumah tangga. Karena kami sama-sama bekerja, praktis waktu saya untuk melakukan pekerjaan rumah pun terbatas. Kami menjunjung prinsip teamwork, saya bagian memasak, mencuci piring, dan menyetrika baju. Sedangkan suami saya kebagian tugas mencuci baju (pakai mesin sih 😛) dan menjemur, juga menyapu dan mengepel lantai. Sesekali kalau saya lagi kelelahan, suami saya ambil bagian mencuci piring tanpa saya minta. Dia juga yang berperan jadi tukang reparasi berbagai macam benda di rumah ketika ada yang rusak ringan. Kalau rusaknya parah? Ya panggil tukang lah... :))

Dan iya, suami saya terang-terangan bilang dia mencari calon istri yang salah satu kriterianya harus bisa masak. Ada yang salah? Enggak. :) Karena kebetulan kriteria yang dia cari ada dalam diri saya. Itu yang disebut jodoh. Apakah ada aturan baku tentang kriteria memilih calon pasangan? Nggak ada. Semua balik lagi ke preferensi pribadi, kita nggak bisa asal tunjuk kriteria A itu salah, lebih baik kriteria B. Lha yang mau nikah siapa sih kok situ yang ribut? :))

Ada perempuan yang ingin tetap bekerja setelah menikah dan punya anak.
Ada lelaki yang lebih memilih jadi pekerja lepas agar bisa dekat dengan anaknya, cukup sang istri yang punya penghasilan tetap.
Ada perempuan yang memang nggak bisa/nggak mau/nggak suka masak.
Ada lelaki yang senang menyajikan masakan lezat untuk sang istri dan anak-anaknya.

Sama halnya kayak nggak semua orang suka makan durian, kambing, petai, jengkol, dll. Tapi di sisi lain ada yang jadi penggemar fanatik makanan-makanan itu. Apa selera orang bisa kita paksakan? Ya nggak bisa lah. Kuncinya cuma satu: jangan ngatur. :)) Pada akhirnya memang akan jadi masalah kalau ekspektasi seseorang nggak sejalan dengan kriteria pasangan yang ia pilih, tapi nggak ada komunikasi yang baik di antara keduanya. Mungkin karena terbawa euforia persiapan pernikahan sampai-sampai lupa mendiskusikan hal-hal fundamental, lalu kaget karena ternyata pasangannya nggak sesuai dengan ekspektasi. JENG JENG...... :))

Meski saya masih terbilang baru dalam menjalani rumah tangga, tapi satu hal yang saya amini, bahwa kehidupan berumah tangga itu dinamis. Tinggal bagaimana kita yang menjalaninya mampu beradaptasi seiring berjalannya waktu. Ada banyak variabel yang menjadi penentu dari sistem yang berlaku dalam setiap rumah tangga. Semoga makin banyak orang yang sadar bahwa tolak ukur kebahagiaan seseorang nggak bisa disamakan dengan orang lain. 🙏
Share:

A Little Thing Called Miracle


Kalau ada yang masih ingat, di awal tahun 2018 ini saya menulis tentang 'persahabatan' saya dengan sebuah obat, yang tentunya tidak saya lakukan dengan sukarela, melainkan karena kondisi khusus yang mengharuskan saya untuk itu. Sejak saat itu saya memiliki semacam love and hate relationship dengan Cyclo Progynova, obat hormon yang diresepkan oleh dokter kandungan untuk saya demi teraturnya siklus haid yang selama ini kerap mengganggu saya. Saya masih ingat betul, dokter kandungan yang menangani saya waktu itu berkata, "Sementara ini saya cuma bisa bilang kalau kamu mengalami gangguan hormon, itu sebabnya kenapa haid kamu nggak teratur. Jadi hormon yang semestinya banyak ditemui di tubuh laki-laki, di tubuh kamu malah banyak. Kondisi ini bisa jadi salah satu gejala PCOS, tapi untuk make sure apakah betul PCOS atau bukan, harus dengan USG transvaginal. Karena kamu belum menikah, saya nggak berani cek sampai ke situ. Kamu USG transvaginal nanti aja ya kalau udah menikah."

Okay....

Waktu itu jujur aja saya kebanyakan bengong dan menatap nanar. Too much information that I can't handle. Tapi sisi positifnya saya bersyukur karena dokter berkata bahwa rahim saya dalam keadaan baik, tidak ada tanda-tanda keberadaan kista atau apapun. Meski demikian, saya berusaha mengatur ekspektasi agar tak terlampau tinggi. Saya sadar bahwa setelah menikah nanti, mungkin saya termasuk orang yang butuh waktu lama untuk dikaruniai momongan, karena kondisi saya ini. Satu hal yang saya syukuri, pasangan saya lah yang berusaha meng-encourage saya untuk memeriksakan diri ke dokter. Dan setelah mengetahui kondisi saya yang seperti ini, tak sedikit pun mengurangi niatnya untuk memperistri saya. Iya, saya yang didiagnosa dokter mengalami gangguan hormon dan mungkin saja akan sulit hamil.

Singkat cerita, satu bulan setelah menikah saya ngobrol-ngobrol dengan salah satu sahabat saya. Kami berdua sama-sama sudah telat haid, tapi masih bisa ketawa-ketiwi. Waktu itu saya menceritakan beberapa perubahan dalam tubuh saya yang saya pikir merupakan tanda-tanda PMS. Sahabat saya nyeletuk, “Eh, itu bisa jadi tanda hamil lho.” Respon saya saat itu cuma, “Aaah, nggak mungkin…”

Di lain hari, saya ngobrol dengan teman kantor saya yang baru sebulan kembali bekerja setelah cuti melahirkan. Berhadapan dengan ibu dari dua orang anak, saya yang terhitung masih pengantin baru ini pun banyak bertanya-tanya soal pengalaman seputar kehamilannya. Seperti dilanda déjà vu, teman kantor saya berkata, “Tanda-tanda hamil tuh mirip-mirip lho Ni kayak kalau mau haid. Makanya orang sering salah sangka, kirain mau haid eh nggak taunya hamil.”

DHEG….

Oke kayaknya saya harus memastikan saat itu juga. Saya langsung meluncur ke apotek terdekat dan membeli dua buah test pack dari dua merk yang berbeda. Waktu itu saya berusaha menekan ekspektasi supaya nggak terlalu tinggi, tapi entah kenapa feeling saya kuat banget. Sambil sembunyi-sembunyi saya bawa test pack itu ke kamar mandi. Dan ternyata…. strip dua saudara-saudara…. :’)


Somehow it felt so unreal, I couldn't believe that something so small yet miraculous is growing inside me. For a minute I just cried, I guess we all did, or maybe is it just me? I couldn't hardly wait to tell my husband, but I guess he deserved to be notified in person.

Ulang tahun suami saya hanya tinggal beberapa hari lagi. Sebetulnya saya sudah mempersiapkan kado spesial untuknya, tapi ternyata Allah Swt. memberikan kado terbaik yang bisa kami minta. Jadi sore itu, saya cepat-cepat pulang. Suami saya tiba di rumah sedikit lebih malam dari biasanya dalam keadaan kurang enak badan. Untuk menghiburnya, saya keluarkan kotak hadiah yang udah saya siapkan dari lemari, "Biar kamu cepat sembuh, nih kadonya aku kasih duluan." Kotak hadiah yang sengaja nggak saya bungkus itu sukses bikin dia kegirangan. Dalam hati saya cuma bergumam, "Wait for it baby, the best is yet to come...." *evil grin* 😈

Begitu kotaknya dibuka dan dia lihat kejutan lain yang udah menanti, untuk sesaat dia bengong. Terus malah nanya, "Ini artinya apa?" 💆 And then I saw it. He wiped away the happy tears. He's not the man who willingly show his tears in front of me. But maybe all of this joy is too much to bear. So I just ran into his arm and we burst in happy tears. Never have I ever thought before, that we're gonna be parents this fast. So many things go round inside my head. "Am I ready? Are we ready? Am I gonna be a good mom? But I haven't got vaccinated yet!" And blah blah blah.... One thing that keep me calm is that I know I will always have this loving man as my partner. :')

Jadi gimana rasanya?

Untuk sekarang cuma bisa bilang, belum pernah sebahagia ini sebelumnya. Meski mood swing terus menyerang karena pengaruh hormon, meski mual muntah masih datang dan pergi, meski sering tiba-tiba pusing dan jadi lebih mudah lelah dari biasanya, tapi semua insya Allah dijalani dengan penuh rasa syukur.


Siapapun yang pernah mampir ke blog ini karena membaca tulisan saya tentang Cyclo Progynova, saya mungkin nggak bisa balas semua komentar kalian satu per satu. Saran dari saya cuma, kalau ada keraguan atau hal yang nggak dimengerti, please hubungi dokter segera. Karena saya cuma orang awam yang juga mengandalkan jawaban dari dokter. Tapi apapun diagnosa dokter, percayalah kalau masih ada kekuatan dari Tangan-tangan Tak Terlihat. Miracle does happen. 💗
Share: