Dulu, Kini, dan Nanti

Saya punya kesulitan dalam menerima dan mendengarkan masukan dari orang lain. Saya cenderung keras kepala ketika saya meyakini sesuatu yang menurut saya paling baik. Mungkin ego anak pertama dalam diri saya mengambil peran paling besar dalam kekeraskepalaan saya itu. Ndilalah, saya dipasangkan dengan laki-laki yang juga anak pertama. Kebayang dong kayak apa pertarungan egonya? 🙃

Suatu hari di minggu kedua setelah kami menikah, saya hendak pergi ke bank untuk mengurus kartu ATM saya yang hilang. Saya berencana pergi ke bank yang terletak di kampus swasta dekat tempat tinggal kami karena hanya perlu jalan kaki tanpa keluar ongkos. Suami saya berkata, "Kenapa nggak ke cabang Depok aja yang di Margonda? Di sana lebih besar, levelnya bukan cabang pembantu." Saya menjawab, "Nggak ah, jauh dan mahal ongkos Grab-nya, udah bener aku ke yang di kampus aja." Paham dengan kekeraskepalaan istrinya, dia cuma diam dan membiarkan saya pergi ke bank yang saya inginkan. Tahu bagaimana akhirnya? Begitu sampai di bank dekat kampus itu, ternyata sistemnya offline tepat saat giliran saya dipanggil ke meja customer service. Padahal nasabah sebelum saya baik-baik saja. 💆 Mau nggak mau saya pun pergi ke kantor cabang yang di Depok. Mungkin memang suami saya ridho-nya saya pergi ke sana, jadi pergilah saya ke sana. 🙃

Minggu berikutnya, saya merengek ingin beli panci supaya bisa masak sayur dengan lebih leluasa. Namanya juga pengantin baru, perabot rumah tangga kami belum terlalu banyak. Hehehe... Kami pun mampir ke toko serba ada yang menjual berbagai perlengkapan rumah tangga di Bogor, sekalian berkunjung ke rumah orangtua saya. Waktu itu saya sudah punya bayangan panci seperti apa yang saya inginkan, sampai ke spesifikasi ukuran, bahan, dan merk. Namun ternyata sampai di sana panci yang saya inginkan nggak ada. Karena udah lumayan mendesak, saya putuskan beli panci yang lain saja. Pilihan saya jatuh pada panci stainless steel diameter 22 cm dengan pegangan plastik dan tutup kaca. Lagi-lagi kami silang pendapat. Suami saya menyarankan saya membeli panci lain dengan diameter sama tapi lebih tinggi dan bahannya full stainless steel.

Saya menolak pilihan dia mentah-mentah, karena menurut saya panci itu terlalu tinggi dan kapasitasnya terlalu besar untuk kami berdua. Saya merasa belum membutuhkan panci setinggi itu untuk keperluan memasak. Paham dengan kekeraskepalaan istrinya, lagi-lagi dia membiarkan saya memilih panci yang saya inginkan. Esoknya ketika dipakai memasak, panci itu terus-terusan berbunyi meletup dan berbau gosong seperti plastik terbakar. Saya masih denial bahwa panci itu baik-baik saja. Puncaknya, ketika saya merebus daging untuk memasak sop, bau plastik terbakarnya semakin menjadi-jadi dan memenuhi seisi ruangan bahkan sampai ke luar. Suami saya benar-benar nggak tahan dengan baunya dan sampai mual, hingga akhirnya kami putuskan melepas gagang plastik dari badan panci. Ternyata dari awal masalahnya memang pada gagang panci plastik itu, begitu dilepas bau gosongnya pun hilang.

Meski malu mengakui, tapi saya tahu bahwa kekeraskepalaan saya selama ini seringkali menyusahkan diri sendiri, dan juga suami saya. 😅 Mungkin sebenarnya suami saya punya alasan sendiri kenapa dia meminta saya begini dan begitu, atau lebih memilih melakukan yang ini ketimbang yang itu. Bukan semata-mata karena ingin permintaannya dituruti, tapi karena tahu bahwa dia menyarankan saya melakukan sesuatu atas dasar pertimbangan terbaik. Tapi lagi-lagi, saya memang terlalu sering ngeyel. 😅

 
Saya pernah baca selewat, being kind is more important than being right. Mungkin prinsip itu yang diterapkan olehnya dalam keseharian kami. Meski ia tahu pendapatnya benar, tapi ia membiarkan saya melakukan hal yang saya pilih. Bisa jadi itu cara dia menunjukkan bahwa dia benar, tanpa menyinggung saya atau memantik perdebatan di antara kami. Apapun alasannya, cara itu bisa dibilang berhasil untuk menghadapi orang keras kepala seperti saya. 😅

Dengan segala kelembutan hatinya, malu rasanya kalau kualitas diri saya masih seperti ini. Mungkin nggak akan tercapai dalam waktu dekat, karena segala sesuatu butuh proses, tapi saya bertekad ingin menjadi istri yang lebih menghormati dan menaati suami.

Selamat ulang tahun suamiku. Semoga kamu selalu dikaruniai kesehatan dan rizki yang halal. Semakin bahagia dan bisa saling membahagiakan. Tetaplah jadi pasangan hidup yang menyenangkan seperti dulu, kini, dan nanti. 💖


Share:

Sesaat Sebelum Pergi, Tanda-tanda Itu Ada di Sana

Sumber ilustrasi: Freepik

Suatu hari Ibu saya pernah berkata, kualitas nasi yang kita masak, kadang-kadang bisa menjadi pertanda buruk tentang sesuatu yang akan terjadi. "Mbak, coba ke sini sebentar, lihat nasinya, menurut kamu gimana?" Saya menghampiri Ibu dan menengok nasi di dalam magic com. Sekilas nggak tampak hal yang aneh, nasi itu baik-baik saja. Tapi kalau saya hirup dalam-dalam, baunya nggak enak. Nggak seperti nasi pulen biasa. "Ini berasnya jelek kali Bu," saya masih berusaha logis. "Ah berasnya sama aja kayak yang kemarin-kemarin Ibu beli, baru sekarang nasinya jadi bau gini, tapi nggak basi." Besoknya, kami mendapat kabar bahwa nenek asuh saya yang juga uwaknya Ibu, tutup usia.

Saya nggak tau dari mana selentingan ini bermula, tapi Ibu saya selalu ketar-ketir kalau nasi yang dia masak mendadak berbau nggak enak. Nggak basi sih, tapi nggak enak. Ia khawatir akan ada anggota keluarga, sanak saudara, atau teman dekat yang mendadak tertimpa musibah, jatuh sakit, atau meninggal. Saya nggak pernah menganggap serius kekhawatiran itu, hingga saya mengalaminya sendiri.

Hari Rabu, 19 September 2018, seperti biasa saya memasak nasi pagi-pagi setelah shalat Subuh. Saya hanya masak menu sarapan pagi karena suami saya ada training hari itu jadi dia nggak bawa bekal makan siang. Biasanya setelah nasi matang dan udah saya aduk, magic com saya putus aliran listriknya supaya nasi di dalamnya nggak kering karena terlalu sedikit. Tapi hari itu, karena saya masak nasi cukup banyak untuk makan malam, sengaja nggak saya cabut listriknya. Pikir saya, ah nasinya masih banyak, nggak bakal kering walaupun nggak saya cabut.

Malam harinya ketika mau makan, saya mengernyit karena nasinya agak berbau. Padahal biasanya kalau saya masak nasi agak banyak dan magic com saya biarkan tetap menyala, nasinya pasti baik-baik aja. Seperti yang saya bilang, basi sih enggak, cuma... agak berbau. Keesokan paginya ketika kami sedang sarapan, Ibu saya telepon, mengabari kalau tante saya telah tiada.

Memori saya langsung terbayang ke masa 3 bulan lalu sesaat sebelum lebaran. Tante saya adalah satu-satunya anak Mbah yang mewarisi bakat membuat kue dan menjahit. Kue kering maupun kue basah buatannya selalu enak, itu sebabnya setiap momen lebaran almh. nggak pernah absen mengirim kue kaastengel favorit kami. Tapi khusus tahun ini, kue kaastengel buatannya nggak seenak kue-kue biasanya. Tante saya yang lain cuma berseloroh, "Kenapa mbak kok kaastengelnya agak beda?" Almh. menjawab sambil tertawa, "Nggak tau nih pikirannya lagi error makanya bikin kuenya nggak bener. Hahaha...." Nggak ada seorang pun di antara kami yang menyadari bahwa kalimat itu bukan kiasan.

Tradisi di keluarga besar Ibu saya, setiap lebaran kami berkumpul di rumah kakak tertua Ibu saya. Demikian pula lebaran tahun ini. Beliau sudah sakit selama bertahun-tahun dan harus duduk di kursi roda. Praktis kami sekeluarga hanya bertemu dengan beliau setahun sekali, saat momentum lebaran aja. Begitu beliau melihat almh. tante saya, ia langsung berkata, "Kamu lagi sakit ya? Kenapa kok diam aja? Badan kamu juga kurus banget." Waktu itu almh. tante saya cuma mengelak, bilang nggak ada masalah apa-apa. Namun mata awas pakde saya nggak bisa dibohongi. Kami yang sering bertemu dengan almh. tante saya mungkin nggak menyadari perubahan itu. Tapi pakde saya yang hanya bertemu setahun sekali langsung merasakan perubahan drastis itu. Ia pun menitip pesan pada Ibu saya agar lebih memperhatikan adiknya. "Coba kamu tanya siapa tau dia lagi ada masalah atau sakit tapi nggak mau ngomong. Mungkin kalau sama kamu dia mau cerita," demikian pesan pakde saya kepada Ibu. Tapi almh. tante saya pada dasarnya memang dikenal kalem, pendiam, dan tertutup. Meski sudah ditanyai oleh Ibu saya, ia tetap berkata nggak ada masalah apa-apa.

Sampai akhirnya, beberapa minggu sebelum pernikahan saya, tante saya kolaps. Selama beberapa minggu almh. tinggal di rumah kami sementara anak-anaknya bergantian menemani. Kebetulan rumah saya dan rumah almh. tante cukup berdekatan meski berbeda kompleks. Keluarga besar kami sempat membawanya ke psikiater, namun sifat tertutup almh. menghalangi segala jenis pengobatan yang kami upayakan. She lost her sparks in her eyes. She even barely functioning as a human being.

Di hari pernikahan saya, almh. tante masih menguatkan diri untuk hadir meski berjalan saja cukup sulit baginya. Tapi ia mungkin ingin menjadi bagian di hari bahagia saya. Meski hanya sebentar, saya lihat ada beberapa foto dirinya yang sedang tersenyum. Begitu saya pindah ke Jakarta, saya jarang mendengar kabar tentangnya. Terakhir yang saya tahu, almh. tante saya dirawat di rumah sakit, seluruh keluarga besar yang ada di Bogor dikerahkan untuk bergantian jaga menemaninya setiap 2 jam sekali. Nggak sedetik pun almh. tante saya dibiarkan sendirian tanpa ada yang menemani. Namun apa boleh dikata, kita nggak pernah tau kapan ajal akan tiba. Satu hari setelah ulang tahun ke-19 putri pertamanya, tante saya menghembuskan nafas yang terakhir.

Kalau kita berusaha mengingat-ingat lagi, tanda-tanda itu ada di sana. Mungkin di balik tawa renyahnya saat mengantarkan kue kaastengel ke rumah kami, ada jeritan tertahan yang ia sembunyikan. Mungkin di balik wajah diamnya dan jawaban, "Nggak apa-apa kok," ada jutaan kata yang nggak sabar ingin ia ceritakan kepada Ibu saya. Tapi almh. memilih untuk menyimpannya sendiri. Tanda-tanda itu ada di sana, hanya saja mata kita yang luput melihatnya. Atau mungkin kita melihat, tapi kita menafikannya.

Semoga almh. tenang di alam sana, diampuni segala dosa-dosanya, dan diterima segala amal perbuatannya. Aamiin ya Rabbal 'aalamiin.... 🙏
Share:

Belajar Mengenali Jenis Bagian Daging Sapi

Dengan diunggahnya tulisan ini, secara resmi saya udah masuk dalam geng ibu-ibu. 😂

Sumber ilustrasi: Freepik

Sebelum menikah, kemampuan memasak saya bisa dibilang di bawah rata-rata. Hanya beberapa jenis makanan yang mampu saya olah dengan layak dan mendapat pengakuan dari orang-orang terdekat. Basic skill masak sih saya punya, nggak yang bener-bener buta total lah. Tapi kalau boleh jujur sih, saya emang jarang banget terjun ke dapur untuk bantu-bantu ibu saya. Ehehehe.... 🙈 Saya bertekad setelah menikah ingin benar-benar serius belajar masak karena udah komitmen mau menyediakan masakan rumah untuk keluarga. Dimulai dari masakan-masakan sederhana yang saya udah pernah masak (atau minimal sering lihat ibu saya masak), sampai masakan yang saya nggak tau sama sekali. 😂

Awal-awal menikah saya cuma berani masak menu-menu sederhana seperti olahan tempe, tahu, telur, dan sayur-sayuran tumis. Hasilnya? Ya cincai laaah... 😂 Di minggu ketiga menikah saya mulai memberanikan diri untuk mengolah daging dan ikan-ikanan sesuai permintaan suami. Terus terang aja ini tantangan banget buat saya, karena selama ini nggak pernah sekali pun mengolah daging. Alasannya sih karena daging sapi itu cukup mahal harganya, dan kalau sampai salah simpan atau salah olah, bisa jadi dagingnya malah rusak atau menurun kualitas rasanya. Makanya saya mager banget nyobain olahan daging sapi pas masih gadis.

Pertama kali beli daging sapi, saya ke Carrefour yang nggak terlalu jauh dari kantor. Sebagai ibu-ibu newbie, saya termenung sambil bolak-balik di etalase daging lamaaaa banget. 😂 Di situ saya baru tau ooh ternyata daging sapi itu ada nama-nama bagiannya ya. Saya perhatikan label harga di setiap kemasan daging ada yang tertulis has dalam, has luar, sengkel, sandung lamur, dan sebagainya. Ada juga yang tertulis daging rendang, daging rawon, daging semur, dan sebagainya. Pusing nggak? Pusing lah.... 😂 Saya pikir selama ini semua daging sapi ya sama aja, bisa diolah jadi semur, rendang, empal, tanpa perlu pusing-pusing mikirin daging bagian mana ini. Ternyata nggak sesederhana itu saudara-saudara. 😂

Daripada kelamaan dan malah dilihatin orang, saya akhirnya putuskan memilih daging berdasarkan komposisi lemaknya. Rata-rata daging dikemas seberat kurang lebih 500 gram, terlalu banyak kalau semuanya dijadikan campuran sayur sop, jadi saya berniat mengolahnya jadi dua masakan. Maka saya pilih daging yang punya komposisi 20% lemak 80% daging, pilihan jatuh pada kemasan daging rendang padahal saya nggak ada niat masak rendang. 😂 Tapi ya harap maklumi kesotoyan ibu-ibu newbie ini. Masakan pertama baru saya eksekusi sekitar satu minggu kemudian dan lumayan sukses. Sayur sop daging yang saya buat menuai pujian dari suami karena rasanya enak dan dagingnya empuk. Ya iyalah empuk, wong saya rebus satu jam lebih. 😂 Selanjutnya, saya putuskan mengolah daging ini menjadi sapi lada hitam. Saya cari-cari resepnya ke sana kemari, semua bilang dagingnya ditumis sampai berubah warna. Nggak ada instruksi sama sekali untuk merebusnya terlebih dahulu. Sempat membatin, bakal alot nggak nih dagingnya kalau nggak direbus dulu? Tapi tetap saya coba. Begitu masakannya jadi, tadaaaa ~ jadilah sapi lada hitam dengan rasa yang enak tapi dagingnya terlalu keras. 😂 Walaupun dagingnya terlalu keras, masakan saya masih dapat pujian dari suami, sambil membesarkan hati agar saya semangat cari cara mengolah daging sapi sampai empuk seperti ketika masak sayur sop.

Saya berusaha telusuri di mana kesalahan saya, kok dagingnya alot banget sedangkan waktu bikin sayur sop dagingnya selembut itu. Sempat mikir apa harusnya direbus dulu sebelum ditumis? Tapi nanti malah jadi semur dong. 😂 Setelah googling sana-sini barulah ketemu jawabannya. Ternyata harusnya saya pakai daging bagian has dalam kalau mau bikin sapi lada hitam. Kemungkinan daging yang saya beli itu bagian sandung lamur yang memang biasa diolah jadi rendang. Ya pantes lah dagingnya alot. 💆😂

Nah, berbekal kesalahan saya dalam memilih daging, saya mau berbagi informasi tentang bagian-bagian daging sapi yang saya rangkum dari berbagai sumber. Simak baik-baik ya! 😁

Sumber ilustrasi: The Spruce Eats

Daging Sandung Lamur
Dalam bahasa Inggris daging Sandung Lamur disebut juga Brisket, daging ini berasal dari bagian dada bawah sampai ketiak. Daging ini disebut bagian daging anak sapi karena cukup berlemak dan biasanya disajikan sebagai menu-menu rendang.

Daging Lamusir
Bagian ini disebut juga dengan nama Cube Roll. Daging lamusir berasal dari bagian belakang sapi, di dekat has dalam, has luar, dan daging tanjung. Potongannya diambil dari bagian punggung kemudian dipotong dari rusuk keempat sampai ke rusuk duabelas. Daging jenis ini termasuk jenis daging yang lunak dan berlemak. Ia cocok dimasak dengan cara dipanggang atau dibakar karena sangat empuk.

Daging Sengkel
Istilah sengkel sebenarnya berasal dari bahasa Belanda yaitu Schenkel yang merupakan bagian depan atas kaki sapi. Karena ototnya cukup banyak, daging sengkel biasa dimasak sebagai bahan dasar sup, soto atau bakso urat.

Daging Gandik
Dalam bahasa Inggris daging Gandik disebut Silver Side. Daging ini adalah daging sapi paha belakang bagian bawah dan bentuknya mirip dengan bagian paha depan yang biasa disebut Shank. Biasanya daging bagian ini digunakan sebagai bahan dendeng balado, isi lemper atau sebagai abon.

Daging Punuk
Sesuai namanya, daging punuk merupakan daging bagian punuk yang menyambung dari atas hingga ke paha depan. Bagian tengahnya terdapat serat-serat kasar yang mengarah ke bagian bawah. Daging jenis ini cocok dimasak dengan teknik mengukus. Dalam bahasa Inggris bagian punuk biasa dikenal dengan nama Blade.

Daging Tanjung
Daging ini dikenal dengan juga nama Rump atau Round, yakni bagian daging sapi yang lemaknya sangat sedikit bahkan hampir tidak ada. Daging sapi ini berasal dari bagian punggung dekat kaki belakang. Biasanya daging ini diolah dengan cara direbus atau dipanggang.

Daging Iga
Daging yang satu ini merupakan salah satu bagian sapi yang paling baik untuk diolah. Daging iga atau tulang rusuk, dalam bahasa Inggris disebut Ribs. Biasanya bagian tulang rusuk sapi yang diambil antara tulang rusuk ke-6 sampai 12. Daging iga paling enak dimasak menjadi sup iga, iga bakar, semur, atau juga steak.

Daging Sapi Paha Depan
Dalam bahasa Inggris bagian ini disebut dengan nama Chuck. Daging ini biasa dipotong berbentuk segiempat dengan ketebalan 2-3 cm. Tulang bahu biasanya masih menempel ke bagian paha sampai bagian terluar. Daging sapi paha depan sangat cocok diolah menjadi bakso.

Daging Samcan
Bagian daging yang satu ini berasal dari otot perut, dalam bahasa Inggris disebut juga Flank. Bentuknya panjang dan datar, namun agak kurang lunak. Daging ini biasa digunakan sebagai bahan oseng-oseng atau tambahan dalam sayur.

Daging Has Dalam
Mungkin bagi pecinta steak, udah nggak asing lagi dengan bagian ini, yang biasa disebut Tenderloin, yakni daging sapi bagian tengah badan. Karakteristik daging ini  adalah memiliki banyak otot dan terletak di bagian tulang belakang, bahu dan tulang panggul. Daging has dalam paling lunak karena otot-ototnya jarang dipakai untuk beraktivitas, sehingga cocok dimasak sebagai empal, steak, atau sukiyaki.

Daging Has Luar
Daging ini disebut juga dengan nama Sirloin, bagian daging sapi dari bawah iga sampai ke luar has dalam. Harganya paling murah dibandingkan jenis daging lain karena ototnya cukup keras dan seringkali dipakai bekerja, lemaknya juga cukup sedikit sehingga biasa dikonsumsi oleh para pelaku diet. Daging jenis ini cocok dijadikan dendeng atau steak.

Sumber ilustrasi: Freepik

Nah, setelah tahu macam-macam bagian daging sapi, semoga saya nggak bingung lagi deh kalau mau beli daging di pasar maupun di swalayan. 😂 Semoga tulisan ini bermanfaat bagi siapapun yang juga lagi belajar masak! 😊

Sumber tulisan: Vemale, Little Big Red Dot, The Spruce Eats
Share:

Sebuah Awal Perjalanan


"Ani and Hendra found each other through their mutual friend. It was around the beginning of 2017 when both of them were just two people who were lonely and broken-hearted. However, their time has not yet to come. But love will always find a way. They believe that the good thing will come to those who wait for the right moment. After few months of contemplation, some flirtatious chat was exchanged back and forth over the Instagram direct message. They finally went out for the first time to photography competition that held in the northern Jakarta. After discovering a mutual love of photography, cats, and travel, the rest is history!"

Itu adalah sepenggal kisah yang saya tuliskan pada halaman undangan digital pernikahan kami. Versi singkat dari tulisan saya tentang bagaimana kami bertemu. 😊



Kadang saya masih nggak percaya, kalau saya sudah menyandang status sebagai istri seseorang. Banyak yang bilang, di awal-awal pernikahan rasanya sering kaget saat terbangun dan mendapati di sebelah kita ada orang lain. Apakah saya mengalaminya juga? Ternyata enggak tuh. 😂 Tapi momen terbangun sebelum pasangan saya bangun justru saya manfaatkan untuk bersyukur. Saya pandangi wajahnya dalam-dalam, sambil bergumam dalam hati, inilah orang yang saya pilih untuk menua bersama.

Untuk sampai di titik ini, banyak hal yang harus kami lalui. Sewajarnya orang-orang yang sedang mempersiapkan pernikahan, pasti ada aja drama di sana dan di sini, begitu pula kami. Tapi semua rasa lelah fisik dan mental itu terbayar ketika kami duduk di meja akad di hadapan para saksi dan penghulu, dinyatakan telah sah menjadi suami istri di mata agama maupun negara. Alhamdulillah.... :')

 

Akad nikah kami berlangsung pagi hari, di pelataran Wisma Endie yang sekaligus menjadi lokasi resepsi. Tanpa perlu mengundang banyak orang pun, pagi itu Wisma Endie sudah penuh oleh gabungan keluarga besar kami. Keluarga saya yang berlatar suku Jawa, dan keluarga pasangan yang berlatar suku Sunda, pada hari itu dipersatukan dalam adat nasional. Saya memakai kebaya model kutu baru dipadukan dengan kerudung sederhana, sedangkan pasangan memakai baju kurung Melayu dilengkapi peci hitam. Perpaduan yang nggak lazim? Iya banget. 😂 Tapi bagi kami semua sah sah aja selama rukun dan syarat nikah nggak diutak-atik. 😅

Kalau ditanya momen apa yang paling memorable dalam acara sekali seumur hidup itu selain momen ijab qabul, saya akan menjawab, momen ketika saya berjalan menuju meja akad dan saya lihat ayah saya menangis. Iya, menangis. Ayah saya yang kaku kayak kanebo kering. Ayah saya yang lurus banget kayak jalan tol. Ayah saya yang sangat keras dalam mendidik saya sejak kecil. Ayah saya yang jarang sekali menunjukkan emosinya. Sampai pada hari di mana putrinya akan menikah, semua bendungannya jebol. Saya berjalan sambil meremas kertas contekan dan kertas tisu kalau-kalau saya nggak bisa membendung air mata. :')


Sebenarnya saya sudah menyiapkan sendiri teks memohon izin minta dinikahkan, namun ternyata itu merupakan bagian dari tugas penghulu untuk membimbing saya mengucapkan permohonan izin. Kalau nggak ingat sama riasan wajah yang makan waktu berjam-jam, saya mungkin udah berderai air mata saat itu. Tapi dengan sedikit mengatur pernafasan, alhamdulillah saya bisa membendung air mata sepanjang prosesi akad nikah.

Saya, si anak perempuan manja yang kelihatannya galak dari luar padahal aslinya cengeng, sekarang udah nggak bisa lagi berlindung di balik ketiak ayah saya. Tanggung jawab atas diri saya, bukan lagi terletak di tangan beliau, melainkan di tangan suami saya.


Pesta pernikahan hanyalah sebuah momentum yang menandai dimulainya babak baru dalam kehidupan kami. Namun demikian, semua pasti ingin momen sehari seumur hidup itu berjalan dengan lancar dan bisa dinikmati oleh keluarga besar maupun para tamu yang datang. Acara resepsi yang digelar di luar ruangan, terus terang bikin kami semua ketar ketir, khawatir kalau sampai turun hujan pasti akan menimbulkan ketidaknyamanan. Tapi alhamdulillah pada hari itu cuacanya cerah dan matahari bersinar terang. 🌞


Akhir kata, saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terlibat sehingga acara pernikahan kami berlangsung dengan lancar.

Venue: Wisma Endie
Decoration: Jimbonk Decoration
Makeup & attire: Essy Raghifa Wedding Service
Henna: Henna by Hanna
Documentation: Infinity Pictures
Catering: Leanda Lestari
Wedding ring: Sovia Jewelry Jakarta
Mahar decoration: Rustic Indonesia
Entertainment: D'Code Official
Invitation card: Wabeta Print
Wedding Organizer: Surprisingly, kami nggak pakai wedding organizer sama sekali. Semuanya diatur oleh keluarga besar layaknya profesional. 😅

Selamat menikmati cuplikan video pernikahan kami, semoga kebahagiaan ini bisa dirasakan oleh teman-teman semua. 😊

Share:

Pemeriksaan TORC(H) di RSUD Pasar Rebo, Ternyata Lebih Murah!

Disclaimer: saya bukan praktisi medis sama sekali, tulisan ini murni saya buat dari sudut pandang orang awam, mohon jangan dijadikan acuan dan tetap konsultasi ke dokter.

Beberapa bulan yang lalu sebelum menikah, saya sempat menulis tentang pemeriksaan TORCH yang sebaiknya dilakukan oleh perempuan yang hendak menikah atau merencanakan kehamilan. Well, banyak juga yang bertanya bagaimana kelanjutannya ternyata. 😅

Sumber Ilustrasi: Freepik

Tadinya sesuai rencana, saya ingin melakukan pemeriksaan TORCH sebelum menikah. Namun ternyata karena kesibukan dan masalah waktu yang sangat terbatas seiring makin dekatnya hari pernikahan, akhirnya saya menunda pemeriksaan tersebut. Saya dan suami (ciyeee suami sekarang mah 😝) baru mendatangi RSUD Pasar Rebo sekitar dua minggu setelah hari pernikahan. Sebelum pergi ke sana, saya menghubungi bagian informasi RSUD Pasar Rebo via telepon untuk menanyakan jam layanan dan tarif pemeriksaan. Petugasnya menginformasikan bahwa laboratorium melayani dari jam 8 pagi sampai jam 3 sore dari hari Senin sampai Jumat. Namun sayangnya mereka hanya bisa melakukan tes untuk Toksoplasma, Rubella, Cytomegalovirus (CMV) saja, sedangkan untuk Herpes Simplex Virus (HSV) belum tersedia. Baiklah....

Kami tiba di RSUD Pasar Rebo sekitar pukul 09.00 WIB, sudah agak siang untuk ukuran calon pasien rumah sakit pemerintah ya. Kalau mau lebih cepat dilayani semestinya kami datang lebih pagi. Karena saya belum pernah berobat ke sana, di loket pendaftaran saya harus mengisi formulir pasien terlebih dulu lalu membayar biaya pendaftaran, biaya cetak kartu, dan biaya konsultasi dokter kandungan, total semuanya Rp 80.000,- saja. Yap, untuk bisa melakukan pemeriksaan di laboratorium kita nggak bisa kucluk-kucluk langsung ke sana tapi tetap harus konsultasi ke dokter dulu. Setelah menyelesaikan pembayaran dan urusan administrasi, saya mendatangi Poli Kandungan untuk pemeriksaan tensi dan berat badan. Waktu tunggu yang kami habiskan hingga akhirnya dipanggil ke ruang dokter kandungan mungkin sekitar dua jam. Kami datang jam 09.00 WIB, baru masuk ruang dokter jam 11.00 WIB, padahal konsultasinya sebentar banget bahkan nggak sampai 5 menit.
😅

Lucunya, sewaktu diperiksa tensi, perawat yang memeriksa saya menanyakan beberapa hal: "Mau cek kandungan ya?" "Engga." "Terus mau apa?" "Saya mau periksa TORCH." "Oh, sebelumnya pernah keguguran ya?" "Engga." "Hmm... Oke... Keluhannya apa?" Entah kenapa, kayaknya dia agak aneh melihat ada pasien yang sehat wal 'afiat, nggak hamil, nggak punya riwayat keguguran, tapi mau repot-repot periksa TORCH. Memangnya aneh ya kalau kita mengambil langkah antisipasi? Apa nggak boleh kalau kita lebih pilih mencegah daripada mengobati? 😌

Keluar dari ruang observasi, kami membawa beberapa berkas dokumen yang diberikan kepada perawat. Kami lalu diminta pergi ke kasir untuk membayar biaya Pemeriksaan Obstetri dan Observasi Tanda Tanda Vital, totalnya Rp 40.000,- saja. Setelah dari kasir, barulah perawat tersebut memberikan resep suplemen yang diberikan oleh dokter, serta surat rujukan dari dokter untuk pemeriksaan laboratorium. Whoaaah..... Untuk mendapatkan ini semua aja makan waktu sampai dua jam lebih. 😌 Kami yang semula berencana izin setengah hari, terpaksa izin seharian penuh karena berangkat ke kantor pun percuma pasti sudah kelewat siang.

Sebelumnya saya udah bilang kan yaa kalau saya sempat menghubungi bagian informasi RSUD Pasar Rebo untuk menanyakan biaya pemeriksaan laboratorium. Ternyata informasinya memang akurat dan kurang lebih sama dengan informasi yang saya peroleh dari blog Kiki Erviani. Untuk detail harganya, bisa dicek di gambar berikut ini ya.

Seperti yang tercantum pada gambar, hanya ada pemeriksaan Toksoplasma, Rubella, Cytomegalovirus (CMV) saja, sedangkan untuk Herpes Simplex Virus (HSV) belum tersedia. Mungkin nanti kami akan mencari laboratorium lain khusus untuk pemeriksaan ini. Total biaya yang kami keluarkan untuk pemeriksaan termasuk biaya pendaftaran dan konsultasi dokter sekitar Rp 930.000,-. Mahal nggak? Mahal atau murah relatif sih. Tapi bagi kami harga segitu jauh lebih terjangkau ketimbang harus melakukan pemeriksaan di laboratorium swasta. Di tulisan saya yang sebelumnya, saya mencantumkan daftar harga berbagai laboratorium yang melayani pemeriksaan TORCH di wilayah Jabodetabek. Mulai dari Prodia, Kimia Farma, Gunung Sahari, Primadia, Biotest, sampai Pathlab.

Untuk sementara, kami cuma bisa menunggu dan berdoa. Sample darah saya sudah diambil untuk diperiksa, hasilnya baru bisa diambil tanggal 10 September 2018 mendatang. Tulisan ini akan saya update lagi kalau nanti saya udah dapat hasil pemeriksaan laboratoriumnya. Semoga semua hasilnya baik-baik aja. 😊🙏

UPDATE (12 September 2018)

Berhubung tanggal 10 September kemarin saya pulang kampung, saya dan suami baru sempat mendatangi RSUD Pasar Rebo hari ini untuk mengambil hasil pemeriksaan laboratorium. Nggak butuh waktu lama karena kami nggak harus antre seperti pasien biasa. Lalu hasilnya bagaimana? Hasil pemeriksaannya adalah.... hampir semua indikator negatif, kecuali Anti CMV IgG yang ternyata positif. Artinya apa? Well, sejujurnya saya juga belum yakin betul apa artinya dan langkah medis apa yang selanjutnya harus saya ambil karena kami belum sempat konsultasi ke dokter. 😅

Saya baru sempat googling sedikit dan menemukan sebuah jawaban yang lumayan menenangkan dari situs Alodokter. Kurang lebih penjelasannya seperti ini:

Sumber: Alodokter
 

Tapi..... sekali lagi saya tegaskan, hasil pemeriksaan laboratorium tetap harus dikonsultasikan ke dokter langsung. Jangan cuma mengandalkan jawaban yang kita peroleh dari internet. Bagi saya jawaban seperti ini sifatnya hanya sementara dan untuk menenangkan aja karena asli saya juga awam banget sama istilah-istilah medis ini. 😅

Apakah semua perempuan yang hendak menikah atau akan memiliki anak wajib melakukan pemeriksaan ini? Mungkin ada sebagian yang berpendapat, "Ah, saya nggak pakai periksa-periksa lab kayak gitu, lancar-lancar aja tuh. Setelah nikah nggak berapa lama langsung hamil dan anak saya lahir sehat." Wah, syukur alhamdulillah kalau memang ada yang jalannya dimudahkan seperti itu. Tapi kalau jawaban saya, semuanya kembali pada keyakinan dan ketenangan hati masing-masing. Kalau memang yakin tubuhnya sehat dan udah menerapkan gaya hidup sehat juga, ya monggo lakukan sesuai keyakinannya. Tapi kalau memang yakin bahwa langkah terbaik untuk mempersiapkan tubuh adalah dengan melakukan pemeriksaan sedini mungkin, ya silakan lakukan. Intinya, lakukan apa yang terbaik menurut kamu. 😊

Buat yang mau sharing soal pengalaman tes TORCH-nya, boleh banget tinggalkan komentar. Kalau lagi senggang insya Allah akan saya balas. 😊
Share: