Yes, I Named (Almost) All of My Stuffs

Entah apakah kebiasaan ini bisa dibilang aneh atau nggak. Tapi saya punya kebiasaan ngasih nama barang-barang kesayangan. Apalagi ketika barang itu saya dapetin dengan penuh perjuangan, saya merasa sebagian kecil dari diri saya ada dalam barang itu.

Waktu kuliah, saya ngga langsung dapat fasilitas laptop dari orangtua. Saya bertahan selama beberapa semester ngerjain tugas kuliah dengan komputer berkonde yang masih pentium 4. Pada masa itu, saya bersyukur masih punya alat untuk ngerjain tugas kuliah di rumah, jauh lebih beruntung dari banyak orang lah. Ketika indeks prestasi saya untuk pertama kali (dan cuma sekali-kalinya itu) menyentuh angka 4.00, saya dibelikan laptop sama ayah saya. Senangnya bukan main. Akhirnya bisa ngerjain tugas di kampus bareng sama teman-teman yang lain. Hehehe... Saya masih ingat betul merknya Acer, warnanya silver. Jadi dia saya sebut “Silver Stuff”. Bukan nama yang bagus dan friendly sih, tapi tetep aja mengukuhkan bahwa dia punya tempat yang istimewa di hati saya. Dan hari-hari saya terus berputar di sekeliling dia. Mulai dari tugas kuliah sampai hiburan, saya ngga bisa lepas dari dia.

Paty Kerry waktu bunga-bunganya masih bagus, sekarang udah dipretelin.

Lalu ada juga Paty Kerry, city bike warna pink kesayangan saya, kendaraan pertama yang saya beli pakai uang hasil keringat sendiri. Kenapa saya kasih nama Paty Kerry? Karena sepeda merk United ini ada di seri Pattaya. Di tahun 2013 itu juga Katy Perry lagi happening banget, jadi saya pinjam namanya untuk dibolak-balik dan jadilah nama Paty Kerry. Di mata saya, kalau city bike ini jadi orang, dia pasti punya kepribadian yang centil dan playful seperti halnya Katy Perry. Frame-nya warna pink, ada keranjangnya, ada jok penumpangnya pula. Untuk menambah kecentilan si Paty Kerry ini saya dandani pakai bunga plastik rencengan yang saya beli di toko serba lima ribu.

Setiap kali saya ajak si Paty Kerry keliling kompleks dan melewati segerombol anak perempuan, saya bisa dengar diam-diam mereka berbisik, “Ih liat itu sepedanya bagus banget ada bunga-bunganya.” HAHAHAHA, lucu kan lucu kan sepedakuuuu??? Rasanya kalau nggak inget umur pengen banget teriak kayak gitu. Tapi ya malu-maluin dong jadi saya berusaha behave dan cuma mesam-mesem kesenangan. Good job, Paty Kerry!

Ada juga Lenny, handphone kesayangan saya yang sekarang udah nggak ada lantaran dicopet sama orang jahat di kereta tujuan Tanah Abang. Lenny ini smartphone super-pintar yang saya beli setelah melalui proses seleksi panjang. Saya butuh smartphone yang udah support 4G, layarnya besar kalau bisa > 5 inchi, baterainya pun besar kalau bisa > 4000 mAh, RAM-nya harus 3GB karena saya ngga tahan sama HP lemot, storage-nya pun minimal 32GB karena data-data saya pasti banyak, harus support USB on-the-go juga, HP dan kameranya pun cukup mumpuni, tapi harganya kalau bisa ada di range mid-level aja. Hehehe, banyak maunya ya?

Lenny yang selalu setia nemenin setiap on duty. Hahaha...

Intinya saya butuh smartphone dengan harga terjangkau untuk mobile user yang frekuensi pemakaiannya cukup hardcore. Kriteria itu semua saya temukan di Lenovo P1 Turbo. Saking sayangnya, saya selalu bangga-banggain performa dia setiap ada kesempatan. Mungkin karena saya terlalu sayang sama Lenny, Tuhan cemburu, dan Lenny pun diambil dari tangan saya. Hiks...

Last but not least, my Limpy. Limpy adalah kamera Olympus Pen E-PL 7, kamera mirrorless pertama yang saya beli sendiri. Sejak bersentuhan sama kamera di bangku kuliah, saya selalu terpesona sama kamera. Tapi saya sadar diri, kamera itu barang mewah, sedangkan skill yang saya punya pun nggak seberapa baik untuk mengimbangi kamera dengan spesifikasi seperti itu. Memasuki dunia kerja, saya dituntut untuk bisa macam-macam, termasuk mengoperasikan kamera DSLR. Saya yang tadinya gagap teknologi dan selalu gugup kalau disuruh motret event kantor, pelan-pelan mulai tumbuh rasa percaya diri dan juga rasa percaya terhadap kamera yang ada di tangan saya. Saya yakin kalau saya berusaha mengenalnya lebih baik, kamera ini pun akan bekerja dengan lebih baik dan juga menghasilkan foto yang ciamik.

Selama hampir 3 tahun saya jadi anak promosi, saya terbiasa bergelut dengan berbagai jenis kamera. Yang tadinya cuma bisa pakai kamera itu-itu aja, karena berkali-kali disodori kamera jenis lain ya mau nggak mau harus bisa toh? Yang tadinya cuma asal jepret yang penting nggak kehilangan momen, pelan-pelan belajar komposisi dan estetika juga toh? Puas belajar dan ngoprek kamera fasilitas kantor, setelah resign dari kantor lama saya mulai kangen pegang kamera lagi. Setelah riset sana-sini, galau selama sebulan lebih, maju mundur syantiek, keluar masuk toko kamera online, ngobrak-abrik forum fotografi dalam dan luar negeri, saya pun meminang Limpy dengan bismillah. Hahaha...

Maaf ya lagi-lagi saya harus ngikut, ngga punya foto kameranya doang soalnya. Hehe...

Bukan hal yang mudah buat menjatuhkan pilihan pada satu kamera. Apalagi kalau budget kita terbatas masih di kelas pemula, pasti ada aja yang kurang dan harus legowo mengikhlaskan fitur mana yang lebih kita utamakan. Sebelum pilihan jatuh pada Olympus Pen E-PL 7, saya sempat bimbang di antara pilihan Panasonic Lumix GF8, Sony Alpha 6000, dan Fujifilm X-A3. Tapi setelah mempertimbangkan bibit-bebet-bobotnya, keputusan saya bulat mau jadi Olympian aja. Heheu...

Well, sebenernya masih ada beberapa lagi sih personal stuffs yang saya kasih nama. Tapi untuk saat ini mungkin segitu aja dulu. Thanks for reading! :)
Share:

0 comments:

Post a Comment