(Tidak Ada) Hobi yang Terlambat

Wow, nggak terasa 2020 udah berjalan separuhnya, dan hampir 5 bulan blog ini hiatus tanpa tulisan terbaru mengenai apapun. Terus terang aja, saya kesulitan menemukan waktu untuk menulis. Jangankan menulis, memikirkan apa yang hendak saya tulis aja saya hampir nggak ada waktu. Padahal udah hampir setahun lho saya resmi menyandang status sebagai ibu rumah tangga. Memangnya, sesibuk apa sih seorang ibu rumah tangga sampai-sampai menulis satu halaman aja nggak mampu?

Weits, jangan coba-coba kalian utarakan pertanyaan keramat itu kepada para ibu rumah tangga ya, kalau nggak mau dilempar pakai seember baju kotor, setumpuk cucian piring, seonggok sampah yang belum diangkut, sisa makanan semalam yang nggak habis dimakan, atau belanjaan yang belum disimpan rapi pada tempatnya. Yes, we are THAT busy if you really want to know. Mungkin kelihatannya yang kami lakukan itu hanya hal remeh temeh. Tapi hal remeh temeh jika dikumpulkan menjadi satu dan diakumulasi sepanjang hari, percayalah yang kami lakukan itu nggak bisa disebut CUMA. :)

Jauh sebelum saya menyandang status sebagai istri sekaligus ibu, saya hanyalah gadis biasa yang senang menghabiskan waktu dari balik lensa kamera, sesekali saya suka membaca buku sendirian di pojokan kedai kopi, sekali waktu saya suka jalan-jalan sendiri di trotoar atau taman kota yang cantik. Sekarang? Hidup saya berputar pada poros yang sama, 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu. Baju yang saya pakai nggak jauh dari baju rumahan yang itu-ituuuu terus. :) Kadang kalau lagi mejeng di halaman bersama anak bayi dan melihat tetangga saya sesama ibu-ibu yang berpakaian rapi, saya sedikit iri. Kapan ya saya bisa berdandan rapi lagi untuk diri saya sendiri?

Berhubung pertanyaan itu belum mampu saya jawab, saya pun mencoba melihatnya dari sudut pandang baru: nggak apa-apa kalau saya belum bisa berdandan rapi untuk diri sendiri, setidaknya saya bisa mempercantik rumah agar nyaman ditinggali.

Pucuk merah, si cantik yang nggak manja.

Dulu, saya paling benci sama yang namanya bercocok tanam. Bukan berarti saya nggak suka lihat pemandangan yang hijau-hijau ya, justru saya suka banget. Tapi saya paling nggak mau kalau disuruh turun tangan dan mengerjakan sendiri. Eeewww... Alasan terbesarnya karena saya takut banget sama cacing tanah. Sekarang ngerti kan kenapa saya nggak suka bercocok tanam? 🙂

Setelah punya rumah sendiri, saya dihadapkan pada kenyataan bahwa punya halaman yang cantik itu, cost-nya besar. Nggak cuma dari segi materi, tapi juga waktu dan tenaga yang harus dicurahkan untuk menjaga halaman saya senantiasa cantik dan enak dipandang. Ternyata, kami nggak sanggup melakukan semuanya. Halaman yang sudah kami percantik dengan rumput gajah, krokot merah, pucuk merah, dan bunga airis, lama kelamaan terkikis rumput liar dan bentuknya pun semakin nggak beraturan.

Tembok depan rumah yang ambruk diterjang hujan badai.

Apalagi di awal tahun 2020 dinding pembatas halaman bagian depan ambruk diterpa hujan besar. Sebelum longsornya makin parah, kami memutuskan langsung membangun pagar sekaligus merenovasi garasi dan teras. Proses renovasi yang berlangsung hampir sebulan, makin meluluhlantakkan halaman kami yang cuma seuprit itu. Tanaman-tanaman kecil hancur tak bersisa, entah karena terinjak para tukang atau tertimbun pasir dan batu. Pokoknya setelah proses renovasi selesai, tanaman yang tersisa cuma 2 pohon pucuk merah yang tingginya sudah mencapai 2 meter lebih serta 3 buah pot tanaman lidah mertua yang terbukti impossible to kill.


Lidah mertua, si paling tangguh di segala kondisi.

Sejak suami saya bekerja dari rumah karena pandemi, kami jadi punya banyak waktu luang untuk menata ulang rumah. Meski sempat kapok dan berucap nggak akan mau beli tanaman lagi, pada akhirnya tangan kami gatal juga. 😅 Sadar diri kalau saya takut cacing, saya memutuskan untuk memelihara tanaman di media pot gantung. Udah jelas kan, pot gantung letaknya pasti jauh dari tanah gak mungkin para cacing itu mampu bermigrasi ke dalam pot. ðŸĪŠ Hal lain yang juga saya sadari, wawasan saya seputar dunia flora masih sangat sedikit, walaupun saya jebolan kampus pertanian di Bogor. 🙈 Maka saya pilih jenis tanaman yang paling low maintenance. Dari berbagai sumber yang saya baca, keluarga sirih gading bisa jadi pilihan bagi mama plants pemula.

Sirih gading brazil, yang paling bongsor di antara saudara-saudaranya.

Selain sirih gading, saya juga naksir tanaman lee kuan yew, alias janda merana. Saya pertama kali melihat tanaman ini lewat foto salah satu hotel di Jogja yang nuansanya serba hijau. Saya kebayang pasti cantik banget kalau tanaman ini ada di rumah, batangnya menjuntai seperti tirai.

Pucuk daun lee kuan yew di pekarangan rumah kami.

Kenapa sih mau melihara tanaman aja ribet banget pertimbangannya? Padahal kan tinggal ke tukang taman terus pilih mana yang disukai.

Sekali lagi, bagi saya tanaman juga makhluk hidup. Sama halnya seperti ketika memutuskan memelihara binatang, bagi saya memelihara tanaman juga dibutuhkan komitmen serta dedikasi. Saya nggak mau tanaman yang saya bawa ke rumah berujung kering dan mati karena saya nggak sanggup menjaga komitmen untuk merawatnya sepenuh hati. Itu sebabnya saya mengumpulkan referensi sebanyak mungkin tentang karakteristik tanaman yang hendak saya adopsi.

Sirih gading variegata, salah satu anak-anak hijau yang kami pelihara.

Singkat cerita, setelah satu bulan mengadopsi keluarga sirih gading serta lee kuan yew dan ternyata mereka baik-baik saja (at least nggak ada yang mati 😅), saya dan suami memberanikan diri untuk menambah koleksi anak-anak hijau kami. Kini di pekarangan rumah kami ada tambahan 3 pohon pucuk merah yang masih remaja, berjajar di halaman samping dengan harapan kalau udah setinggi kakak-kakaknya bisa menghalau matahari sore yang lumayan terik dari arah barat. Lee kuan yew yang terbukti nggak rewel dan paling cepat pertumbuhannya dibanding keluarga sirih gading akhirnya bikin saya yakin untuk menambah 5 pot sekaligus. 😅 Meski belum ada fotonya, saya juga mengadopsi lili paris yang kalau udah gondrong saya yakin bakal cantik banget. Ada juga si cantik airis kuning yang ditanam memanjang di dekat tembok pagar. Kami sengaja menanam kembali airis kuning karena dia termasuk tanaman yang mati saat proses renovasi dulu. Padahal waktu lagi ranum-ranumnya, bunga kuning bermotif macan tutul ini cantik sekali.

Airis kuning di halaman kami sebelum renovasi pagar.

Senang rasanya kembali punya hobi yang bisa saya tekuni di sela-sela keseharian saya mengurus rumah dan keluarga. Jadi, untuk para ibu di luar sana, nggak ada kata terlambat untuk memulai hobi baru. Kalau orang-orang bilang, "Motherhood is not a hobby, it is a calling."

Yes, it is.

But sometimes mother's need hobbies too, you know. 🙂 To keep our sanity. To let us stretch a little bit so we can take care our family with lots of love.[]
Share:

Pengalaman Sunat Bayi di Omah Sunat: Pagi Sunat Sore Main Kuy!

Halo, akhirnya setelah berbulan-bulan saya baru punya waktu lagi untuk nulis di blog. Maaf kalau hiatusnya kelamaan. 😅 Sebenarnya ada banyak draft tulisan yang saya buat, tapi nggak ada satu pun yang berhasil saya selesaikan. Jadi saya bertekad untuk yang satu ini, harus berhasil saya tulis.

Jadi, jauh sebelum saya melahirkan, saya udah berniat mau menyunat anak laki-laki kami saat ia masih bayi. Saya juga udah berdiskusi dengan suami dan ia pun setuju, karena berdasarkan hasil riset kecil-kecilan kami menemukan bahwa lebih banyak manfaat yang didapat dari menyunat saat bayi. Tapi ketika anaknya udah lahir ke dunia, ealah kok nggak tega. ðŸĪĶðŸŧ‍♀️ðŸĪĢ Padahal kami udah tau bahwa waktu optimal menyunat bayi itu saat periode neonatus. Tapi kami malah menunda-nunda dengan alasan nggak tega. Waktu terus bergulir dan nggak kerasa anak kami udah bisa berguling dan merangkak. Barulah kami ketar-ketir takut dia keburu bisa jalan, lari, dan kabuuur.... 🏃‍♂️ðŸ’Ļ

Dokter Arif dari Omah Sunat saat melakukan tindakan.

Akhirnya setelah mengumpulkan niat, kami memberanikan diri untuk menyunat anak kami. Pilihan pun jatuh pada Omah Sunat, yang merekomendasikan teknik sunat klamp untuk bayi yang setiap hari memakai pospak. Kebetulan teman suami saya, anaknya juga sunat di sana dengan metode klamp dan dia sangat puas dengan hasilnya. Maka kami pun semakin yakin untuk menyunat anak kami di sana.

Saya menghubungi nomor kontak Omah Sunat untuk registrasi dan langsung mendapat jadwal sunat pada hari Minggu, 26 Januari 2020. Tapi kemudian saya melihat pengumuman di Instagram ternyata mereka sedang mengadakan giveaway sunat bayi gratis di tanggal cantik 2 Februari 2020. Hmmm, setelah pikir-pikir nggak ada salahnya mencoba, siapa tau ini rejeki anak kami. 😅 Selain itu kami juga mempertimbangkan kondisi rumah kami yang saat itu sedang direnovasi, khawatir akan mengganggu waktu istirahat anak kami pasca disunat. Kalau kami undur waktu sunatnya ke awal Februari, insya Allah renovasi sudah selesai dan kondisi rumah pun lebih kondusif. Untungnya, pihak Omah Sunat tidak keberatan saya membatalkan pendaftaran sunat. 🙈 Penantian selama seminggu membuahkan hasil, ternyata program giveaway itu sepi peminat, hanya kami satu-satunya yang ikut serta jadi otomatis kami yang memenangkan giveaway tersebut. Alhamdulillah! Rejeki mah nggak kemana. ðŸĪĢ

Ruang tunggu Omah Sunat yang dilengkapi permainan untuk anak-anak.

Hari Minggu pagi, rombongan pengantar sunat pun tiba di Omah Sunat. Maklum, anak kami cucu pertama dari dua keluarga, makanya kakek neneknya sama-sama protektif. 💆ðŸŧ‍♀️😂 Semua ingin menyaksikan dan mendampingi cucu kesayangannya disunat. Dari sekian banyak orang yang mengantar, hanya sedikit yang bertahan di dalam ruang tindakan, sisanya melipir ke luar ruangan karena nggak tega. Saya juga sebenarnya nggak tega, tapi saya berusaha menguatkan diri demi anak saya.

Saya tahu betul, anak saya paling nggak betah ditaruh di atas ranjang asing. Jangankan ranjang operasi, ditaruh sebentar di atas timbangan posyandu aja dia udah nangis kejer. 💆ðŸŧ‍♀️ Jadi kebayang kan waktu dia baru dibaringkan di atas ranjang sementara dokter dan asisten dokter bersiap-siap? Tangisannya menggelegar sampai ke lantai bawah. 💆ðŸŧ‍♀️😂

Diajak main mobil-mobilan sama Eyang tapi nggak bisa enjoy, sepertinya udah mulai curiga.

Sebelum melakukan tindakan, dokter Arif yang menangani anak kami memeriksa kondisi anak kami terlebih dulu. Dan ternyata, anak kami nggak bisa disunat dengan metode klamp karena dia kegendutan. ðŸ˜Ē☹️ Dokter menyarankan jika ingin mendapat hasil maksimal, sebaiknya menggunakan metode laser dan kami pun menyetujuinya. Dokter juga sempat menunjukkan kondisi di balik kulup penisnya yang dipenuhi kotoran. ðŸ˜Ē Aduh, saya pikir selama ini saya udah cukup telaten membersihkan anak saya, tapi ternyata saya masih kecolongan. Entah apa jadinya kalau kami menunda sunat anak kami, mungkin kotoran yang bertumpuk ini bisa menjadi sumber penyakit. 😰

Dokter dan asisten dokter menyiapkan peralatan dan sebagainya kurang lebih selama 10 menit. Dan selama itu pula kami harus menguatkan hati melihat si anak bayi menangis meraung-raung minta digendong. ðŸ˜Ē Jujur aja saya termasuk ibu-ibu yang lumayan tega sama anak. Saya nggak pernah nangis kalau anak saya disuntik saat imunisasi, bahkan saat lidahnya harus diinsisi karena tongue tie pun saya masih tegar. Tapi di dalam ruangan itu rasanya hati saya ambyar. ðŸ˜Ē😭 Saya cuma bisa mengusap-usap kepala anak saya sambil memegang tangannya. Beberapa kali saya mencoba melantunkan shalawat di telinganya tapi tangisan saya malah pecah. ðŸ˜Ē Huhuuu, maafin Bunda ya. Kami tau keputusan ini untuk kebaikannya, tapi melihat anak menangis sampai segitunya rasanya tetep aja sulit. 😭

Saya berusaha menghibur sang bos kecil yang menangis minta digendong :')

Setelah melewati menit demi menit yang terasa panjang, anak saya selesai disunat dan langsung ditenangkan oleh neneknya sementara saya dan suami menghadap dokter untuk diberi informasi terkait perawatan pasca sunat. Kami diberi goodie bag yang berisi obat pereda nyeri, antibiotik, salep, spray antiseptik, kasa steril, dan obat tetes. Luka pasca sunat harus dijaga agar kondisinya tetap lembab namun tidak terlalu lembab. Anak kami boleh mandi satu hari setelah disunat tapi tidak boleh berendam, harus diguyur agar tidak terlalu lama kena air.

Terus terang aja kami belum ada persiapan apapun terkait perawatan pasca sunat laser, karena kami memang berencana akan sunat dengan metode klamp, makanya kami cukup kewalahan. Begitu sampai di rumah, anak kami menangis selama tiga jam. 💆ðŸŧ‍♀️ Posisi apapun kayaknya salah, udah digendong sama siapapun kayaknya tetep aja nangis. Yaudah lah ya, kuncinya cuma gendong dan sabar. Lama kelamaan ia pun lelah dengan sendirinya, lalu saya susui dan ia tidur sekitar 1 jam. Begitu bangun, anak kami mulai tampak ceria dan kembali bermain seperti biasa. Sisa-sisa rewelnya masih ada sih, tapi udah nggak kayak pas baru banget pulang dari klinik.

Setelah 15 menit menangis, anak kami mulai lelah dan tertidur.

Karena khawatir penisnya sakit kalau terkena gesekan celana, suami saya membeli celana sunat anak-anak yang batoknya dilepas dan dikecilkan sesuai ukuran bayi. Batok itu lalu dipasang di dalam popok, jadi anak kami bisa leluasa bergerak. Cara ini lumayan berhasil sepertinya. Semalaman dia tidur dengan nyenyak, baru terbangun jam setengah 4 pagi dan langsung ngajak main. 💆ðŸŧ‍♀️ Padahal saya udah prepare kalau-kalau harus begadang menemani anak bayi yang menangis. 😂

So far, saya sangat puas dengan pelayanan Omah Sunat dan sangat merekomendasikan kepada orangtua yang masih bingung hendak menyunatkan anak mereka di mana. Dokter dan stafnya sangat ramah dan komunikatif, ruang praktiknya pun bersih dan ada permainan anak-anak di ruang tunggu. Sebagai pemenang giveaway sunat bayi di tanggal cantik, saya merasa harus turut serta membangun kesadaran masyarakat tentang berbagai manfaat sunat bayi. Karena saya pun menyadari masih banyak orangtua (terutama kakek dan nenek sih 🙈) yang menentang sunat bayi dengan alasan nggak tega. Tapi bagi saya pribadi, saya malah merasa lebih nggak tega kalau harus menyunat anak saya di usia yang lebih besar, khawatir meninggalkan trauma seperti yang dialami suami saya. Kalau menurut pendapat Dokter Apin yang saya kutip dari website Parentalk, manfaat menyunat saat bayi antara lain: mengurangi resiko infeksi saluran kemih (ISK), melindungi bayi dari resiko infeksi jamur, resiko komplikasi pembedahan lebih rendah, resiko komplikasi bius lebih rendah, prosedur sunat yang lebih mudah, serta mencegah ketakutan disunat di kemudian hari.

Isi goodie bag berupa perlengkapan untuk perawatan pasca sunat

Ketika saya membagikan pengalaman menyunat anak kami yang masih bayi, Instagram saya dipenuhi pertanyaan dari teman-teman yang juga punya anak laki-laki namun belum disunat. Saya berusaha menjawab semampu saya dan memberikan testimoni sejujur-jujurnya. Semoga lebih banyak lagi orangtua yang memiliki kesadaran tentang manfaat menyunat bayi.[]
Share: