DIY Projects #3: Desain Kartu Undangan Sendiri!

Sejujurnya saya udah lupa ini DIY projects bagian ke berapa. 😂 Karena proyek ini udah mulai saya kerjain jauh berbulan-bulan yang lalu, tapi memang sengaja nggak dibuka sampai dekat waktunya. Ehehe... 🙈

Walaupun nggak bisa dibilang jago-jago banget, tapi saya punya sedikit ilmu perancangan grafis yang dipelajari pas kuliah. Di kantor juga saya udah biasa memproduksi konten promosi baik cetak maupun social media sehingga saya cukup familiar dengan software desain grafis seperti CorelDraw dan Adobe Photoshop. Nah, berbekal pengalaman itulah saya bertekad mau mendesain kartu undangan pernikahan saya sendiri. 🙈

Bagian tersulit dari proses desain adalah... memutuskan desain yang mana yang mau dieksekusi. 😂 Kalau soal inspirasi mah banyak banget di mana-mana ada, apalagi dari Pinterest. Dan proses mendesain juga nggak sekedar mikir desainnya harus lucu dan unik, tapi juga mikirin ketika nanti dicetak bakal sulit direalisasikan atau nggak. Lalu biaya cetaknya gimana? Semakin rumit desain yang kita buat, jangan aneh kalau harga per buahnya juga semakin mahal. Jangan sampai karena pengen punya desain kartu undangan yang unik kita mengabaikan aspek biaya.



Dari awal saya udah tahu kalau saya nggak akan bikin desain kartu undangan hard cover. Alasannya ya karena: #1 mahal, #2 kenapa harus mahal-mahal kalau ujung-ujungnya untuk dibuang juga? Malah sebetulnya saya dan pasangan maunya undangan digital aja, tapi ya para tetua nggak mungkin mengizinkan. 😌 Jadi akhirnya kami tetap membuat kartu undangan fisik.

Suatu hari pasangan saya menunjukkan akun Instagram jasa cetak undangan milik juniornya pas kuliah. Dia menyarankan untuk cetak kartu undangan di situ aja. Begitu saya lihat-lihat ternyata ada contoh undangan dengan desain ala kartu pos. Saya langsung mikir, "Nah desain kartu pos gini nih yang saya mau!" 😄 Akhirnya saya propose konsep kartu undangan itu ke pasangan saya dan dia pun menyetujui.

Mulanya sih saya mau bikin undangan ala kartu pos benar-benar cuma satu lembar tanpa lipatan, as simple as possible. Tapi setelah saya eksekusi ternyata rasanya nggak memungkinkan karena ada cukup banyak elemen yang harus dimasukkan dalam desain tersebut. Setelah melalui beberapa kali proses diskusi dengan pasangan saya soal pemilihan font, ornamen hiasan, warna, dan lain-lain, akhirnya desain kartu undangan kami pun selesai, kurang lebihnya seperti ini. 😁

Desain undangan bagian luar (posisi terbalik)

Spesifikasi desain kartu undangan saya sederhana banget kok. Ukurannya standar 14 x 38 cm dilipat tengah (begitu dilipat ukurannya jadi 14 x 19 cm), dicetak satu warna (hitam aja), menggunakan kertas samson craft yang berwarna coklat. Warna coklat dalam desain undangan saya ini cuma gambaran aja. Aslinya sih warna kertas samson craft itu lebih gelap dari ini. 😁

Desain undangan bagian dalam



Apakah semua ornamen yang saya pakai di dalam undangan ini saya buat sendiri? Oh tentu tidak. 😂 Yang saya lakukan hanya mengkurasi. Saya tahu konsep desain seperti apa yang saya inginkan, tapi saya juga sadar diri kalau saya nggak bisa bikin ilustrasi. Jadi saya cari ilustrasi yang kira-kira sesuai dengan konsep desain saya lalu saya aplikasikan di dalam desain. Di mana nyarinya? Saya paling sering mengandalkan Freepik untuk mencari elemen-elemen desain seperti ini. Cari aja dengan kata kunci: flower corner, flower illustration, flower skecth, floral sketch, atau apapun lah yang lagi kalian butuhkan, tinggal utak-atik aja. FYI hampir semua materi desain yang ada di Freepik itu gratis selama untuk penggunaan pribadi (bukan komersil). Dan kita bisa mengunduh file dalam berbagai format dengan resolusi tinggi. Salah satu contoh desainnya bisa dilihat di gambar berikut ini. Cukup mengunduh file yang kita inginkan, nantinya ada file format .ai dan .eps yang bisa kita pereteli satu per satu. Seru kan? 😄

Paket yang akan didapatkan setiap mengunduh satu desain

Software desain grafis seperti CorelDraw dan Adobe Photoshop memang nggak gratis sih, dan untuk mempelajarinya pun butuh waktu serta kesabaran. Kalau kamu nggak punya dua-duanya, ada cara lain untuk mendesain yang lebih gampang, yaitu pakai Canva! 👌 Canva adalah program desain online yang menyediakan berbagai fungsi dan alat editing untuk membuat berbagai desain grafis seperti poster, flyer, infografik, banner, card invitation, presentation, Facebook cover dan masih banyak lagi. Kalau lagi malas mikir dan pengen yang praktis-praktis aja, saya sering memanfaatkan berbagai template desain yang sudah tersedia di Canva. Oh iya, sebagian besar desain yang ada di Canva itu gratis. Kecuali kalau kita mau menambahkan foto atau ornamen tertentu yang memang premium, kita harus bayar. Canva versi gratis juga membatasi beberapa fungsi yang hanya ada di Canva berbayar, misalnya fitur resize. Biaya langganan Canva premium per bulannya sebesar $12.95 USD. Kalau mau lebih hemat bisa langsung berlangganan setahun dengan biaya hanya $9.95 USD/bulan. Tapi kalau baru mau coba-coba, Canva juga menyediakan free trial selama 30 hari kok, asal punya kartu kredit kamu bisa menggunakan fasilitas ini.

Tampilan dashboard Canva.

Jadi, sebenarnya sekarang ini ada banyak alternatif untuk mempermudah urusan para calon pengantin. Tinggal kitanya aja harus pintar-pintar menggali informasi dan mencari referensi. Buat yang lagi mempersiapkan pernikahan, semangat ya! 😁
Share:

Bukit Wangun: Surga Tersembunyi di Pinggiran Kota Bogor



Setelah beberapa kali merencanakan foto pre wedding sesi kedua tapi selalu gagal (dan diwarnai bumbu-bumbu keributan 🙈😂) tadinya saya pikir kami nggak akan repot-repot menyempatkan waktu lagi. Tantangan untuk foto pre wedding kali ini adalah: bingung milih tempat, bingung siapa yang fotoin, dan belum tentu cuacanya bagus. Beberapa kali kami batal foto lantaran Bogor mendadak diguyur hujan padahal pasangan saya udah jauh-jauh datang dari Depok.

Hari Jumat minggu lalu, saya sengaja ambil cuti karena harus meeting dengan salah satu vendor yang cuma bisa ketemu pas hari kerja. Kebetulan pasangan saya juga ijin kerja karena baru pulang dari Bangkok pada dini hari. Setelah meeting selesai, kami berencana melakukan sesi foto bersama sepupu saya yang bertindak sebagai fotografer dadakan. 😂 Lokasinya nggak jauh-jauh sih, masih di daerah Bogor juga. Tapi saya belum pernah sekalipun ke sana, cuma sepupu saya yang pernah.

Mulanya saya terinspirasi sama foto-foto di akun Instagram @dionwiyoko, ia memotret istrinya dengan latar belakang padang ilalang. Menurut pengakuannya sih foto-foto itu diambil di depan komplek rumahnya di kawasan PIK. 💆 Nggak mungkin kan kami ke sana? Malah capek di jalan yang ada. Nah kebetulan nih sepupu saya tahu tempat di Bogor yang juga dipenuhi ilalang, namanya Bukit Wangun. Sore itu, kami meluncur ke sana.

Cantik ya istrinya @dionwiyoko ini 😍

Perjalanan menuju Bukit Wangun makan waktu sekitar 35 menit dari pusat kota Bogor dengan mengendarai motor. Sebenarnya sih kalau nggak macet, bisa jadi cuma 20 menit aja. Kondisi jalanan yang sempit dan berkelok-kelok serta padat dengan kendaraan, bikin perjalanan ke sana jadi super tricky. Kalau kami naik mobil entah berapa lama deh baru sampai di sana. Buat yang belum tahu, Bukit Wangun ini lokasinya harus melewati jalan alternatif Sukabumi-Bogor. Iya, jalan alternatif antar kota tapi sempitnya kayak jalan komplek perumahan, cuma muat dua mobil papasan. 💆

Begitu sampai di lokasi, whoaaaaa.... 😍 Dari atas bukit itu kita bisa melihat pemandangan kota Bogor dari ketinggian. Bukit Wangun merupakan sebidang tanah luas yang dipenuhi oleh ilalang liar. Di sisi kanan jalan dari pintu masuk, lereng bukitnya ditumbuhi oleh tanaman pertanian. Puncak bukitnya yang paling tinggi, letaknya agak jauh dari pintu masuk, dan menurut sepupu saya tempat itu yang paling bagus karena ada semacam gazebo besar. Tapi sayangnya gazebo itu udah diisi oleh sekelompok remaja lokal. Sebelum kami sampai di sana, sepupu saya sudah mewanti-wanti, "Mbak siap-siap aja kalau di sana ketemu banyak akamsi (anak kampung sini) ya. Mereka mulutnya suka jahil." Dan memang benar sih, padahal kami datang bertiga, tapi tetap aja disiul-siulin dan disorakin dari kejauhan. Karena merasa nggak nyaman, kami pindah ke sisi lain bukit yang agak jauh dari mereka supaya lebih khusyuk.

Matahari sudah mulai turun ketika kami mulai sesi foto-foto. Karena kali ini ada sepupu saya, kami nggak repot kelamaan ngatur tripod kayak sesi foto pre wedding yang pertama. 😅 Meskipun dia sendiri juga ngakunya masih belajar motret, dengan sedikit arahan dari kami, ternyata hasil jepretannya lumayan juga kok. Taste fotonya lumayan lah, bahkan mungkin lebih bagus dari saya. 😂

Poin minus dari Bukit Wangun selain pemandangannya yang bagus adalah: semerbak bau tak sedap. 😅 Entah apakah kami yang salah pilih lokasi, atau memang karena tempatnya semak-semak gitu jadi banyak kotoran hewan yang nggak kelihatan. Atau mungkin karena banyak lahan pertanian, makanya semerbak bau pupuk kompos. Yang jelas, di balik wajah-wajah kami yang memancarkan kebahagiaan (elah), sebenarnya kami lagi nahan napas karena bau banget. Makanya sesi pemotretan sore itu nggak berlangsung lama, hanya sekitar 1 jam begitu kami sudah mendapatkan foto yang pas, kami langsung turun gunung. Di Bukit Wangun juga nyaris nggak ada pohon rindang. Jadi kalau mau ke sana saya sarankan lebih baik pagi hari (di bawah pukul 09.00) atau sore sekalian (di atas pukul 15.00) supaya mataharinya nggak terlalu menyengat.

Oh iya, sayang sekali spot foto yang kami pilih ternyata ilalangnya kurang rimbun. Di sisi lain Bukit Wangun ternyata ada padang ilalang yang lebih rapat dan rapi. Ah, nyesel banget kami nggak eksplor sampai ke sana. Kalau ada waktu lagi, kami mau banget kembali ke Bukit Wangun untuk melanjutkan sesi foto yang tertunda, mungkin nanti judulnya post wedding. 🙈 Mungkin foto-foto kami masih jauh kualitasnya dibandingkan jepretan @dionwiyoko, tapi setidaknya kami sudah berusaha. 😂

Ekspresi: "Khu khu khu, sebentar lagi kamu akan masuk ke dalam perangkapku!" 😈

Kalau saya udah ketawa lebar gitu, itu pasti lagi ngobrolin hal-hal nirfaedah 😂

Crop aja mukanya ya, ganggu 😝
"Because of you, I laugh a little harder, cry a little less, and smile a lot more."
Share:

Belajar Main Rumah-rumahan

Percaya atau engga, seumur hidup saya nggak pernah ngekost, sama sekali. 😅 Kalau pas kuliah sih ya jelas saya nggak ngekost karena kampus saya masih di Bogor juga. Tapi semenjak bekerja di Jakarta sekalipun dari tahun 2012, saya masih tetap menjalani itu semua dengan pulang pergi. Di rumah, saya juga nggak menguasai semua aspek pekerjaan rumah. Saya hanya kebagian tugas menyapu dan bersih-bersih kotoran kucing, sesekali nyetrika, sesekali masak (khusus makanan yang Ibu saya nggak bisa buat 😂), sesekali cuci piring, sesekali cuci baju. Intinya, saya cuma anak Ibu yang lebih banyak dimanja ketimbang ngerjain pekerjaan rumah. 🙈

Sumber ilustrasi: Freepik

Lalu, gimana jadinya anak Ibu yang manja ini mau hidup terpisah dari orangtua dalam waktu dekat? Yaaa, jadinya lebih seperti mau main rumah-rumahan. 🙈😂

Lain dengan saya, pacar saya sudah hidup merantau sejak tahun 2008 karena harus kuliah di luar kota. Rasa-rasa kesepian dan rindu kampung halaman, nggak pernah bisa hilang nggak peduli berapa lama pun dia merantau. Dia sudah terbiasa dengan berbagai pekerjaan rumah yang mau nggak mau harus dilakukan sendiri. Nyapu ngepel? Cincay... Cuci baju cuci piring? Biasa... Masak? Kalau cuma tinggal goreng-goreng aja bisa sih... Nyetrika? Bisa, tapi ngerjainnya sambil ngomel-ngomel. 😂

Beberapa hari yang lalu, pacar saya akhirnya meninggalkan kamar kost yang sudah dia tempati selama hampir 7 tahun. Dia salah satu anak kost tertua di sana, semua teman-teman kost-nya sudah lebih dulu pindah satu per satu. Ada yang pulang kampung, ada yang pindah ke kost yang lebih bagus atau lebih dekat dengan kantor, ada yang karena menikah. Bisa saja dia pindah ke kost lain yang relatif lebih dekat dengan kantornya di daerah pusat Jakarta, tapi dia lebih memilih untuk bertahan di sana. "Nanti aja, aku baru mau ninggalin kostan ini kalau aku mau nikah." 😅

Minggu lalu, dia memenuhi kata-katanya. 😁

Bersama dengan ayahnya, kami bertiga mengangkut barang-barang dari kamar kost sempit dan pengap itu ke dalam mobil bak terbuka. Saya juga bingung kenapa dalam satu kamar sekecil itu bisa memuat barang segini banyak sampai berkardus-kardus. 😅 Padahal waktu awal-awal kuliah dulu, katanya sih dia cuma bawa sedikit barang. Nggak ngerti kenapa kok 10 tahun kemudian barang-barang itu beranak pinak. 😌

Jarak antara tempat tinggalnya yang lama dengan yang baru sebenarnya nggak terlalu jauh. Kalau naik motor paling hanya makan waktu 15-20 menit aja. Tapi letaknya sudah beda kota beda provinsi pula. Kami memutuskan akan tinggal di sana sementara waktu setelah menikah nanti. Pencarian berlangsung selama satu bulan terakhir; baik pencarian online maupun offline. Sama halnya seperti memilih pasangan hidup, memilih tempat tinggal pun ternyata jodoh-jodohan. Meskipun ada tempat lain yang lebih baik, lebih terjangkau, atau lebih strategis lokasinya, kalau belum jodoh ya apa mau dikata. Pada akhirnya, tempat yang kami pilih ini adalah opsi terbaik dari semua opsi yang ada saat itu. Nggak bisa dikatakan sempurna karena pasti ada aja kurangnya. Tapi pasti akan menyempurnakan hari-hari kami ke depannya. 😊
"Home is where the heart is."
Share:

It's Not You, It's Me 💔


Sebagai jebolan anak IPB yang daerah kekuasaannya nggak jauh-jauh dari Lodaya, Malabar, sampai Baranangsiang, saya udah familiar banget sama Lele Bakar Malabar, atau sebagian orang menyebutnya Pecel Ayam Malabar. Sama aja kok nama tempat yang dimaksud, cuma beda penamaan aja. Di kalangan mahasiswa IPB, tempat makan ini kesohor banget karena rasa makanannya yang enak dan harganya yang terjangkau banget untuk ukuran mahasiswa dan anak kost.

Setiap kali ada kesempatan, saya suka merekomendasikan Pecel Ayam Malabar ini kepada teman-teman, saudara, atau siapa pun yang belum tahu. Yang belum lama ini saya ajak ke sana dan langsung terpikat, nggak lain dan nggak bukan adalah pacar saya. 😅 Saya ajak dia makan di sana sekitar bulan Desember 2017, waktu itu kami lagi ada acara di dekat Lippo Plaza sampai menjelang Maghrib. Sebelum pulang, kami singgah di sana hitung-hitung mengenalkan tempat nongkrong saya jaman kuliah ke pacar. Ternyata dia suka sama makanannya, bahkan nasi uduknya sampai nambah 2 porsi. 😂 Oke, nggak salah dong saya rekomendasikan ke dia?

Saya lupa kapan persisnya, kami berdua tanpa sengaja menemukan tempat makan pecel ayam di daerah Juanda, Depok yang ternyata nggak kalah enak. Memang sih dari segi harga, pecel ayam ini sedikit lebih mahal dibandingkan Pecel Ayam Malabar. Tapi dari segi porsi, ayamnya lebih besar dan nasinya lebih banyak. Karena lokasinya yang searah dengan jalan pulang dari Depok ke Bogor, kami lumayan sering mampir makan di sana. Kalau saya selalu istiqomah dengan menu ayam goreng kremes + nasi uduk, pacar saya lebih suka memesan udang atau cumi saus mentega yang rasanya juga lumayan enak. Dalam sebulan, mungkin kami bisa mampir makan di sana antara 3-4 kali. Saking seringnya, saya curiga mas-mas pegawai di sana udah hafal dengan wajah kami yang selalu duduk di meja yang sama (kalau kebetulan lagi kosong).

Nah, beberapa hari yang lalu, lagi-lagi kami beredar di sekitar Jalan Pajajaran. Entah kenapa saya tiba-tiba kepengen makan Pecel Ayam Malabar. Kami pun menuju ke sana dan memesan dua porsi ayam bakar, nasi uduk, dan tempe goreng. Awalnya saya merasa, kok tempe gorengnya nggak sesuai ekspektasi saya. Tapi saya tetap menghabiskan makanan dengan lahap, meskipun dalam hati ada rasa kurang puas yang masih saya tahan. Lalu saya lihat pacar saya makan tapi ayam bakarnya masih disisakan. Saya sempat menawarinya siapa tahu mau nambah nasi uduk lagi, tapi dia nggak mau.

Begitu kami udah bayar dan siap-siap mau pergi, saya baru ngomong, "Apa karena aku udah terbiasa sama rasa pecel ayam di Juanda yah, sekarang aku makan di sini kok rasanya biasa aja, jadi gak terlalu enak." Spontan pacar saya langsung nyamber: "Lah, kok sama!" 😂 Oke, jadi ini sebabnya saya perhatikan dia nggak terlalu lahap makannya. Kalau saya sih, selama rasanya nggak kacau-kacau banget, walaupun rasanya kurang enak, makanan pasti tetap saya habiskan. 😂

Sebenarnya, nggak ada yang salah dengan Pecel Ayam Malabar. Rasanya masih sama seperti dulu, harganya pun masih tetap tergolong murah. Tapi mungkin karena lidah kami sudah terpapar rasa pecel ayam yang lebih enak, mau nggak mau standar rasa kami pun meningkat. Sehingga rasa Pecel Ayam Malabar yang sebenarnya relatif stabil, jadi terasa biasa aja.

Di situ kami mengambil kesimpulan, bahwa ternyata rasa yang sudah bertahun-tahun melekat di hati saya, bisa tergantikan dengan mudahnya oleh rasa yang baru saya kenal selama beberapa bulan terakhir. Kalau ibarat orang pacaran mau minta putus, saya akan berkata: "It's not you; it's me. There's nothing wrong about you, I just found another one that suits me best."[]
Share:

How I Met My Significant Other



“Assalamu’alaikum… Temannya Randi ya?”

Suatu hari di bulan September, sebuah pesan mendarat di direct message Instagram saya. Sebetulnya saya tahu siapa si pengirim, tapi pesan itu cuma saya baca, lalu saya diamkan selama berbulan-bulan. Jahat ya? 😅

Tapi sebenarnya, perkenalan kami dimulai jauh sebelum saat itu. Sekitar tujuh bulan sebelumnya, sahabat saya bilang pacarnya punya teman yang lagi jomblo dan juga lagi nyari pacar, siapa tahu saya tertarik. Waktu itu saya memang baru putus, jadi sah-sah aja dong? 😝 Karena pada masa itu Path masih jadi platform social media yang lumayan ramai, dia meng-add akun Path dan juga Facebook saya. Tapi dia nggak melakukan pendekatan yang terlalu berarti, cuma sekedar nge-love, laugh, like status-status saya aja. Bahkan meninggalkan komentar pun enggak. 😅 Saya cuma tahu dia teman kuliah pacarnya sahabat saya, kuliah di bidang IT, kerjanya pun di bidang IT.


Bodohnya saya, nggak berapa lama kemudian saya malah rujuk sama orang yang udah saya tinggalin. 💆 Iya, iya, kalian boleh ketawa sepuasnya. 😂 Karena kami masih berteman di social media, saya bisa tahu ternyata beberapa minggu kemudian dia juga punya pacar. Oh, baiklah, mungkin kami memang nggak berjodoh. Kami pun melanjutkan hidup masing-masing dan misi sahabat saya bersama pacarnya untuk menjodohkan kami buyar saat itu juga.

Sekitar pertengahan bulan Juni, saya kembali menjomblo (Alhamdu? .... lillah ~ 😂). Sahabat saya langsung semangat ingin mencarikan saya pacar baru. Beberapa nama yang dulu sempat diajukan ke saya, masuk lagi ke dalam daftar calon kandidat. #halah 😂 Tapi kali ini saya nggak mau terburu-buru, saya cuma ingin menikmati masa-masa jomblo dan bebas melakukan apapun yang saya mau. Jadi saya menghabiskan periode jomblo saat itu dengan liburan ke Singapura, ikut open trip ke Kepulauan Seribu, ikut workshop fotografi gratis, dan nggak lupa ngerecokin sahabat saya sama pacarnya tiap malam minggu dengan jadi obat nyamuk. 😂

Singkat cerita, suatu hari dia ngobrol dengan pacarnya sahabat saya. Entah kebetulan atau bukan, kira-kira satu bulan setelah saya menjomblo, ternyata dia juga putus dengan pacarnya. 😂 Dia pun kembali menanyakan kabar saya. Saat itu saya memang lagi dekat dengan beberapa orang, walaupun nggak ada yang terlalu saya seriusin. Ketika tahu kalau saya juga lagi jomblo, dia pun kembali minta dikenalkan. Dia bilang sih nggak mau kecolongan lagi kayak waktu pertama kali berusaha ngedeketin saya. 😝 Katanya, "Bisi kaburu ku batur!" (Baca: "Takut keduluan sama orang!") 😂 Tapi pacarnya sahabat saya ini ragu-ragu dan nggak berani approaching langsung ke saya kalau nggak lewat sahabat saya dulu. Sahabat saya ini memang super protektif sama saya perihal milih cowok. Bisa dibilang dia adalah ring terluar dalam hal seleksi cowok sebelum bisa saya ajak ke jenjang berikutnya. 😂

Well, kembali ke era Instagram. Sekitar bulan September dia akhirnya mem-follow akun Instagram saya, namun saya nggak langsung mem-follow balik. Saya juga mengunci akun dia supaya nggak bisa lihat Instagram Stories saya. 😂 Duileeeeh sampai segitunya buuuk.... 🙈 Karena nggak mau terburu-buru, saya cuma memantau isi social media-nya. I just want to make sure that he's not some kind of weirdo. 😅 Dari hasil pantauan itu, saya jadi tahu kalau dia ternyata juga seorang photography enthusiast, walaupun beda 'agama' dengan saya yang menganut ajaran Olympian. 😝 Akhirnya saya putuskan untuk mem-follow balik akunnya, saat itulah dia langsung mengirim pesan lewat Instagram, yang cuma saya diamkan itu. Jadi, Ani maunya apa sih? NGGAK TAUUUUUU.... 😂😂😂

In my defence, I've been hurt so deeply several times before. I don't even know whether I still have courage to fall in love again. That's what keep me from opening up to someone new. But I decided that I should give him at least one more chance. So that's what I did.

Sekitar bulan November, saya mengunggah pengumuman workshop Darwis Triadi yang rutin saya ikuti setiap bulan. Nggak berapa lama, dia langsung me-reply unggahan tersebut dan bertanya apakah workshop itu terbuka bagi pemilik kamera dari merk lain? Kali ini pesan tersebut nggak saya diamkan. 🙈 Obrolan kami seputar kamera langsung merembet ke mana-mana. Entah gimana caranya, dia berhasil meyakinkan saya untuk ikut kompetisi fotografi yang diadakan di kawasan Pluit. Okay, so... is this a date? 😅

Kami bertemu untuk pertama kalinya (setelah berbulan-bulan cuma kenal di dunia maya dan lewat cerita-cerita teman saya) di Stasiun Pondok Cina. Padahal dia udah sampai lebih dulu dari saya yang berangkat dari Bogor. Tapi entah karena gugup atau salah makan, dia mules dan terpaksa ke toilet dulu, jadilah saya yang menunggu dia selesai troubleshoot. 😂

Sepanjang hari itu, saya dibuat mesem-mesem sama tingkahnya yang konyol, lontaran jokes recehnya yang surprisingly satu frekuensi dengan saya, juga karena dia terus menerus berusaha memotret saya secara diam-diam sepanjang waktu, padahal ada ratusan model yang harusnya dia jadiin objek foto. 🙄 There's something about him that made me feel so... special? Entahlah, mungkin karena selama ini saya nggak pernah becus mencari pasangan (and always ended up being mistreated 😂), perhatian-perhatian kecil yang dia tunjukin ke saya aja udah berhasil bikin saya kesenengan. 🙈 Sebetulnya kompetisi fotografi itu baru selesai jam 5 sore, tapi baru jam 2 dia ngajak saya pulang. Nggak pulang juga sih sebenernya, itu modus dia aja supaya bisa ngajak saya nonton Justice League di Kalibata City. 😂 Jadi, baru juga pertemuan pertama dia udah 'menyandera' saya dari jam 8 pagi sampai jam 9 malam. Biasanya di kencan pertama saya cuma makan atau minum kopi di kafe, paling lama cuma makan waktu 3-4 jam aja. So this is the longest first date I've ever been. 😂

Pertemuan pertama itu lalu berlanjut ke pertemuan kedua di minggu berikutnya. Dia mengajak saya datang ke workshop fotografi yang diisi oleh Arbain Rambey, fotografer senior harian Kompas yang sejak lama saya kagumi. Kalau di pertemuan pertama kami ke mana-mana naik kereta dan Transjakarta, kali ini dia mengajak saya naik motor. Dari Stasiun Pondok Cina, kami naik motor ke Bentara Budaya di kawasan Palmerah. Begitu selesai workshop, dia mengajak saya menjenguk teman kantornya di rumah sakit, karena malam sebelumnya mengalami kecelakan saat naik taksi. Di sana saya bertemu dengan beberapa teman kantornya. Selesai dari rumah sakit, kami iseng ke Masjid Istiqlal untuk sholat Ashar. Sejujurnya itu kunjungan saya ke Masjid Istiqlal setelah belasan tahun nggak pernah ke sana lagi. 😂 Oke, jadi baru juga kencan kedua kami udah melewati banyak milestone ya. 😅 Kencan kedua kami pun ditutup dengan jalan-jalan ke Monas sampai jam 8 malam.

Bersama Om Arbain Rambey

Eits, ceritanya nggak berhenti sampai di situ. Kalian pikir gimana caranya saya pulang dari Monas ke rumah saya di Ciomas? Naik motor dong pastinya. 😂 Sumpah, itu pertama kalinya saya pulang naik motor dengan jarak sejauh itu, sama orang yang belum juga jadi pacar saya. Jangan tanya kayak apa rasanya, beberapa kali saya hilang arah nggak tahu udah sampai mana. Saya bahkan baru tahu kalau Jalan Raya Bogor itu ujungnya ada di Pasar Kramat Jati di Jakarta Timur (iya kami lewat situ 😂), karena selama ini cuma pernah ngelewatin sampai Depok aja. Sepanjang jalan saya nggak berhenti bolak-balik nanya, "Kamu capek nggak? Mau berhenti dulu? Kamu yakin mau nganter sampai Bogor? Aku nggak apa-apa kok kalau cuma dianter sampai stasiun terdekat." Tapi dia kekeuh banget mau nganterin saya sampai ke rumah. Padahal Jalan Raya Bogor macetnya minta ampun. Perjalanan pulang dari Monas ke Ciomas makan waktu sekitar 2,5 jam. Kami baru sampai di rumah sekitar jam 22.30, dan dia langsung pulang saat itu juga ke Depok. 💆

Besoknya, berkali-kali saya minta maaf karena ngerasa nggak enak hati harus bikin anak orang motor-motoran sejauh itu cuma buat nganterin saya pulang. Jujur aja saya takut dia bakal kapok ngedeketin saya dan langsung mau mundur begitu tahu seberapa jauh rumah saya. Tapi ternyata malah dia yang minta maaf dan ngerasa nggak enak hati karena udah ngajak saya main sampai malam, pulangnya pun diantar naik motor. Percayalah, saya pernah ngalamin hal yang lebih nggak enak dari itu. 😂 Justru, kegigihan dia malah bikin saya makin luluh. 🙈

Sejak saat itu, intensitas kami bertemu jadi semakin sering. Kami memang sama-sama anak kereta, tapi kami naik dan turun di stasiun yang berbeda di jam yang berbeda pula. Dia yang biasanya berangkat di atas jam 9, demi bisa bareng sama saya akhirnya bela-belain berangkat lebih pagi. Dan saya yang biasanya dari Stasiun Bogor langsung turun di Stasiun Tanjung Barat, bela-belain turun dulu di Stasiun Pondok Cina. Capek? Nggak lah, namanya juga lagi kasmaran. 🙈😂 Kami juga jadi lumayan sering ketemu di jam pulang kantor. Dia ikut mengantar saya sampai Stasiun Bogor, lalu kami makan di pusat jajanan Jembatan Merah.

Sampai akhirnya, suatu pagi di bulan Desember, dia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya ke saya. #tsah 😂 Kalau ingat situasi waktu itu, sebenernya nggak kondusif sama sekali. Stasiun lagi ramai-ramainya karena masih di jam sibuk, banyak orang berseliweran, belum lagi petugas stasiun nggak berhenti ngasih pengumuman lewat pengeras suara, kereta yang lewat setiap beberapa menit sekali, dan kami berdiri di samping.... tempat sampah. 💆 Romantis? Apa itu romantis? 😂

Saya nggak langsung ngasih jawaban saat itu juga. Sebenarnya saya udah tahu mau jawab apa, saya cuma.... mengumpulkan keberanian sekaligus meyakinkan diri. Apalagi di minggu yang sama, kami hendak pergi ke Pulau Harapan. Semula kami berencana ikut open trip dan pergi berlima dengan teman-teman saya yang lain. Hanya saja, semakin mendekati hari keberangkatan satu per satu calon peserta berguguran dan jadilah cuma tinggal kami berdua (juga rombongan open trip lain yang totally stranger) yang pergi ke Pulau Harapan. Saya masih ingat, beberapa bulan sebelum kami dekat, saya membuat daftar pertanyaan yang hendak saya ajukan untuk siapapun yang menunjukkan niat serius pada saya. Daftar itu saya simpan baik-baik, beberapa kali mengalami perubahan baik dikurangi maupun ditambahkan. Namun pertanyaan itu baru benar-benar saya ajukan saat kami berada di atas kapal yang berlayar ke Pulau Harapan.

Pada dasarnya kalau kami lagi bersama, susah banget buat serius. Pasti bawaannya mau ledek-ledekan atau bercandain hal-hal nggak penting. Tapi siang itu saya paksa dia untuk serius, karena jawaban yang dia kasih, bakal menentukan jawaban yang akan saya berikan nantinya. Ditanya kok malah nanya balik? Ah peduli amat. 😂 I just want to make sure that I chose the right person as my partner. I want to make sure that I'm not gonna waste my time like I did before. Iya, udah kayak HRD lagi ngewawancara calon karyawan memang, dan nggak lupa saya dibantu sahabat saya juga melakukan background check. 😂 Ada beberapa hal yang sempat bikin kami nyureng, saya jadikan catatan, lalu saya konfirmasi langsung ke yang bersangkutan. I know, there's no such thing as a perfect man. Tapi saya belajar untuk membuat skala prioritas dalam menilai karakter seseorang. Ada beberapa karakter atau kriteria yang bagi saya merupakan harga mati, nggak bisa nggak. Ada beberapa yang masih bisa dimaklumi. Ada juga yang kalau ada ya syukur, nggak ada pun nggak apa-apa. 😂

Kok kayaknya saya tipe orang yang logic banget dalam mencari pasangan hidup? Padahal itu kan seharusnya jadi urusan hati. Hey... Justru saya orang yang amat sangat gampang bawa-bawa hati dalam segala urusan. 🙈 Gimana enggak? Dibaik-baikin sedikit aja saya langsung baper. 😂 But I learned the hard way that I should change that if I want to survive. Makanya saya cenderung jadi orang yang picky banget, bahkan cenderung paranoid. Begitu nemu ada satu hal yang nggak sreg di hati, langsung diam-diam menjauh sampai sahabat saya aja geleng-geleng kepala. 🙈😂

Sahabat saya yang lain pernah bilang, the best way to get to know someone, is to be their someone special, to be as close as you can get. Kalau cuma mengenal seseorang di masa-masa pendekatan, pasti apa yang kita lihat hanya sebagian kecil dari kepribadian mereka seutuhnya. That's why, if I had a good feeling about him, I should give him a chance to get to know me better. And by doing so, I will get to know him better too. Bahkan sekalipun udah jadi pacar, bisa jadi tetap ada sisi yang kita pilih untuk nggak ditunjukkan. Betul? 😛

Selama perjalanan di Pulau Harapan, saya ngerasain betul dijagain 24 jam sama dia. 🙈 Awalnya sih saya berusaha sok independent dan sok nggak butuh dia. Makanya pas snorkeling hal pertama yang saya lakukan begitu nyemplung ke laut adalah.... berenang sejauh mungkin dari dia. Dan itu keputusan paling tolol yang saya lakuin. 😂 Pertama saya nggak bisa berenang, kedua saya orangnya gampang panik, ketiga saya suka nggak nyadar akan dua hal itu dan tetep sotoy aja berenang sendiri. Walhasil baru 15 menit pertama nyemplung di laut kepala saya kejedot lambung kapal waktu mau nyoba naik, gelagapan sampai nggak sengaja kemasukan air laut, dan sempet kebawa arus ke bagian laut yang dalam dan udah bukan di wilayah snorkeling lagi. Selama kami berenang terpisah, diayang bisa leluasa berenang tanpa pelampungterus berusaha menghampiri saya. Tapi selalu aja tiap kali dia udah hampir dekat, malah saya yang menjauh. Begitu kami naik kapal, saya langsung kena semprot. 😂 Makanya di lokasi snorkeling berikutnya, saya nggak dibiarin jauh-jauh begitu nyemplung ke laut. Yak, di bawah laut aja gandengan terus ke mana-mana. 👍

Jiyeee gandengan 🙈

Malam harinya, tim open trip kami menikmati barbekyu di pinggir laut. Setelah makan-makan selesai, sementara peserta yang lain langsung kembali ke guest house, kami masih duduk-duduk di pinggir laut. Okay, so... this is it. 😌 Malam hari, di pinggir laut, angin sepoi-sepoi, wah pasti so sweet banget nih. Jangan terlalu cepat berasumsi... 💆 Suasananya nggak se-syahdu yang dibayangkan, karena di belakang kami ada yang nyetel lagu... Malam Terakhir-nya Rhoma Irama. 😂 Awalnya saya nggak nyadar sama sekali. Saya sibuk nyerocos aja terus, menyampaikan kalimat demi kalimat yang udah saya persiapkan, pokoknya udah serius banget deh. Saya mulai curiga karena dia kok tumben-tumbennya diam aja, nggak menanggapi saya sama sekali. Begitu saya perhatikan baik-baik, ternyata jempol kakinya lagi asik goyang ngikutin irama lagu. Pantesan aja dia kayak nggak fokus dan nggak nyimak. ASTAGA... 😠😡😣 Mau marah sebenernya tapi nggak bisa. 😫😂

Sejak awal kami pacaran, dia udah mengutarakan niatnya untuk serius sama saya. Meski awalnya saya diliputi keraguan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius, tapi ternyata dia jauh lebih gigih menunjukkan keseriusannya. Kalau saya ibarat batu yang keras, dia itu air yang nggak bosan-bosan menetes sedikit demi sedikit sampai batu yang keras itu pun terkikis. 😊

It was all started with a simple hello.
I decided to turn him down back then.
But it looks like he couldn't take 'no' as an answer.
So he waited patiently.
Until I got a little softened.
And that, my friend, was a story about how to turn a stranger into a lover.
Share: