Belajar Main Rumah-rumahan

Percaya atau engga, seumur hidup saya nggak pernah ngekost, sama sekali. 😅 Kalau pas kuliah sih ya jelas saya nggak ngekost karena kampus saya masih di Bogor juga. Tapi semenjak bekerja di Jakarta sekalipun dari tahun 2012, saya masih tetap menjalani itu semua dengan pulang pergi. Di rumah, saya juga nggak menguasai semua aspek pekerjaan rumah. Saya hanya kebagian tugas menyapu dan bersih-bersih kotoran kucing, sesekali nyetrika, sesekali masak (khusus makanan yang Ibu saya nggak bisa buat 😂), sesekali cuci piring, sesekali cuci baju. Intinya, saya cuma anak Ibu yang lebih banyak dimanja ketimbang ngerjain pekerjaan rumah. 🙈

Sumber ilustrasi: Freepik

Lalu, gimana jadinya anak Ibu yang manja ini mau hidup terpisah dari orangtua dalam waktu dekat? Yaaa, jadinya lebih seperti mau main rumah-rumahan. 🙈😂

Lain dengan saya, pacar saya sudah hidup merantau sejak tahun 2008 karena harus kuliah di luar kota. Rasa-rasa kesepian dan rindu kampung halaman, nggak pernah bisa hilang nggak peduli berapa lama pun dia merantau. Dia sudah terbiasa dengan berbagai pekerjaan rumah yang mau nggak mau harus dilakukan sendiri. Nyapu ngepel? Cincay... Cuci baju cuci piring? Biasa... Masak? Kalau cuma tinggal goreng-goreng aja bisa sih... Nyetrika? Bisa, tapi ngerjainnya sambil ngomel-ngomel. 😂

Beberapa hari yang lalu, pacar saya akhirnya meninggalkan kamar kost yang sudah dia tempati selama hampir 7 tahun. Dia salah satu anak kost tertua di sana, semua teman-teman kost-nya sudah lebih dulu pindah satu per satu. Ada yang pulang kampung, ada yang pindah ke kost yang lebih bagus atau lebih dekat dengan kantor, ada yang karena menikah. Bisa saja dia pindah ke kost lain yang relatif lebih dekat dengan kantornya di daerah pusat Jakarta, tapi dia lebih memilih untuk bertahan di sana. "Nanti aja, aku baru mau ninggalin kostan ini kalau aku mau nikah." 😅

Minggu lalu, dia memenuhi kata-katanya. 😁

Bersama dengan ayahnya, kami bertiga mengangkut barang-barang dari kamar kost sempit dan pengap itu ke dalam mobil bak terbuka. Saya juga bingung kenapa dalam satu kamar sekecil itu bisa memuat barang segini banyak sampai berkardus-kardus. 😅 Padahal waktu awal-awal kuliah dulu, katanya sih dia cuma bawa sedikit barang. Nggak ngerti kenapa kok 10 tahun kemudian barang-barang itu beranak pinak. 😌

Jarak antara tempat tinggalnya yang lama dengan yang baru sebenarnya nggak terlalu jauh. Kalau naik motor paling hanya makan waktu 15-20 menit aja. Tapi letaknya sudah beda kota beda provinsi pula. Kami memutuskan akan tinggal di sana sementara waktu setelah menikah nanti. Pencarian berlangsung selama satu bulan terakhir; baik pencarian online maupun offline. Sama halnya seperti memilih pasangan hidup, memilih tempat tinggal pun ternyata jodoh-jodohan. Meskipun ada tempat lain yang lebih baik, lebih terjangkau, atau lebih strategis lokasinya, kalau belum jodoh ya apa mau dikata. Pada akhirnya, tempat yang kami pilih ini adalah opsi terbaik dari semua opsi yang ada saat itu. Nggak bisa dikatakan sempurna karena pasti ada aja kurangnya. Tapi pasti akan menyempurnakan hari-hari kami ke depannya. 😊
"Home is where the heart is."
Share:

0 comments:

Post a Comment