“Aku ingin bertabrakan. Aku ingin berlari menabrak Shadow dan membiarkan daya benturannya menumpahkan pikiran kami. Sehingga kami bisa saling memungut dan mengembalikan pikiran satu sama lain yang seperti tumpukan batu-batu mengilap.”
Baris di atas bisa kalian temui di bagian pembukaan, dan hal pertama yang terlintas di pikiranku adalah: “Okay, this book deserves to get more attention.” Aku suka sekali dengan ide tentang ‘pikiran yang saling berbenturan’ serta ‘saling memungut dan mengembalikan pikiran satu sama lain’. Pertemuan dua pikiran yang saling berkelindan terasa jauh lebih intim ketimbang kontak fisik dalam bentuk apapun. Jadi, meski sedari awal sudah bisa ditebak bahwa novel ini sarat akan romansa, pasti ada hal tak biasa yang ingin disampaikan si penulis.
Tersebutlah seorang gadis bernama Lucy Dervish, remaja tanggung yang sedang menyusun rencana studi setelah ia lulus dari sekolah menengah. Lucy ingin menjadi seniman, beberapa tahun terakhir ia bekerja paruh waktu di studio pembuatan kaca yang dimiliki oleh Al, guru sekaligus bosnya. Tak banyak hal bagus dari sudut kota tempat Lucy tinggal, kecuali satu hal: grafiti karya seniman jalanan misterius yang bernama Shadow—bayangan. Sudah lama sekali Lucy mengagumi karya-karya Shadow yang tersebar di seluruh penjuru kota. Di tembok-tembok gedung tinggi, di tepian jalan tol, di pinggiran rel kereta, di dalam karavan tua yang nyaris menjadi rongsokan. Sebut saja tempat-tempat yang bisa terpikirkan olehmu, mungkin tempat itu sudah terjamah oleh tangan Shadow.
Shadow tak pernah beraksi sendirian, ia bekerja sama dengan Poet—penyair. Shadow melukis, sementara Poet melengkapi lukisan tersebut dengan sentuhan manis berupa tulisan. Terkadang lukisan dan tulisan itu saling berkaitan, namun tak jarang lukisan dan tulisan menunjukkan hal yang saling bertolak belakang. Seakan kedua orang itu sesekali berbagi kepala, sesekali mengikuti pikirannya masing-masing.
Lucy ingin sekali bertemu dengan kedua orang itu, terutama Shadow. Ia terobsesi menangkap basah Shadow saat sedang beraksi dengan kuasnya, namun selisih waktu terdekat yang pernah dicapainya hanya berselang lima menit. Lima menit yang menjengkelkan. Lima menit yang hanya menyisakan cat separuh basah untuk Lucy.
Di hari terakhirnya sebagai siswi kelas 12, Lucy bersama kedua sahabatnya, Jazz & Daisy, memutuskan mereka harus melakukan hal-hal seru sebelum lulus: mereka akan berburu Shadow dan Poet semalam suntuk! Ketiga gadis itu dibantu oleh Ed, Leo, dan Dylan mengikuti jejak Shadow dan Poet yang masih hangat. Namun tak disangka, malam itu justru menjadi salah satu malam terpanjang dan paling menggairahkan dalam hidup Lucy. Berhasilkah mereka mengungkap jati diri Shadow dan Poet?
Tak seperti novel remaja pada umumnya, tokoh-tokoh dalam buku Under The Blue Moon sarat dengan karakter yang antik, mungkin karena banyak di antaranya adalah seniman. Mereka seringkali berkontemplasi dan bertukar pikiran tentang hal-hal random. Sekali waktu Lucy berbicara tentang pelajaran meniup kaca di studio Al, tak lama berselang ia bertanya tentang alam semesta, kemudian ia melompat ke pembahasan tentang kedua hubungan orangtuanya. Aku bukan seniman, tapi mudah sekali memahami kenapa Lucy yang eksentrik jatuh cinta setengah mati terhadap Shadow.
Novel setebal 312 halaman ini diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Noura Books yang versi aslinya diterbitkan oleh Random House, Inc. New York. Penyuntingan & terjemahannya sudah bagus, walaupun di beberapa bagian kesalahan pengetikan serta terjemahan yang terasa janggal. Semoga bisa diperbaiki di cetakan berikutnya. Kalau mengutip testimoni Jenny Downham—penulis novel bestseller Before I Die: “Cerdas, romantis, dan eksentrik indahnya.” Setuju deh sama Mbak Jenny!
Judul Buku Penulis Penerjemah Penyunting Penerbit ISBN Jumlah halaman Ukuran Harga | : Under The Blue Moon : Cath Crowley : Ingrid Nimpoeno : Jia Effendy : Noura Books : 978-602-0989-73-0 : 312 : 14 x 20,8 cm : Rp 69.000,- |
0 comments:
Post a Comment