Cerita Persalinan: Ketika Kami Terlahir sebagai Orangtua


Bayiku pintar, bayiku sehat, bayiku sempurna.

Bayiku tahu kapan waktu yang tepat untuk lahir, aku cuma perlu lebih peka membaca pertanda dan bahasa cintanya.


Kalimat ini yang terus menerus saya gaungkan menjelang Hari Perkiraan Lahir tiba. Saya mengambil cuti melahirkan 3 minggu lebih cepat dari tanggal HPL, bukan tanpa alasan. Waktu tempuh yang lumayan panjang serta jarak dari rumah ke kantor yang cukup jauh membuat saya khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun ternyata sampai dengan usia kehamilan saya memasuki minggu ke-39 saya belum juga merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Percaya atau engga, saya bahkan sampai googling "seperti apa rasanya kontraksi palsu". 😂 Saking saya bingung dan clueless khawatir melewatkan tanda-tanda yang penting. Sejujurnya sejak bulan ke-8 perut saya udah sering terasa kencang. Saking seringnya yang tadinya saya merasa agak ngilu lama-lama jadi kebal. Tapi saya yakin kalau perut kencang itu nggak berarti persalinan akan segera tiba.

Saya mulai dilanda kekhawatiran apalagi melihat di lini social media banyak yang baru saja melahirkan, entah itu teman-teman ataupun public figure. Pokoknya saya tahu siapa-siapa aja yang hamilnya barengan sama saya dan hampir semuanya udah launching. Mulai dari Tya Ariestya, Tasya Kamila, istrinya Raditya Dika, sampai Meghan Markle. 😂 Sebagai upaya memperlancar proses persalinan, hari Minggu tanggal 19 Mei 2019 saya ikut prenatal yoga sekaligus kontrol kehamilan di klinik Bidan Erie. Untuk pertama kalinya saya diperiksa dalam dan ternyata menurut Bidan Erie saya udah pembukaan 1 dengan posisi kepala bayi yang sudah masuk panggul. Saya pun diberi racikan homeopathy dan diminta untuk lebih sering melakukan induksi alami yang tidak menggemukkan karena bayi saya udah cukup besar. 🙈😂 Beliau optimis kalau saya bisa melahirkan di minggu itu. Pulang dari klinik saya melakukan apa yang disarankan Bidan Erie.
 
Dua hari kemudian, saya bangun dan menyiapkan sahur seperti biasa untuk suami saya walaupun saya nggak ikut puasa. Saat itu saya belum merasakan apapun. Tapi setelah sholat Subuh dan saya ketiduran, antara sadar dan engga saya merasakan sensasi mulas ringan. Karena rasanya belum terlalu intens, saya minta suami saya tetap masuk kerja seperti biasa karena bisa jadi ini hanya kontraksi palsu. Nggak lama setelah dia berangkat, saya baru sadar kalau HP-nya ketinggalan. 😑🤦 Akhirnya dalam keadaan hamil besar dan kaki sakit, saya jalan cepat mengejar suami sebelum dia keburu jauh. Wong harusnya dia siaga dan bisa dihubungi kapan aja, ini malah HP-nya ditinggal-tinggal. 💆

Setelah drama pengejaran itu, saya kembali ke rumah dan ups... tiba-tiba kontraksi terasa semakin kencang. Untuk memastikan bahwa ini memang kontraksi sungguhan, saya menghitung durasi dan jeda kontraksi lewat aplikasi Kontraksi Nyaman. Dan hasilnya udah bukan pola 5-1-1 lagi, tapi udah pola 3-1-1. 💆😂 Saya tunggu sampai 30 menit dan belum ada tanda-tanda hilang, akhirnya saya bilang ke suami dan minta dia untuk pulang lagi. 😅 Saat itu suami saya udah naik kereta dan baru sampai Stasiun Tebet, akhirnya dia nggak jadi ke kantor deh. 🤣

Sambil menunggu suami pulang, saya berusaha mengatur nafas dan bermain gym-ball untuk mengurangi rasa sakit. Sesekali saya bergoyang mengikuti 'perintah' tubuh dan hasilnya memang rasa sakit jauh berkurang ketimbang saya diam saja. Suami tiba di rumah sekitar pukul 10.30 dan kami langsung bergegas ke klinik Bidan Erie. Satu hal yang saya sesali adalah, kenapa saya nggak banyak makan di fase mulas itu. Saya cuma minum susu dan makan sedikit roti. Harusnya saya makan lebih banyak karena ke depannya saya butuh banyak energi. Kami pun tiba di klinik sekitar pukul 12.00 WIB, langsung cek pembukaan dan ternyata udah mau bukaan 3. Kami dipersilakan untuk menempati kamar 1 dan saya diminta istirahat, kalau bisa bahkan tidur aja di sela-sela kontraksi.

Kami langsung menghubungi pihak keluarga saat itu. Butuh waktu bagi ibu dan ayah saya untuk menyusul kami dari Bogor ke Citayam. Apalagi saat itu ibu masih di sekolah sedangkan ayah saya lagi rapat bersama walikota Bogor. 😅 Padahal pagi harinya, ayah saya baru aja menanyakan kabar via WhatsApp. Saat itu dengan yakinnya saya bilang, "Belum terasa pak, nanti dikabari kok." Ibu saya baru tiba di klinik pukul 15.00, sedangkan ayah saya menyusul satu jam kemudian. Sementara keluarga suami saya yang di Sumedang baru bisa ke Bogor keesokan harinya.

Selama berjam-jam merasakan mulas, saya terus menerus diingatkan untuk makan. Tapi ya gimana mau makan, tiap kali makan nggak berapa lama kemudian saya langsung mual luar biasa lalu muntah. Seolah perut saya menolak semua makanan bahkan air putih sekalipun, padahal saya nggak punya asam lambung. Karena terus menerus muntah, saya jadi lemas dan cuma bisa berbaring. Di sela-sela kontraksi yang timbul tenggelam, saya masih sempat-sempatnya ketiduran. Saya bersyukur selama proses yang melelahkan itu suami saya selalu ada di samping. Walaupun nggak ada insiden teriak-teriak heboh sambil cakar sana sini, tapi lumayan juga tuh tangan dan lengannya saya cengkeram agak keras. 🤣 Selama itu pula tim bidan yang berjaga di sana saling bergantian memantau perkembangan saya. Mereka memantau pembukaan hanya dengan meraba perut saya saat kontraksi, sama sekali nggak melakukan pemeriksaan dalam kecuali saat saya baru tiba di klinik. Jadi saya nggak tahu udah bukaan berapa karena mereka juga nggak ngasih tau. 😅 Oh iya meski saya hanya berbaring, tapi saya diminta berbaring menghadap kanan sambil menaruh peanut ball di antara kedua kaki saya seperti guling. Hal itu dimaksudkan untuk membantu agar panggul semakin membuka dan memudahkan bayi untuk mencari jalan keluar.

Sekitar pukul 16.30, saya mengumpulkan sisa-sisa tenaga untuk bangkit dan main gym-ball di ruang yoga ditemani suami. Dan saat itulah kekacauan terjadi, saya muntah buanyaaaak banget di ruang yoga tanpa sempat lari ke kamar mandi. Baju saya berlumuran muntah sampai mengotori lantai dan saya semakin lemas. Setelah itu semuanya terasa berlalu dengan cepat. Yang saya ingat saya langsung kembali ke kamar untuk ganti baju dan pakai sarung, lalu kembali berbaring dengan posisi menjepit peanut ball. Rasa mulasnya udah makin nggak karuan, suami dan ibu saya bergantian mendampingi sambil saya remas-remas tangannya. Sebetulnya saya sudah latihan nafas untuk membantu persalinan, tapi entah kenapa saat rasa sakit semakin menjadi semua ilmu nafas yang saya pelajari buyar semua. 😂

Saya nggak ingat kapan tepatnya peanut ball ditarik dari kaki saya, tau-tau ada bidan yang ditugaskan untuk bergantian memegangi kaki kiri saya agar tetap di atas karena saya udah lemas banget. Entah ada berapa bidan yang mengelilingi saya, semuanya berusaha menyemangati. Padahal saya yakin mereka juga lelah dan lapar, apalagi udah menjelang waktunya berbuka puasa. Ketika adzan Maghrib berkumandang, ruangan mendadak sepi karena mereka bergantian berbuka puasa sekaligus shalat Maghrib. Kebetulan kontraksi juga lagi agak kalem, mungkin bayi saya tahu kalau saat itu semuanya lagi butuh waktu untuk istirahat sebentar. 😂 Nggak berapa lama kemudian Bidan Erie tiba, entah sugesti atau bukan saya serasa dapat suntikan energi positif hanya dengan mendengarnya bicara. Saya nggak ingat berapa kali tepatnya saya berusaha mengejan namun berhenti karena kehabisan tenaga. Tapi saya ingat pada usaha terakhir, saya berusaha 'memanggil' anak saya, "Dede Bilal ayo bantuin Bunda!" diiringi erangan yang panjang (dan agak memalukan setelah saya tonton ulang videonya 🙈😂). Nggak lama kemudian, lahirlah putra pertama kami tepat pukul 18.46 WIB. :')

Bilal usia 1 hari, difoto oleh Bidan Erie kesayangan kami 🤗

Bilal Ar Razi Irawan.

Terima kasih sudah memilih kami sebagai orangtuamu. Pada detik kamu lahir, saat itu juga kami terlahir kembali sebagai orangtua.

Tangisan pertama anak kami langsung terdengar memenuhi seisi ruangan. Bidan Erie lalu meletakkan tubuh mungilnya di dada saya. Ia masih berlumur cairan ketuban, tali pusatnya pun masih terhubung ke plasenta. Dan saya langsung memeluknya erat-erat sambil mengucap syukur tanpa henti. :') Alhamdulillah, alhamdulilah alhamdulilah, terima kasih ya Allah atas anugerah serta amanah yang Kau titipkan pada kami. Anak kami sehat dan sempurna, seperti doa yang tak henti kami rapalkan setiap hari berulang kali. Di pelukan saya berbaring manusia kecil yang harus kami didik untuk menjadi sebaik-baiknya manusia di muka bumi.

Kami beruntung bisa mengabadikan momen bersejarah ini meski dengan kamera seadanya. Suami saya masih sempat menaruh action cam di pojokan ruangan beberapa menit sebelum anak kami lahir. Semua perasaan dan emosi yang tumpah di dalam ruangan itu pun berhasil direkam. Ketika kami sedang dilanda euforia dan tangis bahagia, rupanya para bidan sedang mati-matian berusaha menyelesaikan pekerjaan mereka yang juga nggak kalah penting: membenahi kembali jalan lahir yang baru saja dilewati anak saya. 🙈😂 Persalinan gentle birth memang tidak mengenal prosedur menggunting perineum dengan sengaja (alhamdulilah! 😂). Semua dikembalikan pada kemampuan sang ibu dalam mengatur nafas, seberapa besar ukuran bayi, bagaimana posisi tubuh bayi sebelum dan saat melewati jalan lahir, serta bagaimana sang ibu mempersiapkan tubuhnya. Itulah beberapa faktor yang akan menentukan apakah akan terjadi robekan atau tidak pada perineum. Kalau saya, karena sempat kehabisan tenaga dan juga nafas yang terlalu pendek, saya sempat berhenti mengejan di tengah jalan. 🙈😂 Padahal kepala anak saya udah hampir keluar tapi malah masuk lagi. Gara-gara itu di kepalanya terlihat ada lekukan bekas proses mengejan yang kurang terlatih, untungnya bekas lekukan itu sekarang udah hilang. 🙈😂

Lahirnya sang penerus Avengers di masa depan 😂

Yang jelas saya merasa beruntung bisa melahirkan di klinik ini, bersama Bidan Erie beserta timnya yang luar biasa sabar dan baik hati. Membaca banyak kisah persalinan para ibu di luar sana, saya menyadari bahwa bisa mengalami persalinan gentle birth merupakan sebuah kemewahan. Nggak sedikit ibu-ibu yang persalinannya mengalami terlalu banyak intervensi hingga menyisakan trauma. Belum lagi yang harus berdebat dengan keluarga inti karena berbeda pendapat mengenai metode persalinan. Atau yang merasa cemas karena kehamilannya divonis A-B-C oleh provider-nya padahal ketika ditelisik lagi, masih banyak cara untuk mengupayakan persalinan yang nyaman bagi sang ibu. Alhamdulillah saya nggak salah pilih, seolah semesta mendukung pilihan saya untuk melahirkan di Bidan Erie. Setelah melihat sendiri bagaimana proses persalinan yang saya alami, keluarga saya bahkan sampai memuji-muji pelayanan yang diberikan di klinik Bidan Erie.

Setelah persalinan, saya diminta menginap selama 2 malam di sana untuk observasi ibu dan bayi, memastikan tidak ada gejala serius ataupun komplikasi. Menjalani rawat inap di sana lebih terasa seperti menginap di rumah saudara, sama sekali nggak terasa seperti di klinik. Kamar yang saya tempati terdiri dari 1 kasur single, 1 boks bayi, 1 lemari baju, 1 sofa bed, 1 meja kecil, dilengkapi AC dan kamar mandi dalam. Kalau di rumah sakit, setidaknya saya mungkin harus menjadi pasien kelas VIP untuk mendapatkan fasilitas seperti itu. 😅

Sebelum kami pulang ke rumah, foto dulu sama Bidan Erie 😅

Butuh waktu 40 hari lebih bagi saya sebelum berhasil menuntaskan cerita persalinan ini. Siapapun yang pernah melalui fase melahirkan dan menyusui newborn pasti paham bagaimana rasanya. 😅 Apalagi pasca melahirkan saya langsung pulang ke rumah sendiri, bukan ke rumah orangtua. Keluarga suami memang menemani kami di rumah tapi hanya sampai seminggu setelah kami pulang. Selebihnya saya dan suami yang 'babak belur' menyesuaikan pola tidur serta manajemen waktu bersama anak bayi yang konon posesifnya melebihi semua mantan dijadiin satu. Hahahaha.... 😂 Saya bersyukur anak kami lahir sesaat sebelum libur lebaran, jadi suami punya waktu lebih banyak untuk menemani saya di rumah dan turun tangan langsung dalam mengurus anak. Sekarang, insya Allah kami berdua semakin solid mengurus anak, udah nggak se-clueless dulu. Si anak bayi juga udah lebih kalem ketimbang minggu-minggu pertama usianya. Ketika melalui fase begadang dan kurang tidur, rasanya memang waktu berjalan sangat lama. Tapi sekarang ketika rumah mulai terasa sepi dari suara tangisan bayi, saya jadi kangen masa-masa dia masih bayi merah. 😂 Wajahnya terus berubah-ubah di setiap perkembangan usianya, tingkahnya pun makin ada-ada aja. Rasanya ingin terus mengabadikan setiap detik kebersamaan kami. :')

Hai dunia, perkenalkan anggota baru keluarga kami, Bilal namanya. Semoga ia tumbuh menjadi anak yang sehat, cerdas, sholeh, baik hati dan budi pekertinya, serta bisa membawa kebaikan bagi diri sendiri serta orang-orang di sekitarnya. Aamiin.... 😇🙏

Foto keluarga pertama kami, beberapa hari sebelum Idul Fitri.

Share: