Merekam Jejak Satu Tahun Ke Belakang

Mendekati akhir tahun 2018, pikiran saya melayang kembali ke awal tahun, berusaha memutar ulang apa saja hal-hal penting yang terjadi di hidup saya dalam kurun waktu setahun ke belakang. So here it is, rekam jejak momen-momen penting dalam hidup saya yang terjadi selama satu tahun ke belakang. 😊

Januari
Saya mengawali tahun 2018 dengan perasaan yang cukup optimis. Banyak hal baik yang justru terjadi di akhir tahun 2017, tahun yang bagi saya perjalanannya mirip kayak naik wahana roller coaster. Kadang melaju pelan, kadang ngebut tak terkendali, kadang bikin saya jungkir balik, kadang bikin saya ingin menjerit, kadang bikin saya pasrah sama keadaan dan cuma bisa menutup mata seraya berdoa karena saya tahu kenyataan sedang pahit-pahitnya. Tsah.

New year, new me! 🙋

Februari
Pasangan saya akhirnya memberanikan diri untuk menghadap ayah saya secara resmi dan mengutarakan niatnya untuk melamar saya. Meski masa pacaran kami baru seumur jagung, tapi sejak awal berhubungan kami memang sudah komitmen bahwa hubungan ini nantinya akan dibawa ke jenjang yang lebih serius. Jadi di antara kami nggak ada lamaran-lamaran so sweet apalah itu. 😅 Justru kami bekerja sama gimana caranya agar lamarannya diterima oleh ayah saya. FYI, ayah saya itu terkenal galak dan tegas, jangankan dari sudut pandang pasangan saya, bagi saya sendiri pun momen itu cukup menegangkan. 😂 Takut kalau-kalau ayah saya ternyata punya pendapat lain mengenai masa depan saya, jadi untuk melamar anaknya pun harus dipersiapkan sebaik mungkin. Alhamdulillah, ayah saya ternyata ngasih lampu hijau dan mempercayakan urusan pemilihan jodoh ke tangan saya.

The day when he popped the question (to my father 😝)

Maret
Akhirnya... bulan Maret jadi bulan favorit saya! Di tahun-tahun sebelumnya, setiap memasuki bulan Maret saya selalu muram, sedih, dsb. Saya hampir selalu punya pengalaman yang nggak mengenakkan di setiap ulang tahun saya. Saya juga lupa kapan terakhir kali saya bener-bener ngerasa bahagia di hari ulang tahun. Karena setiap kali ada momen yang membahagiakan, selalu diiringi dengan momen yang meruntuhkan kebahagiaan itu sendiri. Tapi di bulan Maret tahun ini, saya akhirnya merasa punya alasan lagi untuk berbahagia. Selain karena perhatian dan kasih sayang yang bertubi-tubi datang dari orang-orang terdekat, saya juga akhirnya ngerasain.... dilamar! 💖

If you liked it then you should've put a ring on it!

Happy birthday to meee! 🎉🎊

Rasanya nggak cukup satu paragraf untuk menceritakan kebahagiaan saya di bulan Maret. Selain momen ulang tahun dan lamaran, saya juga akhirnya menjejakkan kaki di Krabi, Thailand. Momen liburan yang udah saya rancang sejak bulan September 2017 ini menandai liburan terakhir saya sebagai anak gadis. 😝

Saya & Seruni, teman jalan-jalan paling loyal 😆

April
Salah satu sahabat terdekat saya sejak SMA juga nggak mau ketinggalan melangsungkan prosesi lamaran. Oh iya, mereka ini pasangan yang jadi perantara saya dalam menemukan calon suami. 😂 Percaya nggak percaya sih, saya udah kenal sama pacarnya sahabat saya ini sejak tahun 2016. Nggak nyangka juga ternyata jodoh saya adalah teman kuliah pacarnya sahabat saya. Anyway, belasan tahun bersahabat sejak duduk sebangku di SMA, saya udah kenyang nontonin drama percintaan seorang Geminian. Rasanya udah kayak nontonin drama Cinta Fitri dari season 1 sampai season 7, nggak kelar-kelar. 💆 Makanya saya bersyukur ketika dia udah berhasil 'ditaklukkan' sama 'pawang'-nya. 😂💁


Mei
Sahabat saya yang lain akhirnya resmi dipinang dan menjadi istri. Senang sekali bisa menjadi bagian dari perjalanannya dalam mencari pasangan. Selama belasan tahun bersahabat, saya jadi saksi segala macam drama yang dialami oleh sahabat saya. Beberapa di antaranya mirip banget sama kisah saya sendiri, sempat ngalamin nangis bareng sampai akhirnya hal-hal yang bikin nangis bareng itu bisa bikin kita ketawa guling-guling. 😂 Dari jaman masih dibodohi dan dibutakan sama perasaan sendiri, sampai akhirnya kami bisa berdiri tegak dan menghadapi masa lalu dengan hati lapang. 👏

Surprise bridal shower party untuk sahabat kami 💖

My best friend's wedding!

Juni
Rumah kami kedatangan anggota keluarga baru yang berbulu! 😻 Selama ini saya nggak pernah mau mengadopsi kucing betina, karena biaya sterilnya lebih mahal dibandingkan kucing jantan. Makanya sejak tahun 2012 saya hanya mengadopsi kucing jantan, mulai dari Tuting dan Otong, lalu Diego dan juga Ibong. Sebenernya waktu saya mengadopsi Diego, ia datang bersama saudara perempuannya yang sempat kami beri nama Donna. Tapi sayangnya Donna nggak bertahan hidup, dia meninggal di usia cuma beberapa minggu. Lalu datanglah Keket alias Catherine Elizabeth Middleton. 😹 Kalau dirunut garis keturunannya, dia adalah anak dari Ratu (kucing persia tetangga saya) dengan Otong (kucing domestik campuran milik saya), jadi bisa dibilang Keket ini cucu yang akhirnya pindah hak asuh. 😹 Tetangga saya mengaku kewalahan mengurus Keket yang saat itu usianya masih 7 bulan. Anak kucing di mana-mana memang aktif dan nggak bisa diam, kan? Masa cuma gara-gara itu dia tega nyuruh tukang sampah buat bawa pergi Keket terserah mau dikemanakan. Astaga.... Kucing ras campuran macam Keket nggak akan bisa survive kalau dibuang begitu aja, sedangkan sejak lahir dia nggak pernah menginjakkan kaki di dunia luar sama sekali. Karena nggak tega, akhirnya Keket saya ambil dan langsung saya steril. Sekarang, dia udah jadi kucing gadis yang cantik tapi tomboy. 😻

Princess Catherine, The Duchess of Cambridge

Juli
Saya harus merelakan satu lagi sahabat saya dipinang dan dibawa pergi jauh. Iya, sahabat saya yang baru lamaran di bulan April, menikah di bulan Juli, dan beberapa hari kemudian langsung pergi karena harus ikut suaminya yang bekerja di luar negeri. Rasanya gimana? Persis kayak ditinggal LDR sama pacar. 😂 Nggak peduli meskipun udah dikasih tau dari jauh-jauh hari, tau persiapannya kayak apa, tau prosesnya, tau segala macamnya, tapi tetep aja ketika tiba saatnya buat ngelepas sahabat saya ini pergi nggak semudah kelihatannya. Saya yang dulu biasa mampir ke rumahnya tanpa lihat waktu, kadang Minggu pagi belum mandi masih pakai piyama saya udah manggil-manggil dia di depan rumah, ngajak gowes bareng atau sarapan bareng. Saya yang dulu biasanya kalau malas pulang ke rumah tinggal ngajakin dia nongkrong di kafe favorit, sekarang udah nggak bisa kayak gitu lagi. Adulthood hit me harder than I thought. 😓

Satu lagi surprise bridal shower party untuk sahabat kami 💖
 
My best friend's wedding!

Agustus
Akhirnya.... bulan yang udah saya tunggu-tunggu sejak awal tahun. Sejujurnya, perjalanan kami menuju ke titik ini banyak bangeeeeet godaannya. Apalagi semakin mendekati hari H, terlalu banyak drama yang nggak mampu saya proses. Tapi berkat dukungan dari calon suami dan juga sahabat-sahabat terdekat, alhamdulillah masa-masa itu lewat juga. Dan tepat di tanggal 18 Agustus 2018, saya resmi menjadi seorang istri. Masa penjajakan kami memang relatif singkat, cuma tiga bulan aja. Waktu untuk mempersiapkan pernikahan pun cuma 6 bulan. Selama rentang waktu itu, kami bertemu hampir setiap hari. Bosan? Surprisingly not. Malah saya selalu uring-uringan kalau sehari aja nggak berangkat atau pulang bareng. Di sela-sela waktu yang terbatas antara pekerjaan, kehidupan sosial, dan persiapan menuju hari H, kami berusaha semakin mengenal satu sama lain. Kita mungkin nggak bisa 100% mengenal seseorang, namun saya percaya bahwa mengenal seseorang adalah never ending process. Bahkan mungkin 50 tahun dari sekarang pun ketika kami sudah menua bersama, saya masih belum sepenuhnya paham apa yang ada dalam pikiran pasangan saya.

Bridal shower yang dirancang oleh sahabat-sahabat saya 💖

The day I turned from Ms. to Mrs.

September
Seperti yin dan yang, kehidupan itu seimbang. Ada yang datang, ada juga yang pergi. Ada kelahiran, ada juga kematian. 💔 Di bulan ini saya kehilangan tante (adik perempuan Ibu) yang selama ini cukup dekat dengan keluarga kami. Tapi di bulan ini juga saya mendapat kabar bahagia saat mengetahui bahwa saya sedang hamil anak pertama kami. Di bulan ini juga untuk pertama kalinya kami merayakan ulang tahun suami saya meski dengan sangat sederhana.

Le husband's birthday

Oktober
Satu lagi anggota keluarga yang pergi meninggalkan saya. Kucing jantan saya, Otong, meninggal di usia 5 tahun karena tertabrak mobil. Saya nggak sempat melihat dia untuk terakhir kalinya sebelum dikubur, rasanya nggak kuat. Terakhir kali saya ketemu Otong, kondisinya memang udah cukup menyedihkan karena faktor usia. Lima tahun bagi kucing sudah terhitung tua. Apalagi dia nggak sempat saya steril karena waktu hendak disteril dia malah kabur. Akhirnya saya pasrah dan membiarkan Otong hidup separuh di jalanan, sebuah keputusan yang sangat saya sesali karena keterbatasan ilmu pada saat itu. Kucing-kucing saya setelah Tuting dan Otong, semuanya saya steril dengan alasan kesehatan dan juga keamanan mereka. Kucing yang disteril relatif lebih tenang dan betah di rumah, sehingga meminimalisir resiko berkelahi dengan kucing lain.

Otong Si Tamvan Anak Jalanan

Semoga sekarang Otong udah bahagia ya main-main di surga sama Tuting. Kalian jangan berkelahi ya, saling jaga satu sama lain. :')

My first kitten: Tuting

November
Salah satu hal yang menjadi concern kami sejak menikah adalah…. sampai kapan kami mau jadi kontraktor? Ada satu kejadian di bulan September di kontrakan kami yang benar-benar membuat kami tertampar dan akhirnya memaksa kami berpikir, oke kita harus segera cari rumah. Pencarian rumah sebetulnya sudah kami lakukan jauh sebelum kami menikah. Tapi karena satu dan lain hal, belum ada yang cocok. Sampai akhirnya ketika kami mendatangi pameran rumah di JCC pada bulan September, kami menemukan rumah yang sesuai dengan kriteria dan kemampuan kami. Proses verifikasi data dan administrasi bank memakan waktu sekitar satu bulan lamanya. Kami baru bisa menempati rumah tersebut pada awal bulan November. Masih banyak PR yang harus kami benahi, apalagi kami ngotot menempati rumah tersebut meski support system di dalam rumah belum sepenuhnya lengkap. Tapi pikir kami, tinggal seadanya di rumah sendiri masih lebih baik ketimbang menumpang di rumah orang. PR membenahi rumah agar sepenuhnya layak huni bisa kami kerjakan sambil jalan. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kami menganggap rumah ini sebagai bagian dari keluarga kami juga. 🏠

La Petite Maison

Desember
Sebagai bentuk rasa syukur kami atas anugerah yang tak terhingga, kami sekeluarga menggelar tasyakuran 4 bulan kehamilan. Nggak ada yang kami harapkan selain anak kami kelak lahir dengan selamat, sehat jasmani dan rohani, serta tumbuh menjadi anak yang cerdas dan sholeh/sholehah. Kata orang-orang tua, pada usia 4 bulan kehamilan telah ditiupkan roh ke dalam janin, sehingga sudah jadi tradisi masyarakat kita untuk menggelar tasyakuran demi kelancaran proses kehamilan dan persalinan. Meski digelar dengan sangat sederhana di rumah orangtua saya, rasanya saya mendapat banyak sekali energi positif dari orang-orang yang datang mendoakan kami. Semoga energi ini juga sampai ke calon anak kami sehingga ia tau bahwa kehadirannya sangat dinanti-nanti dan banyak yang menyayanginya meski ia belum lahir.

Tasyakuran 4 bulan kehamilan

Di penghujung tahun, secara kasat mata mungkin nggak banyak hal yang terjadi di dalam hidup saya. Tapi jauh di dalam pikiran saya yang luar biasa kompleks, saya sampai jungkir balik sendiri akibat terlalu banyak membuat asumsi dan tenggelam dalam overthinking. Yes, overthinking can kill you, literally. Saya juga nggak ngerti apa tepatnya yang sedang saya alami. Mungkin pengaruh hormon kehamilan? Mungkin saya sedang berada pada fase transisi untuk menjadi Ibu yang sering dilanda rasa cemas? Atau malah mungkin saya belum siap jadi Ibu dan masih terjebak pada stigma bahwa saya hanya gadis biasa yang belum punya tanggung jawab sebesar sekarang. Apapun itu penyebabnya, selain saya sendiri ternyata orang-orang terdekat saya juga terkena imbasnya, dan itu yang paling membuat saya terpukul. Kesabaran yang ditunjukkan oleh orang-orang terdekat saya dalam menghadapi saya yang seperti itu, membuat saya berpikir, I took them for granted.

Senja di Krabi

Terima kasih Tuhan untuk tahun 2018 yang penuh berkah, anugerah, dan juga pelajaran hidup. Semoga saya bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi dibandingkan diri saya yang sekarang. Sampai jumpa di tahun 2019. 💖
Share:

Road To Gentle Birth: Konsultasi dengan Bidan Erie Marjoko

Hello trimester kedua! 👋

Melanjutkan cerita kehamilan saya, akhirnya dua hari yang lalu saya berkesempatan kontrol kandungan ke tempat Bidan Erie Marjoko di Citayam. Dua hari sebelum kontrol, saya menghubungi Whatsapp pribadinya. Saya kirim Whatsapp sekitar pukul 11 siang, baru dijawab pukul 11 malam. Bidan Erie yang akrab dipanggil Budhe ini menjawab Whatsapp saya dengan ramah, meskipun dia bilang hari itu pasiennya ramai sekali, pasti sebetulnya beliau udah sangat lelah. Waduh, jadi nggak enak saya. 😅 Budhe bilang kalau mau datang ke tempat praktiknya, silakan datang hari Rabu pukul 9 pagi sekalian yoga. Tapi karena usia kandungan saya masih sekitar 14 minggu, jadi saya hanya cek kandungan aja. Tadinya beliau bilang baru ada waktu sekitar jam 11.30, karena saya dan suami sama-sama bekerja, kami nggak bisa ambil jadwal kontrol yang terlalu siang. Akhirnya Budhe bilang kalau saya nggak keberatan kontrol sama tim bidannya, silakan datang pukul 9 pagi. Saya pikir, yaudah lah nggak apa-apa kontrol kandungan dengan tim bidannya, toh pasti para bidan di sana udah sesuai dengan standar Budhe kan? Saya juga pernah baca tulisan di salah satu blog pasiennya Budhe, saat dia ke sana kebetulan Budhe lagi ada pelatihan di Bogor sehingga dia ditangani oleh tim bidannya yang juga nggak kalah baik, lembut, dan supportif.

Saya dan suami tiba di lokasi sekitar pukul 9, saat itu di teras tampak beberapa ibu hamil besar yang lagi menunggu jadwal yoga. Saya disambut oleh bidan berseragam ungu yang mempersilakan masuk ke dalam ruang periksa. Tempat praktik itu sebenarnya adalah rumah tinggal biasa yang terletak di pinggiran kota Depok, nggak seberapa jauh dari stasiun Citayam, hanya berjarak 30 menit dari rumah kami. Selama berada di ruang konsultasi, sebetulnya nggak ada prosedur yang berbeda dibandingkan konsultasi sebelumnya. Seperti biasa saya diukur tensi, ditimbang berat badan, lalu ditanya ada keluhan apa, dan diedukasi mengenai hal-hal yang penting saya ketahui di usia kehamilan segini. Tapi mungkin hal-hal kecil namun berarti yang bikin saya happy, dimulai dari sambutan para tim bidan yang hangat. Selain itu juga nggak ada satu pun tim bidan yang julid pas ngecek berat badan saya. Sebelumnya saya pernah punya pengalaman kurang enak ketika kontrol di rumah sakit, susternya ngomentarin berat badan saya yang dari sebelum hamil juga emang segitu. Kontrol bulan lalu ketika bertemu dengan dokter juga lagi-lagi dia ngomentarin berat badan saya tanpa mau repot-repot mempelajari catatan dari kontrol sebelumnya. Serius deh, buat ibu hamil perkara berat badan aja bisa jadi sensitif banget. Berat badan saya jika dibandingkan dengan penampakan tubuh saya biasanya memang menipu. 😂 Seringkali orang-orang menerka berat badan saya lebih ringan dari yang sebenarnya padahal aslinya mah berat, mungkin karena tipe badan saya agak padat.

Balik lagi ke kontrol kandungan, begitu selesai mengecek suara detak jantung janin yang katanya sih udah kedengeran meskipun samar (soalnya yang saya tangkap cuma suara usus 😂), tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah Budhe. Ya ampun, nggak nyangka banget bisa ketemu, mungkin ini yang namanya jodoh ya. 😍 Padahal saya udah pasrah aja nggak apa-apa kok kontrol sama tim bidannya Budhe juga, ndilalah memang udah jalannya saya ketemu sama beliau. Memang bener apa yang diceritain sama ibu-ibu hamil di blognya, Budhe itu orangnya ramah dan selalu dikelilingi aura positif, sampai-sampai kita yang ada di dekatnya pun jadi ikut kecipratan aura positif itu. Kami diberi wejangan juga tips dan trik supaya nggak baper selama proses kehamilan sampai persalinan nanti. Semua pertanyaan yang saya ajukan dijawab dengan lengkap dan jelas, nggak terkesan terburu-buru nyuruh saya keluar padahal saya tau setelah ini beliau ada jadwal yoga, tapi masih sempat-sempatnya menyapa kami. Selain kesehatan fisik ibu hamil, yang nggak kalah penting untuk dijaga adalah kesehatan jiwa dan pikirannya. Karena kalau ibu hamil udah merasa tertekan entah dari mana sumbernya, efeknya bisa meluas ke mana-mana. Makanya penting buat ibu hamil supaya selalu happy.

Hampir tiga puluh menit berada di ruang konsultasi, Budhe cuma memberikan vitamin penambah darah yang juga dilengkapi asam folat. Sebelumnya tim bidan memang menjelaskan bahwa mereka jarang meresepkan obat pada ibu hamil kecuali memang benar-benar dibutuhkan. Biaya kontrol kandungan plus vitamin hanya Rp 150.000,- saja. Lucunya, ternyata suami saya lupa belum ambil uang ke ATM. 😐😑 Saya bilang terus terang sama Budhe dan dengan santainya beliau cuma bilang, "Aduuuh gampang, udah nggak usah dibawa repot mbak, tinggal transfer aja, nanti saya kirim nomor rekeningnya lewat Whatsapp ya. Kamu habis ini mau langsung ke kantor kan? Wis nanti malah kesiangan." Okay, saya bengong. 😂

Selesai konsultasi kami berpamitan dan cipika-cipiki, Budhe bahkan mengelus-elus perut saya. Sekarang saya tau kenapa pasien-pasiennya memanggil Budhe, karena rasanya memang nggak kayak habis kontrol sama bidan, tapi kayak habis berkunjung ke rumah saudara aja. Begitu keluar dari ruang konsultasi saya langsung kirim pesan lewat Whatsapp takut Budhe lupa, dan lagi saya juga nggak enak kalau terlalu lama dibiarkan. Tunggu punya tunggu, Budhe baru balas Whatsapp saya keesokan harinya. Aduh, padahal saya yang galau seharian, apa nggak gimana-gimana nih saya udah kontrol, udah dikasih vitamin, tapi belum bayar? 😔 Ternyata seharian kemarin beliau sibuk sekali karena harus mengurus 3 orang yang melahirkan. Sulit dipercaya rasanya hari gini masih ada orang yang sesantai itu sama uang, mungkin prinsipnya rezeki nggak akan kemana, nggak akan ketuker, karena udah diatur sama Gusti Allah. Seandainya kami berniat buruk, bisa saja kami mangkir dari tanggung jawab. Tapi Budhe percaya-percaya saja. :')

Pengalaman kami kontrol di sana benar-benar makin meyakinkan saya untuk kontrol kandungan terus di sana sampai tiba saatnya persalinan. Saya bertekad akan mempersiapkan diri sebaik mungkin supaya bisa bertemu dengan si Sayang yang masih di dalam perut lewat gentle birth. Suami saya pun ikut kesengsem sama pelayanan Budhe dan juga tim bidannya. Malah dia yang lebih semangat pengen cepet-cepet nemenin saya prenatal yoga. 😂

Bagi ibu-ibu hamil yang rumahnya masih di sekitar Depok-Bogor, saya rasa nggak ada salahnya lho silaturahmi ke tempat praktik Budhe. Walaupun mungkin udah merencanakan untuk melahirkan di rumah sakit, masih banyak ilmu hypnobirthing dari beliau yang bisa kita pelajari supaya bisa menghadapi persalinan dengan percaya diri. Bidan Erie bisa dihubungi di nomor 087878728444. Kalau mau menghubungi beliau harus sabar yaa, karena dibalasnya biasanya lumayan lama, apalagi pas lagi banyak pasien. Tapi selama apapun pasti dibalas kok, tenang aja. Alamat tempat praktiknya nggak jauh dari stasiun Citayam, lengkapnya di Kampung Utan Jaya No. 46, RT 008/004, Jl. Raya Citayam, Kota Depok atau bisa klik di sini untuk lokasi di Google Maps.


Tampak depan tempat praktik Bidan Erie Marjoko. Sumber foto: Google Maps.

Bagian depan tempat praktik Bidan Erie Marjoko. Sumber foto: Google Maps.

Satu hal yang saya ingat nasihat dari Budhe, ibu hamil itu orang sehat, bukan orang sakit. Jadi ibu hamil boleh makan apapun yang penting menyehatkan. Ibu hamil harus mulai mendidik anaknya untuk makan makanan sehat sejak dalam kandungan. Makanya kalau mau anak kita nanti doyan makan makanan sehat, sejak dalam kandungan jangan dijejali makanan-makanan yang nggak sehat. Duuuh, meskipun sulit, tapi pasti akan saya coba, Budhe. 😅

Sekian cerita kehamilan saya kali ini, kalau ada yang mau nanya-nanya atau sekedar berbagi pengalaman, monggo tinggalkan komentar ya! 💁
Share:

Cerita Kehamilan: Pilih Obgyn atau Bidan?

Sumber ilustrasi: Freepik
 
Akhirnya saya kembali lagi setelah absen menulis blog selama hampir sebulan. Hehehe... Maaf ya... Memasuki minggu ke-10, saya baru mendapatkan lagi kekuatan dan juga mood untuk nulis. Alhamdulillah rasa mual, muntah, dan pusing udah jauh berkurang. Cuma rasa kantuknya ini yang nggak tertahankan. Kadang di kantor saya bisa ketiduran begitu aja meski lagi duduk di depan laptop. Dan kalau malam jangan ditanya deh, jam 8 atau jam 9 aja mata udah mulai sayu.

Saya mau cerita sedikit, ketika saya dan suami mengetahui kalau saya sedang hamil, kami memutuskan untuk pergi ke obgyn yang praktik di rumah sakit besar di daerah Depok. Ketika tiba saatnya kontrol di minggu ke-8, kami memutuskan untuk coba-coba periksa ke bidan aja. Alasannya sederhana, keuangan kami lagi super ketat lantaran baru melunasi DP rumah. Jadi opsi melakukan pemeriksaan kehamilan di rumah sakit besar kayaknya kami kesampingkan dulu.

Dari hasil googling sana sini, kami menemukan Bidan Jenda yang lokasinya di Jalan Raya Lenteng Agung, nggak terlalu jauh dari tempat tinggal kami saat itu. Kami berangkat ke sana jam 8 pagi hari Selasa. Saya sempat ketar-ketir takut antriannya udah mengular, tapi ternyata begitu sampai di sana antriannya sepi banget. Kami disambut oleh mbak-mbak berdaster yang sedang menyapu halaman dan ia mempersilakan kami masuk. Setelah menunggu sebentar, ternyata mbak-mbak berdaster tadi adalah bidannya. Ya ampun... 😂

Meski sempat agak underestimate, tapi setelah mengobrol sebentar saya justru merasa nyaman berkonsultasi sama sang bidan. Dia bisa menebak kalau saya pasti sering ngantuk, padahal saya nggak bilang. Katanya kalau ibu hamil ngantuk, berarti kekurangan darah. Dia bisa tau karena saya bilang dari dokter sebelumnya hanya dikasih asam folat dan obat penguat kandungan yang harganya muahal ampun-ampunan. Sedangkan janin di dalam tubuh pastinya menyerap darah cukup banyak dari sang ibu, hal itulah yang menyebabkan ibu hamil sering mengantuk.

Karena saya juga ada keluhan mual dan muntah cukup parah beberapa hari sebelum kontrol yang menyebabkan berat badan saya turun 3 kilo hanya dalam waktu 3 hari, ia meresepkan obat mual dan obat pusing yang hanya diminum kalau saya mengalami keluhan itu. Kalau enggak, cukup asam folat dan vitamin penambah darah aja yang saya konsumsi setiap hari. Berapa biaya yang harus saya keluarkan untuk konsultasi sekaligus obat-obatan dan vitamin? Cuma Rp 130,000,- saja! 😂 Bayangkan sebelumnya waktu saya memeriksakan kehamilan di rumah sakit, untuk menebus obat dan vitamin yang cuma dua jenis aja kami harus merogoh kocek Rp 750.000,- :') Jumlah itu belum termasuk biaya konsultasi dokter dan juga USG, total biaya yang kami keluarkan mencapai 1,2 juta rupiah. *elus dada*

Kok nggak USG sekalian? Soalnya jadwal USG di Bidan Jenda ternyata hanya ada setiap hari Rabu pukul 17.00-19.00 WIB saja. Dokter yang praktik di sana ternyata juga praktik di RS Bunda Margonda. Jadi si alat USG-nya itu dibawa-bawa sama dokternya, makanya kenapa hanya tersedia seminggu sekali. Saya pun disarankan untuk daftar terlebih dahulu via telepon untuk mendapat nomor antrian. Baiklah, jadi hari Rabu berikutnya, kami datang ke Bidan Jenda sepulang dari kantor dan udah mengantongi nomor urut 10, padahal saya daftar jam setengah 11 pagi lho.

Begitu sampai di sana, keadaannya lumayan hectic, rata-rata ibu hamil yang datang didampingi oleh suaminya, ada juga yang ditemani ibunya atau anaknya. Cukup lama kami menunggu, rupanya sang dokter kena macet. Setelah diukur tensi dan berat badan, kami diminta menunggu dan baru dipanggil satu per satu ke dalam ruangan USG. Dokternya kayak kelelahan dan kurang fokus sama pasien, saya nggak merasakan disambut oleh beliau, beda banget dengan waktu konsultasi sama bidan. Mungkin karena faktor banyaknya pasien juga, jadi semuanya berpacu dengan waktu. Usai diperiksa lewat USG dan hasilnya dinyatakan baik, kami diminta keluar lagi untuk menunggu. Kemudian kami dipanggil lagi ke dalam ruangan konsultasi dengan dokter yang berbeda. Yang menurut saya lagi-lagi kurang dekat dengan pasien karena malah sibuk jualan susu ibu hamil. 💆 Memang sih biaya yang dikeluarkan sangat murah, cuma Rp 150.000,- kami mendapat print out USG 2 dimensi. Sedangkan biaya USG di rumah sakit besar setidaknya Rp 250.000,-.

Pulang dari bidan, saya dan suami kembali berdiskusi, gimana sebaiknya langkah yang kami ambil untuk kontrol di minggu ke-12 nanti? Apakah akan kembali kontrol di rumah sakit besar atau mau coba di bidan lagi? Terutama karena awal bulan November kami pindah rumah, menempati rumah baru di daerah Bojonggede. Terlalu jauh kalau kami harus kontrol ke Depok, tapi rumah sakit di daerah Cibinong - Bojonggede - Citayam pun belum ada yang cukup meyakinkan.

Suatu hari saya nggak sengaja baca status teman kuliah saya tentang gentle birth. Saya memang nggak asing sih dengan istilah ini. Bahkan jauh sebelum saya menikah, saya pernah menulis sebuah artikel tentang gentle birth di CiriCara berdasarkan kisah pengalaman melahirkan Dee Lestari yang menurut saya sangat indah. Tapi waktu itu saya cuma bisa berandai-andai, karena yang saya tahu, melahirkan dengan metode water birth (yang merupakan salah satu dari metode gentle birth), biayanya jauh lebih mahal ketimbang melahirkan dengan cara-cara biasa. Teman saya malah pernah bilang, "Udah lo gak usah ikut-ikutan artis ah, lahiran di air segala itu mah cuma buat orang kaya." Huffft, baiklah, saya pun nggak pernah terpikirkan hal itu lagi, sampai akhirnya saya sendiri yang hamil.

Terus terang, sampai di usia kehamilan 10 minggu saya masih clueless tentang apa yang saya inginkan atau saya harus persiapkan. Memang sih saya cukup banyak mengumpulkan informasi dari internet, website kesehatan, sampai akun-akun berbasis parenting dan motherhood yang saya ikuti di Instagram. Tapi tetep aja bagi saya ini semua masih menjadi konsep yang abstrak. Saya belum punya daftar keinginan, daftar persiapan, dan sebagainya yang cukup konkrit. Sebenernya maunya saya apa sih?

Well, yang jelas satu hal yang saya yakini, entah kenapa saya lebih sreg untuk lahiran di bidan ketimbang di rumah sakit besar. Mungkin ini cuma pendapat saya pribadi, tapi dari cerita-cerita teman saya maupun dari sumber-sumber lain, saya mengambil kesimpulan bahwa melahirkan di rumah sakit besar entah kenapa kok cenderung lebih mudah mengambil keputusan jalan operasi ketimbang melahirkan normal. Itu yang saya takuti. Saya takut kelak dokternya nggak sabaran menanti pembukaan lengkap dengan berbagai alasan hingga akhirnya menyuruh operasi. Saya takut dalam kondisi panik, bingung, dan kesakitan, akhirnya saya mengambil keputusan yang sebenarnya tidak saya inginkan, padahal masih bisa dihindari. Saya takut harus berbagi kamar bersama ibu-ibu lain yang juga kesakitan dan ketakutan, sehingga membuat saya semakin dilanda rasa panik. Ketakutan-ketakutan itulah yang membuat saya lebih condong melahirkan di bidan, hal itu yang saya tekankan pada suami saya.

Balik lagi ke status teman kuliah saya tentang gentle birth, akhirnya saya tahu bahwa ternyata bidan yang mendalami metode ini kian banyak. Kalau beberapa tahun lalu mungkin hanya segelintir tenaga kesehatan yang bersedia melakukan persalinan dengan metode ini, namun sekarang keadaannya sudah berbeda. Melahirkan dengan proses senyaman dan senatural mungkin, kini bisa dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat. Bermula dari informasi yang saya peroleh tentang Bidan Yesie Aprillia, saya langsung blusukan ke berbagai blog. Bidan Yesie Aprillia ini sayangnya berbasis di Yogyakarta. Nggak mungkin dong saya musti jauh-jauh ke sana untuk lahiran doang? 😂

Alhamdulillah, di forum ibu hamil saya menemukan nama Bidan Erie Marjoko. Ia bukan hanya bidan, namun juga menjadi guru prenatal yoga, penggiat gentle birth, self healing practicioner, dan masih banyak lagi titel yang disandangnya. Saya menemukan banyak blog yang mereferensikan Bidan Erie untuk belajar tentang gentle birth. Banyak juga yang berencana melahirkan di rumah sakit namun sengaja konsultasi ke sana untuk lebih menguasai hypnobirthing. Mereka mengakui bahwa sekedar mengobrol dengan Bidan Erie aja rasanya pikiran langsung dipenuhi afirmasi positif yang membantu mereka menghadapi proses kelahiran dengan nyaman dan penuh percaya diri. Kabar baiknya, tempat praktik Bidan Erie ternyata di Citayam, yeay! Lokasinya nggak terlalu jauh dari tempat tinggal kami yang sekarang. Saya pun menceritakan hal ini dengan penuh antusias pada suami saya, ia memberi dukungan penuh kalau memang itu yang saya inginkan dan membuat saya nyaman.

So, balik lagi ke judul tulisan ini, lebih pilih obgyn atau bidan? Semua kembali lagi pada pilihan sang ibu, mana yang paling membuatnya merasa aman dan nyaman? Jawaban setiap ibu hamil pasti berbeda-beda. 😊 Semenjak banyak mencari tahu tentang gentle birth, saya baru menyadari kalau selama ini saya hanya mempersiapkan diri (dan juga suami saya) untuk kemungkinan terburuk. Saya menjejalinya dengan berbagai informasi dan tulisan tentang baby blues hingga postpartum depression (PPD). Tanpa sadar selama ini saya menanamkan pola pikir bahwa saya mungkin akan mengalami hal itu, yang (amit-amit ya Allah) mungkin saja malah akan diamini oleh semesta. Tapi nggak pernah sekali pun saya membayangkan bahwa proses persalinan saya nantinya pasti sesuatu yang indah dan nggak akan terlupakan. Memang nggak ada salahnya memperkaya diri dengan pengetahuan tentang hal-hal buruk yang biasanya dialami oleh ibu hamil, sekedar untuk antisipasi. Tapi jangan sampai kita hanya terpaku pada pikiran negatif tersebut sampai mengesampingkan fakta bahwa melahirkan adalah proses alami. Semoga para ibu hamil di luar sana yang lagi galau segera diteguhkan hatinya, dibukakan jalannya, dan semoga kita semua sehat selalu sampai proses melahirkan. Aamiin.... 😇
Share:

Kuncinya Cuma Satu: Jangan Ngatur!

"Udah 2018, masih ada cowok yang komplain cewek nggak bisa masak?" 😒

Suatu hari linimasa Twitter saya dipenuhi oleh lempar-lemparan kata antara kubu yang kekeuh bahwa perempuan itu nggak harus bisa masak untuk jadi istri dengan kubu yang berpendapat bahwa perempuan nggak bisa masak itu harusnya nggak dipermasalahkan. Tunggu sebentar.... 💆

Sumber ilustrasi: Freepik

Dari dulu kalau ada keributan kayak gini, saya selalu jadi pihak yang cuma duduk manis ambil popcorn sambil menyimak. Entahlah, capek aja gitu rasanya ikut-ikutan teriak menyuarakan pendapat pribadi, belum tentu ada yang dengar juga. Kalau pun ada yang dengar, apa bakal meredakan keributan atau justru memperkeruh suasana?

Saya lahir di keluarga dengan Ibu seorang pekerja, tapi Ibu saya nggak pernah absen memasak untuk keluarga kami, meski itu artinya ia harus bangun sebelum Subuh dan udah sibuk di dapur dari pukul empat. Lalu saya ngapain? Masih tidur sampai jam setengah 6 pagi, baru terhuyung-huyung ke kamar mandi untuk sholat Subuh, sekitar jam 7 pagi udah berangkat dengan membawa bekal masakan Ibu untuk makan siang. 😌 Saya nggak tahu bagaimana Ibu saya bisa melakukan itu semua praktis setiap hari tanpa mengeluh, sampai saya yang ada di posisi beliau.

Sebelum menikah, saya dan suami sudah mendiskusikan pembagian tugas pekerjaan rumah tangga. Karena kami sama-sama bekerja, praktis waktu saya untuk melakukan pekerjaan rumah pun terbatas. Kami menjunjung prinsip teamwork, saya bagian memasak, mencuci piring, dan menyetrika baju. Sedangkan suami saya kebagian tugas mencuci baju (pakai mesin sih 😛) dan menjemur, juga menyapu dan mengepel lantai. Sesekali kalau saya lagi kelelahan, suami saya ambil bagian mencuci piring tanpa saya minta. Dia juga yang berperan jadi tukang reparasi berbagai macam benda di rumah ketika ada yang rusak ringan. Kalau rusaknya parah? Ya panggil tukang lah... :))

Dan iya, suami saya terang-terangan bilang dia mencari calon istri yang salah satu kriterianya harus bisa masak. Ada yang salah? Enggak. :) Karena kebetulan kriteria yang dia cari ada dalam diri saya. Itu yang disebut jodoh. Apakah ada aturan baku tentang kriteria memilih calon pasangan? Nggak ada. Semua balik lagi ke preferensi pribadi, kita nggak bisa asal tunjuk kriteria A itu salah, lebih baik kriteria B. Lha yang mau nikah siapa sih kok situ yang ribut? :))

Ada perempuan yang ingin tetap bekerja setelah menikah dan punya anak.
Ada lelaki yang lebih memilih jadi pekerja lepas agar bisa dekat dengan anaknya, cukup sang istri yang punya penghasilan tetap.
Ada perempuan yang memang nggak bisa/nggak mau/nggak suka masak.
Ada lelaki yang senang menyajikan masakan lezat untuk sang istri dan anak-anaknya.

Sama halnya kayak nggak semua orang suka makan durian, kambing, petai, jengkol, dll. Tapi di sisi lain ada yang jadi penggemar fanatik makanan-makanan itu. Apa selera orang bisa kita paksakan? Ya nggak bisa lah. Kuncinya cuma satu: jangan ngatur. :)) Pada akhirnya memang akan jadi masalah kalau ekspektasi seseorang nggak sejalan dengan kriteria pasangan yang ia pilih, tapi nggak ada komunikasi yang baik di antara keduanya. Mungkin karena terbawa euforia persiapan pernikahan sampai-sampai lupa mendiskusikan hal-hal fundamental, lalu kaget karena ternyata pasangannya nggak sesuai dengan ekspektasi. JENG JENG...... :))

Meski saya masih terbilang baru dalam menjalani rumah tangga, tapi satu hal yang saya amini, bahwa kehidupan berumah tangga itu dinamis. Tinggal bagaimana kita yang menjalaninya mampu beradaptasi seiring berjalannya waktu. Ada banyak variabel yang menjadi penentu dari sistem yang berlaku dalam setiap rumah tangga. Semoga makin banyak orang yang sadar bahwa tolak ukur kebahagiaan seseorang nggak bisa disamakan dengan orang lain. 🙏
Share:

A Little Thing Called Miracle


Kalau ada yang masih ingat, di awal tahun 2018 ini saya menulis tentang 'persahabatan' saya dengan sebuah obat, yang tentunya tidak saya lakukan dengan sukarela, melainkan karena kondisi khusus yang mengharuskan saya untuk itu. Sejak saat itu saya memiliki semacam love and hate relationship dengan Cyclo Progynova, obat hormon yang diresepkan oleh dokter kandungan untuk saya demi teraturnya siklus haid yang selama ini kerap mengganggu saya. Saya masih ingat betul, dokter kandungan yang menangani saya waktu itu berkata, "Sementara ini saya cuma bisa bilang kalau kamu mengalami gangguan hormon, itu sebabnya kenapa haid kamu nggak teratur. Jadi hormon yang semestinya banyak ditemui di tubuh laki-laki, di tubuh kamu malah banyak. Kondisi ini bisa jadi salah satu gejala PCOS, tapi untuk make sure apakah betul PCOS atau bukan, harus dengan USG transvaginal. Karena kamu belum menikah, saya nggak berani cek sampai ke situ. Kamu USG transvaginal nanti aja ya kalau udah menikah."

Okay....

Waktu itu jujur aja saya kebanyakan bengong dan menatap nanar. Too much information that I can't handle. Tapi sisi positifnya saya bersyukur karena dokter berkata bahwa rahim saya dalam keadaan baik, tidak ada tanda-tanda keberadaan kista atau apapun. Meski demikian, saya berusaha mengatur ekspektasi agar tak terlampau tinggi. Saya sadar bahwa setelah menikah nanti, mungkin saya termasuk orang yang butuh waktu lama untuk dikaruniai momongan, karena kondisi saya ini. Satu hal yang saya syukuri, pasangan saya lah yang berusaha meng-encourage saya untuk memeriksakan diri ke dokter. Dan setelah mengetahui kondisi saya yang seperti ini, tak sedikit pun mengurangi niatnya untuk memperistri saya. Iya, saya yang didiagnosa dokter mengalami gangguan hormon dan mungkin saja akan sulit hamil.

Singkat cerita, satu bulan setelah menikah saya ngobrol-ngobrol dengan salah satu sahabat saya. Kami berdua sama-sama sudah telat haid, tapi masih bisa ketawa-ketiwi. Waktu itu saya menceritakan beberapa perubahan dalam tubuh saya yang saya pikir merupakan tanda-tanda PMS. Sahabat saya nyeletuk, “Eh, itu bisa jadi tanda hamil lho.” Respon saya saat itu cuma, “Aaah, nggak mungkin…”

Di lain hari, saya ngobrol dengan teman kantor saya yang baru sebulan kembali bekerja setelah cuti melahirkan. Berhadapan dengan ibu dari dua orang anak, saya yang terhitung masih pengantin baru ini pun banyak bertanya-tanya soal pengalaman seputar kehamilannya. Seperti dilanda déjà vu, teman kantor saya berkata, “Tanda-tanda hamil tuh mirip-mirip lho Ni kayak kalau mau haid. Makanya orang sering salah sangka, kirain mau haid eh nggak taunya hamil.”

DHEG….

Oke kayaknya saya harus memastikan saat itu juga. Saya langsung meluncur ke apotek terdekat dan membeli dua buah test pack dari dua merk yang berbeda. Waktu itu saya berusaha menekan ekspektasi supaya nggak terlalu tinggi, tapi entah kenapa feeling saya kuat banget. Sambil sembunyi-sembunyi saya bawa test pack itu ke kamar mandi. Dan ternyata…. strip dua saudara-saudara…. :’)


Somehow it felt so unreal, I couldn't believe that something so small yet miraculous is growing inside me. For a minute I just cried, I guess we all did, or maybe is it just me? I couldn't hardly wait to tell my husband, but I guess he deserved to be notified in person.

Ulang tahun suami saya hanya tinggal beberapa hari lagi. Sebetulnya saya sudah mempersiapkan kado spesial untuknya, tapi ternyata Allah Swt. memberikan kado terbaik yang bisa kami minta. Jadi sore itu, saya cepat-cepat pulang. Suami saya tiba di rumah sedikit lebih malam dari biasanya dalam keadaan kurang enak badan. Untuk menghiburnya, saya keluarkan kotak hadiah yang udah saya siapkan dari lemari, "Biar kamu cepat sembuh, nih kadonya aku kasih duluan." Kotak hadiah yang sengaja nggak saya bungkus itu sukses bikin dia kegirangan. Dalam hati saya cuma bergumam, "Wait for it baby, the best is yet to come...." *evil grin* 😈

Begitu kotaknya dibuka dan dia lihat kejutan lain yang udah menanti, untuk sesaat dia bengong. Terus malah nanya, "Ini artinya apa?" 💆 And then I saw it. He wiped away the happy tears. He's not the man who willingly show his tears in front of me. But maybe all of this joy is too much to bear. So I just ran into his arm and we burst in happy tears. Never have I ever thought before, that we're gonna be parents this fast. So many things go round inside my head. "Am I ready? Are we ready? Am I gonna be a good mom? But I haven't got vaccinated yet!" And blah blah blah.... One thing that keep me calm is that I know I will always have this loving man as my partner. :')

Jadi gimana rasanya?

Untuk sekarang cuma bisa bilang, belum pernah sebahagia ini sebelumnya. Meski mood swing terus menyerang karena pengaruh hormon, meski mual muntah masih datang dan pergi, meski sering tiba-tiba pusing dan jadi lebih mudah lelah dari biasanya, tapi semua insya Allah dijalani dengan penuh rasa syukur.


Siapapun yang pernah mampir ke blog ini karena membaca tulisan saya tentang Cyclo Progynova, saya mungkin nggak bisa balas semua komentar kalian satu per satu. Saran dari saya cuma, kalau ada keraguan atau hal yang nggak dimengerti, please hubungi dokter segera. Karena saya cuma orang awam yang juga mengandalkan jawaban dari dokter. Tapi apapun diagnosa dokter, percayalah kalau masih ada kekuatan dari Tangan-tangan Tak Terlihat. Miracle does happen. 💗
Share:

Dulu, Kini, dan Nanti

Saya punya kesulitan dalam menerima dan mendengarkan masukan dari orang lain. Saya cenderung keras kepala ketika saya meyakini sesuatu yang menurut saya paling baik. Mungkin ego anak pertama dalam diri saya mengambil peran paling besar dalam kekeraskepalaan saya itu. Ndilalah, saya dipasangkan dengan laki-laki yang juga anak pertama. Kebayang dong kayak apa pertarungan egonya? 🙃

Suatu hari di minggu kedua setelah kami menikah, saya hendak pergi ke bank untuk mengurus kartu ATM saya yang hilang. Saya berencana pergi ke bank yang terletak di kampus swasta dekat tempat tinggal kami karena hanya perlu jalan kaki tanpa keluar ongkos. Suami saya berkata, "Kenapa nggak ke cabang Depok aja yang di Margonda? Di sana lebih besar, levelnya bukan cabang pembantu." Saya menjawab, "Nggak ah, jauh dan mahal ongkos Grab-nya, udah bener aku ke yang di kampus aja." Paham dengan kekeraskepalaan istrinya, dia cuma diam dan membiarkan saya pergi ke bank yang saya inginkan. Tahu bagaimana akhirnya? Begitu sampai di bank dekat kampus itu, ternyata sistemnya offline tepat saat giliran saya dipanggil ke meja customer service. Padahal nasabah sebelum saya baik-baik saja. 💆 Mau nggak mau saya pun pergi ke kantor cabang yang di Depok. Mungkin memang suami saya ridho-nya saya pergi ke sana, jadi pergilah saya ke sana. 🙃

Minggu berikutnya, saya merengek ingin beli panci supaya bisa masak sayur dengan lebih leluasa. Namanya juga pengantin baru, perabot rumah tangga kami belum terlalu banyak. Hehehe... Kami pun mampir ke toko serba ada yang menjual berbagai perlengkapan rumah tangga di Bogor, sekalian berkunjung ke rumah orangtua saya. Waktu itu saya sudah punya bayangan panci seperti apa yang saya inginkan, sampai ke spesifikasi ukuran, bahan, dan merk. Namun ternyata sampai di sana panci yang saya inginkan nggak ada. Karena udah lumayan mendesak, saya putuskan beli panci yang lain saja. Pilihan saya jatuh pada panci stainless steel diameter 22 cm dengan pegangan plastik dan tutup kaca. Lagi-lagi kami silang pendapat. Suami saya menyarankan saya membeli panci lain dengan diameter sama tapi lebih tinggi dan bahannya full stainless steel.

Saya menolak pilihan dia mentah-mentah, karena menurut saya panci itu terlalu tinggi dan kapasitasnya terlalu besar untuk kami berdua. Saya merasa belum membutuhkan panci setinggi itu untuk keperluan memasak. Paham dengan kekeraskepalaan istrinya, lagi-lagi dia membiarkan saya memilih panci yang saya inginkan. Esoknya ketika dipakai memasak, panci itu terus-terusan berbunyi meletup dan berbau gosong seperti plastik terbakar. Saya masih denial bahwa panci itu baik-baik saja. Puncaknya, ketika saya merebus daging untuk memasak sop, bau plastik terbakarnya semakin menjadi-jadi dan memenuhi seisi ruangan bahkan sampai ke luar. Suami saya benar-benar nggak tahan dengan baunya dan sampai mual, hingga akhirnya kami putuskan melepas gagang plastik dari badan panci. Ternyata dari awal masalahnya memang pada gagang panci plastik itu, begitu dilepas bau gosongnya pun hilang.

Meski malu mengakui, tapi saya tahu bahwa kekeraskepalaan saya selama ini seringkali menyusahkan diri sendiri, dan juga suami saya. 😅 Mungkin sebenarnya suami saya punya alasan sendiri kenapa dia meminta saya begini dan begitu, atau lebih memilih melakukan yang ini ketimbang yang itu. Bukan semata-mata karena ingin permintaannya dituruti, tapi karena tahu bahwa dia menyarankan saya melakukan sesuatu atas dasar pertimbangan terbaik. Tapi lagi-lagi, saya memang terlalu sering ngeyel. 😅

 
Saya pernah baca selewat, being kind is more important than being right. Mungkin prinsip itu yang diterapkan olehnya dalam keseharian kami. Meski ia tahu pendapatnya benar, tapi ia membiarkan saya melakukan hal yang saya pilih. Bisa jadi itu cara dia menunjukkan bahwa dia benar, tanpa menyinggung saya atau memantik perdebatan di antara kami. Apapun alasannya, cara itu bisa dibilang berhasil untuk menghadapi orang keras kepala seperti saya. 😅

Dengan segala kelembutan hatinya, malu rasanya kalau kualitas diri saya masih seperti ini. Mungkin nggak akan tercapai dalam waktu dekat, karena segala sesuatu butuh proses, tapi saya bertekad ingin menjadi istri yang lebih menghormati dan menaati suami.

Selamat ulang tahun suamiku. Semoga kamu selalu dikaruniai kesehatan dan rizki yang halal. Semakin bahagia dan bisa saling membahagiakan. Tetaplah jadi pasangan hidup yang menyenangkan seperti dulu, kini, dan nanti. 💖


Share:

Sesaat Sebelum Pergi, Tanda-tanda Itu Ada di Sana

Sumber ilustrasi: Freepik

Suatu hari Ibu saya pernah berkata, kualitas nasi yang kita masak, kadang-kadang bisa menjadi pertanda buruk tentang sesuatu yang akan terjadi. "Mbak, coba ke sini sebentar, lihat nasinya, menurut kamu gimana?" Saya menghampiri Ibu dan menengok nasi di dalam magic com. Sekilas nggak tampak hal yang aneh, nasi itu baik-baik saja. Tapi kalau saya hirup dalam-dalam, baunya nggak enak. Nggak seperti nasi pulen biasa. "Ini berasnya jelek kali Bu," saya masih berusaha logis. "Ah berasnya sama aja kayak yang kemarin-kemarin Ibu beli, baru sekarang nasinya jadi bau gini, tapi nggak basi." Besoknya, kami mendapat kabar bahwa nenek asuh saya yang juga uwaknya Ibu, tutup usia.

Saya nggak tau dari mana selentingan ini bermula, tapi Ibu saya selalu ketar-ketir kalau nasi yang dia masak mendadak berbau nggak enak. Nggak basi sih, tapi nggak enak. Ia khawatir akan ada anggota keluarga, sanak saudara, atau teman dekat yang mendadak tertimpa musibah, jatuh sakit, atau meninggal. Saya nggak pernah menganggap serius kekhawatiran itu, hingga saya mengalaminya sendiri.

Hari Rabu, 19 September 2018, seperti biasa saya memasak nasi pagi-pagi setelah shalat Subuh. Saya hanya masak menu sarapan pagi karena suami saya ada training hari itu jadi dia nggak bawa bekal makan siang. Biasanya setelah nasi matang dan udah saya aduk, magic com saya putus aliran listriknya supaya nasi di dalamnya nggak kering karena terlalu sedikit. Tapi hari itu, karena saya masak nasi cukup banyak untuk makan malam, sengaja nggak saya cabut listriknya. Pikir saya, ah nasinya masih banyak, nggak bakal kering walaupun nggak saya cabut.

Malam harinya ketika mau makan, saya mengernyit karena nasinya agak berbau. Padahal biasanya kalau saya masak nasi agak banyak dan magic com saya biarkan tetap menyala, nasinya pasti baik-baik aja. Seperti yang saya bilang, basi sih enggak, cuma... agak berbau. Keesokan paginya ketika kami sedang sarapan, Ibu saya telepon, mengabari kalau tante saya telah tiada.

Memori saya langsung terbayang ke masa 3 bulan lalu sesaat sebelum lebaran. Tante saya adalah satu-satunya anak Mbah yang mewarisi bakat membuat kue dan menjahit. Kue kering maupun kue basah buatannya selalu enak, itu sebabnya setiap momen lebaran almh. nggak pernah absen mengirim kue kaastengel favorit kami. Tapi khusus tahun ini, kue kaastengel buatannya nggak seenak kue-kue biasanya. Tante saya yang lain cuma berseloroh, "Kenapa mbak kok kaastengelnya agak beda?" Almh. menjawab sambil tertawa, "Nggak tau nih pikirannya lagi error makanya bikin kuenya nggak bener. Hahaha...." Nggak ada seorang pun di antara kami yang menyadari bahwa kalimat itu bukan kiasan.

Tradisi di keluarga besar Ibu saya, setiap lebaran kami berkumpul di rumah kakak tertua Ibu saya. Demikian pula lebaran tahun ini. Beliau sudah sakit selama bertahun-tahun dan harus duduk di kursi roda. Praktis kami sekeluarga hanya bertemu dengan beliau setahun sekali, saat momentum lebaran aja. Begitu beliau melihat almh. tante saya, ia langsung berkata, "Kamu lagi sakit ya? Kenapa kok diam aja? Badan kamu juga kurus banget." Waktu itu almh. tante saya cuma mengelak, bilang nggak ada masalah apa-apa. Namun mata awas pakde saya nggak bisa dibohongi. Kami yang sering bertemu dengan almh. tante saya mungkin nggak menyadari perubahan itu. Tapi pakde saya yang hanya bertemu setahun sekali langsung merasakan perubahan drastis itu. Ia pun menitip pesan pada Ibu saya agar lebih memperhatikan adiknya. "Coba kamu tanya siapa tau dia lagi ada masalah atau sakit tapi nggak mau ngomong. Mungkin kalau sama kamu dia mau cerita," demikian pesan pakde saya kepada Ibu. Tapi almh. tante saya pada dasarnya memang dikenal kalem, pendiam, dan tertutup. Meski sudah ditanyai oleh Ibu saya, ia tetap berkata nggak ada masalah apa-apa.

Sampai akhirnya, beberapa minggu sebelum pernikahan saya, tante saya kolaps. Selama beberapa minggu almh. tinggal di rumah kami sementara anak-anaknya bergantian menemani. Kebetulan rumah saya dan rumah almh. tante cukup berdekatan meski berbeda kompleks. Keluarga besar kami sempat membawanya ke psikiater, namun sifat tertutup almh. menghalangi segala jenis pengobatan yang kami upayakan. She lost her sparks in her eyes. She even barely functioning as a human being.

Di hari pernikahan saya, almh. tante masih menguatkan diri untuk hadir meski berjalan saja cukup sulit baginya. Tapi ia mungkin ingin menjadi bagian di hari bahagia saya. Meski hanya sebentar, saya lihat ada beberapa foto dirinya yang sedang tersenyum. Begitu saya pindah ke Jakarta, saya jarang mendengar kabar tentangnya. Terakhir yang saya tahu, almh. tante saya dirawat di rumah sakit, seluruh keluarga besar yang ada di Bogor dikerahkan untuk bergantian jaga menemaninya setiap 2 jam sekali. Nggak sedetik pun almh. tante saya dibiarkan sendirian tanpa ada yang menemani. Namun apa boleh dikata, kita nggak pernah tau kapan ajal akan tiba. Satu hari setelah ulang tahun ke-19 putri pertamanya, tante saya menghembuskan nafas yang terakhir.

Kalau kita berusaha mengingat-ingat lagi, tanda-tanda itu ada di sana. Mungkin di balik tawa renyahnya saat mengantarkan kue kaastengel ke rumah kami, ada jeritan tertahan yang ia sembunyikan. Mungkin di balik wajah diamnya dan jawaban, "Nggak apa-apa kok," ada jutaan kata yang nggak sabar ingin ia ceritakan kepada Ibu saya. Tapi almh. memilih untuk menyimpannya sendiri. Tanda-tanda itu ada di sana, hanya saja mata kita yang luput melihatnya. Atau mungkin kita melihat, tapi kita menafikannya.

Semoga almh. tenang di alam sana, diampuni segala dosa-dosanya, dan diterima segala amal perbuatannya. Aamiin ya Rabbal 'aalamiin.... 🙏
Share:

Belajar Mengenali Jenis Bagian Daging Sapi

Dengan diunggahnya tulisan ini, secara resmi saya udah masuk dalam geng ibu-ibu. 😂

Sumber ilustrasi: Freepik

Sebelum menikah, kemampuan memasak saya bisa dibilang di bawah rata-rata. Hanya beberapa jenis makanan yang mampu saya olah dengan layak dan mendapat pengakuan dari orang-orang terdekat. Basic skill masak sih saya punya, nggak yang bener-bener buta total lah. Tapi kalau boleh jujur sih, saya emang jarang banget terjun ke dapur untuk bantu-bantu ibu saya. Ehehehe.... 🙈 Saya bertekad setelah menikah ingin benar-benar serius belajar masak karena udah komitmen mau menyediakan masakan rumah untuk keluarga. Dimulai dari masakan-masakan sederhana yang saya udah pernah masak (atau minimal sering lihat ibu saya masak), sampai masakan yang saya nggak tau sama sekali. 😂

Awal-awal menikah saya cuma berani masak menu-menu sederhana seperti olahan tempe, tahu, telur, dan sayur-sayuran tumis. Hasilnya? Ya cincai laaah... 😂 Di minggu ketiga menikah saya mulai memberanikan diri untuk mengolah daging dan ikan-ikanan sesuai permintaan suami. Terus terang aja ini tantangan banget buat saya, karena selama ini nggak pernah sekali pun mengolah daging. Alasannya sih karena daging sapi itu cukup mahal harganya, dan kalau sampai salah simpan atau salah olah, bisa jadi dagingnya malah rusak atau menurun kualitas rasanya. Makanya saya mager banget nyobain olahan daging sapi pas masih gadis.

Pertama kali beli daging sapi, saya ke Carrefour yang nggak terlalu jauh dari kantor. Sebagai ibu-ibu newbie, saya termenung sambil bolak-balik di etalase daging lamaaaa banget. 😂 Di situ saya baru tau ooh ternyata daging sapi itu ada nama-nama bagiannya ya. Saya perhatikan label harga di setiap kemasan daging ada yang tertulis has dalam, has luar, sengkel, sandung lamur, dan sebagainya. Ada juga yang tertulis daging rendang, daging rawon, daging semur, dan sebagainya. Pusing nggak? Pusing lah.... 😂 Saya pikir selama ini semua daging sapi ya sama aja, bisa diolah jadi semur, rendang, empal, tanpa perlu pusing-pusing mikirin daging bagian mana ini. Ternyata nggak sesederhana itu saudara-saudara. 😂

Daripada kelamaan dan malah dilihatin orang, saya akhirnya putuskan memilih daging berdasarkan komposisi lemaknya. Rata-rata daging dikemas seberat kurang lebih 500 gram, terlalu banyak kalau semuanya dijadikan campuran sayur sop, jadi saya berniat mengolahnya jadi dua masakan. Maka saya pilih daging yang punya komposisi 20% lemak 80% daging, pilihan jatuh pada kemasan daging rendang padahal saya nggak ada niat masak rendang. 😂 Tapi ya harap maklumi kesotoyan ibu-ibu newbie ini. Masakan pertama baru saya eksekusi sekitar satu minggu kemudian dan lumayan sukses. Sayur sop daging yang saya buat menuai pujian dari suami karena rasanya enak dan dagingnya empuk. Ya iyalah empuk, wong saya rebus satu jam lebih. 😂 Selanjutnya, saya putuskan mengolah daging ini menjadi sapi lada hitam. Saya cari-cari resepnya ke sana kemari, semua bilang dagingnya ditumis sampai berubah warna. Nggak ada instruksi sama sekali untuk merebusnya terlebih dahulu. Sempat membatin, bakal alot nggak nih dagingnya kalau nggak direbus dulu? Tapi tetap saya coba. Begitu masakannya jadi, tadaaaa ~ jadilah sapi lada hitam dengan rasa yang enak tapi dagingnya terlalu keras. 😂 Walaupun dagingnya terlalu keras, masakan saya masih dapat pujian dari suami, sambil membesarkan hati agar saya semangat cari cara mengolah daging sapi sampai empuk seperti ketika masak sayur sop.

Saya berusaha telusuri di mana kesalahan saya, kok dagingnya alot banget sedangkan waktu bikin sayur sop dagingnya selembut itu. Sempat mikir apa harusnya direbus dulu sebelum ditumis? Tapi nanti malah jadi semur dong. 😂 Setelah googling sana-sini barulah ketemu jawabannya. Ternyata harusnya saya pakai daging bagian has dalam kalau mau bikin sapi lada hitam. Kemungkinan daging yang saya beli itu bagian sandung lamur yang memang biasa diolah jadi rendang. Ya pantes lah dagingnya alot. 💆😂

Nah, berbekal kesalahan saya dalam memilih daging, saya mau berbagi informasi tentang bagian-bagian daging sapi yang saya rangkum dari berbagai sumber. Simak baik-baik ya! 😁

Sumber ilustrasi: The Spruce Eats

Daging Sandung Lamur
Dalam bahasa Inggris daging Sandung Lamur disebut juga Brisket, daging ini berasal dari bagian dada bawah sampai ketiak. Daging ini disebut bagian daging anak sapi karena cukup berlemak dan biasanya disajikan sebagai menu-menu rendang.

Daging Lamusir
Bagian ini disebut juga dengan nama Cube Roll. Daging lamusir berasal dari bagian belakang sapi, di dekat has dalam, has luar, dan daging tanjung. Potongannya diambil dari bagian punggung kemudian dipotong dari rusuk keempat sampai ke rusuk duabelas. Daging jenis ini termasuk jenis daging yang lunak dan berlemak. Ia cocok dimasak dengan cara dipanggang atau dibakar karena sangat empuk.

Daging Sengkel
Istilah sengkel sebenarnya berasal dari bahasa Belanda yaitu Schenkel yang merupakan bagian depan atas kaki sapi. Karena ototnya cukup banyak, daging sengkel biasa dimasak sebagai bahan dasar sup, soto atau bakso urat.

Daging Gandik
Dalam bahasa Inggris daging Gandik disebut Silver Side. Daging ini adalah daging sapi paha belakang bagian bawah dan bentuknya mirip dengan bagian paha depan yang biasa disebut Shank. Biasanya daging bagian ini digunakan sebagai bahan dendeng balado, isi lemper atau sebagai abon.

Daging Punuk
Sesuai namanya, daging punuk merupakan daging bagian punuk yang menyambung dari atas hingga ke paha depan. Bagian tengahnya terdapat serat-serat kasar yang mengarah ke bagian bawah. Daging jenis ini cocok dimasak dengan teknik mengukus. Dalam bahasa Inggris bagian punuk biasa dikenal dengan nama Blade.

Daging Tanjung
Daging ini dikenal dengan juga nama Rump atau Round, yakni bagian daging sapi yang lemaknya sangat sedikit bahkan hampir tidak ada. Daging sapi ini berasal dari bagian punggung dekat kaki belakang. Biasanya daging ini diolah dengan cara direbus atau dipanggang.

Daging Iga
Daging yang satu ini merupakan salah satu bagian sapi yang paling baik untuk diolah. Daging iga atau tulang rusuk, dalam bahasa Inggris disebut Ribs. Biasanya bagian tulang rusuk sapi yang diambil antara tulang rusuk ke-6 sampai 12. Daging iga paling enak dimasak menjadi sup iga, iga bakar, semur, atau juga steak.

Daging Sapi Paha Depan
Dalam bahasa Inggris bagian ini disebut dengan nama Chuck. Daging ini biasa dipotong berbentuk segiempat dengan ketebalan 2-3 cm. Tulang bahu biasanya masih menempel ke bagian paha sampai bagian terluar. Daging sapi paha depan sangat cocok diolah menjadi bakso.

Daging Samcan
Bagian daging yang satu ini berasal dari otot perut, dalam bahasa Inggris disebut juga Flank. Bentuknya panjang dan datar, namun agak kurang lunak. Daging ini biasa digunakan sebagai bahan oseng-oseng atau tambahan dalam sayur.

Daging Has Dalam
Mungkin bagi pecinta steak, udah nggak asing lagi dengan bagian ini, yang biasa disebut Tenderloin, yakni daging sapi bagian tengah badan. Karakteristik daging ini  adalah memiliki banyak otot dan terletak di bagian tulang belakang, bahu dan tulang panggul. Daging has dalam paling lunak karena otot-ototnya jarang dipakai untuk beraktivitas, sehingga cocok dimasak sebagai empal, steak, atau sukiyaki.

Daging Has Luar
Daging ini disebut juga dengan nama Sirloin, bagian daging sapi dari bawah iga sampai ke luar has dalam. Harganya paling murah dibandingkan jenis daging lain karena ototnya cukup keras dan seringkali dipakai bekerja, lemaknya juga cukup sedikit sehingga biasa dikonsumsi oleh para pelaku diet. Daging jenis ini cocok dijadikan dendeng atau steak.

Sumber ilustrasi: Freepik

Nah, setelah tahu macam-macam bagian daging sapi, semoga saya nggak bingung lagi deh kalau mau beli daging di pasar maupun di swalayan. 😂 Semoga tulisan ini bermanfaat bagi siapapun yang juga lagi belajar masak! 😊

Sumber tulisan: Vemale, Little Big Red Dot, The Spruce Eats
Share:

Sebuah Awal Perjalanan


"Ani and Hendra found each other through their mutual friend. It was around the beginning of 2017 when both of them were just two people who were lonely and broken-hearted. However, their time has not yet to come. But love will always find a way. They believe that the good thing will come to those who wait for the right moment. After few months of contemplation, some flirtatious chat was exchanged back and forth over the Instagram direct message. They finally went out for the first time to photography competition that held in the northern Jakarta. After discovering a mutual love of photography, cats, and travel, the rest is history!"

Itu adalah sepenggal kisah yang saya tuliskan pada halaman undangan digital pernikahan kami. Versi singkat dari tulisan saya tentang bagaimana kami bertemu. 😊



Kadang saya masih nggak percaya, kalau saya sudah menyandang status sebagai istri seseorang. Banyak yang bilang, di awal-awal pernikahan rasanya sering kaget saat terbangun dan mendapati di sebelah kita ada orang lain. Apakah saya mengalaminya juga? Ternyata enggak tuh. 😂 Tapi momen terbangun sebelum pasangan saya bangun justru saya manfaatkan untuk bersyukur. Saya pandangi wajahnya dalam-dalam, sambil bergumam dalam hati, inilah orang yang saya pilih untuk menua bersama.

Untuk sampai di titik ini, banyak hal yang harus kami lalui. Sewajarnya orang-orang yang sedang mempersiapkan pernikahan, pasti ada aja drama di sana dan di sini, begitu pula kami. Tapi semua rasa lelah fisik dan mental itu terbayar ketika kami duduk di meja akad di hadapan para saksi dan penghulu, dinyatakan telah sah menjadi suami istri di mata agama maupun negara. Alhamdulillah.... :')

 

Akad nikah kami berlangsung pagi hari, di pelataran Wisma Endie yang sekaligus menjadi lokasi resepsi. Tanpa perlu mengundang banyak orang pun, pagi itu Wisma Endie sudah penuh oleh gabungan keluarga besar kami. Keluarga saya yang berlatar suku Jawa, dan keluarga pasangan yang berlatar suku Sunda, pada hari itu dipersatukan dalam adat nasional. Saya memakai kebaya model kutu baru dipadukan dengan kerudung sederhana, sedangkan pasangan memakai baju kurung Melayu dilengkapi peci hitam. Perpaduan yang nggak lazim? Iya banget. 😂 Tapi bagi kami semua sah sah aja selama rukun dan syarat nikah nggak diutak-atik. 😅

Kalau ditanya momen apa yang paling memorable dalam acara sekali seumur hidup itu selain momen ijab qabul, saya akan menjawab, momen ketika saya berjalan menuju meja akad dan saya lihat ayah saya menangis. Iya, menangis. Ayah saya yang kaku kayak kanebo kering. Ayah saya yang lurus banget kayak jalan tol. Ayah saya yang sangat keras dalam mendidik saya sejak kecil. Ayah saya yang jarang sekali menunjukkan emosinya. Sampai pada hari di mana putrinya akan menikah, semua bendungannya jebol. Saya berjalan sambil meremas kertas contekan dan kertas tisu kalau-kalau saya nggak bisa membendung air mata. :')


Sebenarnya saya sudah menyiapkan sendiri teks memohon izin minta dinikahkan, namun ternyata itu merupakan bagian dari tugas penghulu untuk membimbing saya mengucapkan permohonan izin. Kalau nggak ingat sama riasan wajah yang makan waktu berjam-jam, saya mungkin udah berderai air mata saat itu. Tapi dengan sedikit mengatur pernafasan, alhamdulillah saya bisa membendung air mata sepanjang prosesi akad nikah.

Saya, si anak perempuan manja yang kelihatannya galak dari luar padahal aslinya cengeng, sekarang udah nggak bisa lagi berlindung di balik ketiak ayah saya. Tanggung jawab atas diri saya, bukan lagi terletak di tangan beliau, melainkan di tangan suami saya.


Pesta pernikahan hanyalah sebuah momentum yang menandai dimulainya babak baru dalam kehidupan kami. Namun demikian, semua pasti ingin momen sehari seumur hidup itu berjalan dengan lancar dan bisa dinikmati oleh keluarga besar maupun para tamu yang datang. Acara resepsi yang digelar di luar ruangan, terus terang bikin kami semua ketar ketir, khawatir kalau sampai turun hujan pasti akan menimbulkan ketidaknyamanan. Tapi alhamdulillah pada hari itu cuacanya cerah dan matahari bersinar terang. 🌞


Akhir kata, saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terlibat sehingga acara pernikahan kami berlangsung dengan lancar.

Venue: Wisma Endie
Decoration: Jimbonk Decoration
Makeup & attire: Essy Raghifa Wedding Service
Henna: Henna by Hanna
Documentation: Infinity Pictures
Catering: Leanda Lestari
Wedding ring: Sovia Jewelry Jakarta
Mahar decoration: Rustic Indonesia
Entertainment: D'Code Official
Invitation card: Wabeta Print
Wedding Organizer: Surprisingly, kami nggak pakai wedding organizer sama sekali. Semuanya diatur oleh keluarga besar layaknya profesional. 😅

Selamat menikmati cuplikan video pernikahan kami, semoga kebahagiaan ini bisa dirasakan oleh teman-teman semua. 😊

Share: