Sumber ilustrasi: Freepik |
Suatu hari Ibu saya pernah berkata, kualitas nasi yang kita masak, kadang-kadang bisa menjadi pertanda buruk tentang sesuatu yang akan terjadi. "Mbak, coba ke sini sebentar, lihat nasinya, menurut kamu gimana?" Saya menghampiri Ibu dan menengok nasi di dalam magic com. Sekilas nggak tampak hal yang aneh, nasi itu baik-baik saja. Tapi kalau saya hirup dalam-dalam, baunya nggak enak. Nggak seperti nasi pulen biasa. "Ini berasnya jelek kali Bu," saya masih berusaha logis. "Ah berasnya sama aja kayak yang kemarin-kemarin Ibu beli, baru sekarang nasinya jadi bau gini, tapi nggak basi." Besoknya, kami mendapat kabar bahwa nenek asuh saya yang juga uwaknya Ibu, tutup usia.
Saya nggak tau dari mana selentingan ini bermula, tapi Ibu saya selalu ketar-ketir kalau nasi yang dia masak mendadak berbau nggak enak. Nggak basi sih, tapi nggak enak. Ia khawatir akan ada anggota keluarga, sanak saudara, atau teman dekat yang mendadak tertimpa musibah, jatuh sakit, atau meninggal. Saya nggak pernah menganggap serius kekhawatiran itu, hingga saya mengalaminya sendiri.
Hari Rabu, 19 September 2018, seperti biasa saya memasak nasi pagi-pagi setelah shalat Subuh. Saya hanya masak menu sarapan pagi karena suami saya ada training hari itu jadi dia nggak bawa bekal makan siang. Biasanya setelah nasi matang dan udah saya aduk, magic com saya putus aliran listriknya supaya nasi di dalamnya nggak kering karena terlalu sedikit. Tapi hari itu, karena saya masak nasi cukup banyak untuk makan malam, sengaja nggak saya cabut listriknya. Pikir saya, ah nasinya masih banyak, nggak bakal kering walaupun nggak saya cabut.
Malam harinya ketika mau makan, saya mengernyit karena nasinya agak berbau. Padahal biasanya kalau saya masak nasi agak banyak dan magic com saya biarkan tetap menyala, nasinya pasti baik-baik aja. Seperti yang saya bilang, basi sih enggak, cuma... agak berbau. Keesokan paginya ketika kami sedang sarapan, Ibu saya telepon, mengabari kalau tante saya telah tiada.
Memori saya langsung terbayang ke masa 3 bulan lalu sesaat sebelum lebaran. Tante saya adalah satu-satunya anak Mbah yang mewarisi bakat membuat kue dan menjahit. Kue kering maupun kue basah buatannya selalu enak, itu sebabnya setiap momen lebaran almh. nggak pernah absen mengirim kue kaastengel favorit kami. Tapi khusus tahun ini, kue kaastengel buatannya nggak seenak kue-kue biasanya. Tante saya yang lain cuma berseloroh, "Kenapa mbak kok kaastengelnya agak beda?" Almh. menjawab sambil tertawa, "Nggak tau nih pikirannya lagi error makanya bikin kuenya nggak bener. Hahaha...." Nggak ada seorang pun di antara kami yang menyadari bahwa kalimat itu bukan kiasan.
Tradisi di keluarga besar Ibu saya, setiap lebaran kami berkumpul di rumah kakak tertua Ibu saya. Demikian pula lebaran tahun ini. Beliau sudah sakit selama bertahun-tahun dan harus duduk di kursi roda. Praktis kami sekeluarga hanya bertemu dengan beliau setahun sekali, saat momentum lebaran aja. Begitu beliau melihat almh. tante saya, ia langsung berkata, "Kamu lagi sakit ya? Kenapa kok diam aja? Badan kamu juga kurus banget." Waktu itu almh. tante saya cuma mengelak, bilang nggak ada masalah apa-apa. Namun mata awas pakde saya nggak bisa dibohongi. Kami yang sering bertemu dengan almh. tante saya mungkin nggak menyadari perubahan itu. Tapi pakde saya yang hanya bertemu setahun sekali langsung merasakan perubahan drastis itu. Ia pun menitip pesan pada Ibu saya agar lebih memperhatikan adiknya. "Coba kamu tanya siapa tau dia lagi ada masalah atau sakit tapi nggak mau ngomong. Mungkin kalau sama kamu dia mau cerita," demikian pesan pakde saya kepada Ibu. Tapi almh. tante saya pada dasarnya memang dikenal kalem, pendiam, dan tertutup. Meski sudah ditanyai oleh Ibu saya, ia tetap berkata nggak ada masalah apa-apa.
Sampai akhirnya, beberapa minggu sebelum pernikahan saya, tante saya kolaps. Selama beberapa minggu almh. tinggal di rumah kami sementara anak-anaknya bergantian menemani. Kebetulan rumah saya dan rumah almh. tante cukup berdekatan meski berbeda kompleks. Keluarga besar kami sempat membawanya ke psikiater, namun sifat tertutup almh. menghalangi segala jenis pengobatan yang kami upayakan. She lost her sparks in her eyes. She even barely functioning as a human being.
Di hari pernikahan saya, almh. tante masih menguatkan diri untuk hadir meski berjalan saja cukup sulit baginya. Tapi ia mungkin ingin menjadi bagian di hari bahagia saya. Meski hanya sebentar, saya lihat ada beberapa foto dirinya yang sedang tersenyum. Begitu saya pindah ke Jakarta, saya jarang mendengar kabar tentangnya. Terakhir yang saya tahu, almh. tante saya dirawat di rumah sakit, seluruh keluarga besar yang ada di Bogor dikerahkan untuk bergantian jaga menemaninya setiap 2 jam sekali. Nggak sedetik pun almh. tante saya dibiarkan sendirian tanpa ada yang menemani. Namun apa boleh dikata, kita nggak pernah tau kapan ajal akan tiba. Satu hari setelah ulang tahun ke-19 putri pertamanya, tante saya menghembuskan nafas yang terakhir.
Kalau kita berusaha mengingat-ingat lagi, tanda-tanda itu ada di sana. Mungkin di balik tawa renyahnya saat mengantarkan kue kaastengel ke rumah kami, ada jeritan tertahan yang ia sembunyikan. Mungkin di balik wajah diamnya dan jawaban, "Nggak apa-apa kok," ada jutaan kata yang nggak sabar ingin ia ceritakan kepada Ibu saya. Tapi almh. memilih untuk menyimpannya sendiri. Tanda-tanda itu ada di sana, hanya saja mata kita yang luput melihatnya. Atau mungkin kita melihat, tapi kita menafikannya.
Semoga almh. tenang di alam sana, diampuni segala dosa-dosanya, dan diterima segala amal perbuatannya. Aamiin ya Rabbal 'aalamiin.... 🙏
Aamiin aamiin ya robbal alamiin
ReplyDelete