It's Not You, It's Me 💔


Sebagai jebolan anak IPB yang daerah kekuasaannya nggak jauh-jauh dari Lodaya, Malabar, sampai Baranangsiang, saya udah familiar banget sama Lele Bakar Malabar, atau sebagian orang menyebutnya Pecel Ayam Malabar. Sama aja kok nama tempat yang dimaksud, cuma beda penamaan aja. Di kalangan mahasiswa IPB, tempat makan ini kesohor banget karena rasa makanannya yang enak dan harganya yang terjangkau banget untuk ukuran mahasiswa dan anak kost.

Setiap kali ada kesempatan, saya suka merekomendasikan Pecel Ayam Malabar ini kepada teman-teman, saudara, atau siapa pun yang belum tahu. Yang belum lama ini saya ajak ke sana dan langsung terpikat, nggak lain dan nggak bukan adalah pacar saya. 😅 Saya ajak dia makan di sana sekitar bulan Desember 2017, waktu itu kami lagi ada acara di dekat Lippo Plaza sampai menjelang Maghrib. Sebelum pulang, kami singgah di sana hitung-hitung mengenalkan tempat nongkrong saya jaman kuliah ke pacar. Ternyata dia suka sama makanannya, bahkan nasi uduknya sampai nambah 2 porsi. 😂 Oke, nggak salah dong saya rekomendasikan ke dia?

Saya lupa kapan persisnya, kami berdua tanpa sengaja menemukan tempat makan pecel ayam di daerah Juanda, Depok yang ternyata nggak kalah enak. Memang sih dari segi harga, pecel ayam ini sedikit lebih mahal dibandingkan Pecel Ayam Malabar. Tapi dari segi porsi, ayamnya lebih besar dan nasinya lebih banyak. Karena lokasinya yang searah dengan jalan pulang dari Depok ke Bogor, kami lumayan sering mampir makan di sana. Kalau saya selalu istiqomah dengan menu ayam goreng kremes + nasi uduk, pacar saya lebih suka memesan udang atau cumi saus mentega yang rasanya juga lumayan enak. Dalam sebulan, mungkin kami bisa mampir makan di sana antara 3-4 kali. Saking seringnya, saya curiga mas-mas pegawai di sana udah hafal dengan wajah kami yang selalu duduk di meja yang sama (kalau kebetulan lagi kosong).

Nah, beberapa hari yang lalu, lagi-lagi kami beredar di sekitar Jalan Pajajaran. Entah kenapa saya tiba-tiba kepengen makan Pecel Ayam Malabar. Kami pun menuju ke sana dan memesan dua porsi ayam bakar, nasi uduk, dan tempe goreng. Awalnya saya merasa, kok tempe gorengnya nggak sesuai ekspektasi saya. Tapi saya tetap menghabiskan makanan dengan lahap, meskipun dalam hati ada rasa kurang puas yang masih saya tahan. Lalu saya lihat pacar saya makan tapi ayam bakarnya masih disisakan. Saya sempat menawarinya siapa tahu mau nambah nasi uduk lagi, tapi dia nggak mau.

Begitu kami udah bayar dan siap-siap mau pergi, saya baru ngomong, "Apa karena aku udah terbiasa sama rasa pecel ayam di Juanda yah, sekarang aku makan di sini kok rasanya biasa aja, jadi gak terlalu enak." Spontan pacar saya langsung nyamber: "Lah, kok sama!" 😂 Oke, jadi ini sebabnya saya perhatikan dia nggak terlalu lahap makannya. Kalau saya sih, selama rasanya nggak kacau-kacau banget, walaupun rasanya kurang enak, makanan pasti tetap saya habiskan. 😂

Sebenarnya, nggak ada yang salah dengan Pecel Ayam Malabar. Rasanya masih sama seperti dulu, harganya pun masih tetap tergolong murah. Tapi mungkin karena lidah kami sudah terpapar rasa pecel ayam yang lebih enak, mau nggak mau standar rasa kami pun meningkat. Sehingga rasa Pecel Ayam Malabar yang sebenarnya relatif stabil, jadi terasa biasa aja.

Di situ kami mengambil kesimpulan, bahwa ternyata rasa yang sudah bertahun-tahun melekat di hati saya, bisa tergantikan dengan mudahnya oleh rasa yang baru saya kenal selama beberapa bulan terakhir. Kalau ibarat orang pacaran mau minta putus, saya akan berkata: "It's not you; it's me. There's nothing wrong about you, I just found another one that suits me best."[]
Share:

0 comments:

Post a Comment